Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Menilik Gagasan dan Pentingnya Pelestarian Bahasa Daerah

8 Februari 2024   12:19 Diperbarui: 9 Februari 2024   07:47 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: KOMPAS.id

Padahal bahasa adalah salah satu kebudayaan yang menjadi sebuah pondasi kokoh dalam mempertahankan sebuah kebudayaan. Apa jadinya jika bahasa daerah menjadi pupus, norma dalam kebudayaan juga akan menjadi hilang tak berbekas.

"Ngomong apa itu Mak, aku gak tau," celoteh putri kecil kami kepada Mamak Uti-nya (nenek) yang sedang ngobrol dengan menggunakan bahasa Jawa saat dalam perjalanan menuju rumah setelah jalan-jalan berkeliling di kota kecil kami. 

Celoteh itu mungkin seolah-olah seperti celoteh biasa jika kita tidak melihat secara dalam makna yang tersirat. Namun jika kita telaah, celoteh kecil itu merupakan sebuah indikator serius bagi eksistensi sebuah kebudayaan yang ternyata semakin hari justru semakin pupus.

Saya dan istri adalah seorang Jawa yang lahir dan besar di Lampung, tepatnya di Kota Metro, yang orang bilang kadang-kadang bak Yogya-nya Lampung.

Hal ini disebabkan karena program transmigrasi yang dulu digencarkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebelum kemerdekaan Indonesia. Orang-orang dari pulau Jawa, bersuku Jawa, di sebar sampai ke seluruh nusantara dalam sebuah program pemerintah Hindia Belanda yang disebut transmigrasi.

Jadi wajar jika di Lampung, khususnya di Metro, kita akan banyak bertemu dengan orang bersuku Jawa. Namun, sayangnya hal ini tidak membuat generasi-generasi yang lahir saat ini tetap "Njawani", identitas sebagai seorang Jawa kadang terlihat hilang. 

Salah satu indikator yang paling mudah untuk kita kenali adalah dalam segi komunikasi, yaitu bahasa. Seperti apa yang saya ungkap di atas, celoteh putri kecil kami atas ketidaktahuan makna dari percakapan menggunakan bahasa Jawa merupakan salah satu indikator yang serius.

Belum lagi dengan bahasa daerah di mana provinsi kami tinggal, yaitu bahasa Lampung, mereka -anak kami- semakin tidak mengerti dengan bahasa Lampung. 

Sebab saat ini, khususnya di kota kami sangat jarang anak-anak berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah, baik itu bahasa Lampung maupun bahasa Jawa. 

Walaupun dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah juga diajarkan dalam mata pelajaran muatan lokal Bahasa dan Aksara Lampung, sayangnya tidak membuat anak-anak paham dan mengerti tentang bahasa daerah ini.

Pernah saya mencoba bertanya kepada siswa saya secara acak tentang kecakapan penggunaan bahasa daerah sesuai dengan suku masing-masing. 

Hasilnya cukup mengejutkan, banyak dari siswa kami yang ternyata tidak bisa menggunakan bahasa daerah sesuai dengan suku masing-masing. 

Menurut mereka, mereka mengerti dengan makna percakapan tersebut, namun sulit ketika diminta untuk berdialog dengan menggunakan bahasa tersebut. 

Padahal orang tua mereka menggunakan bahasa sesuai dengan suku masing-masing saat berdialog, tapi dialog ini terbatas hanya antara ayah dan ibu, atau antara ayah, ibu dengan kakek dan nenek serta paman atau bibi.

Mereka mengakui bahwa jarang malah bahkan tidak pernah diajak berdialog dengan menggunakan bahasa daerah sesuai dengan suku mereka masing-masing. Komunikasi dengan bahasa daerah hanya dilakukan antara ayah dan ibu, bukan dengan mereka. 

Padahal bahasa adalah salah satu kebudayaan yang menjadi sebuah pondasi kokoh dalam mempertahankan sebuah kebudayaan. Apa jadinya jika bahasa daerah menjadi pupus, norma dalam kebudayaan juga akan menjadi hilang tak berbekas. 

Bahasa daerah bak degup jantung bagi sebuah kebudayaan, yang akan memompa semangat dan menyimpan memori tentang adat budaya yang terpatri pada suku tertentu.

Mengutip sebuah pendapat Antropolog ternama dunia, Clifford Geertz dari detik.com mengatakan kebudayaan merupakan sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol. 

Simbol tersebut kemudian diterjemahkan dan diinterpretasikan agar dapat mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik informasi, memantapkan individu, mengembangkan pengetahuan, hingga cara bersikap. 

Jadi, ketika kebudayaan hilang, maka manusia akan kehilangan berbagai fungsi pengetahuan, dan yang paling fatal adalah fungsi kontrol kehidupan mereka.

Salah satu contoh adalah sebuah makna tentang "unggah ungguh", merupakan sebuah konsep tentang etika pada suku Jawa. Pada "unggah ungguh", ada sebuah norma tak tertulis yang mengikat yang mengatur bagaimana bentuk interaksi antara individu per individu, sebaya, kepada yang lebih tua ataupun bagaimana berperilaku kepada yang lebih muda. 

Dan "unggah ungguh" ini berpotensi hilang seiring dengan bahasa daerah yang juga lambat laun gema-nya justru semakin menghilang di tengah gempuran perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang lajunya semakin tidak kita sadari sehingga menggerus berbagai kebudayaan yang ada.

Perlu sebuah terobosan kebudayaan dari pemerintah agar kebudayaan tetap lestari dan terjaga dengan berbagai kebijakan yang perlu diterapkan di segala kehidupan ini, sehingga modernisasi tetap berjalan dengan nafas adat budaya kearifan lokal daerah masing-masing.

Memperkuat Identitas Budaya

Penggunaan bahasa daerah di sekolah dapat menjadi langkah awal yang penting dalam upaya menjaga keberlangsungan budaya serta memperkuat identitas budaya bangsa dalam era globalisasi yang semakin kompleks ini.

Di sekolah di mana saya bertugas sesuai dengan regulasi setempat, bahasa dan aksara Lampung menjadi salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sebagai muatan lokal. 

Sayangnya, stigma yang melekat pada muatan lokal hanya sebagai mata pelajaran tambahan. Mapel ini minim praktik, dengan hanya dua jam mata pelajaran di kelas. 

Padahal, bahasa dan aksara seharusnya menjadi sebuah kebiasaan. Saya merasa tidak efektif jika hanya mengandalkan materi yang diperoleh di kelas untuk mencapai tujuan pelestarian kebudayaan daerah.

Perlu langkah-langkah dan aksi-aksi tambahan sebagai terobosan kebudayaan dalam rangka memantapkan keberadaan dan kesinambungan bahasa dan aksara daerah. 

Tidak hanya sebatas teori di kelas, saya mendorong adanya regulasi yang mengatur kewajiban penggunaan bahasa dan aksara daerah setidaknya satu hari dalam seminggu. 

Dengan adanya regulasi ini, seharusnya kita menjadi semakin terbiasa, paham, dan lancar dalam penggunaan bahasa dan aksara daerah.

Ini juga harus berlaku bagi bahasa dan aksara non-lokal, yang perlu diatur dalam regulasi terkait. Gagasan ini muncul karena melihat kemampuan berbahasa daerah generasi saat ini semakin menurun. 

Maksudnya, pemerintah harus memikirkan kelestarian budaya non-lokal yang juga ada pada daerah tersebut. Jika tidak memungkinkan untuk dimasukkan ke dalam struktur kurikulum sebagai mata pelajaran, langkah praktis seperti menetapkan hari khusus untuk menggunakan bahasa Lampung dan bahasa daerah lainnya bisa diambil. 

Misalnya, Kamis sebagai hari bahasa Lampung, dan Jumat sebagai hari berbahasa daerah sesuai dengan suku masing-masing siswa. Hal ini akan menciptakan suasana yang menarik dan memperkuat semangat keberagaman di sekolah.

Di sekolah tempat saya mengajar, siswa berasal dari berbagai suku yang berbeda, sehingga hari berbahasa akan menciptakan ragam bahasa yang beragam. 

Namun, praktik ini tidak cukup hanya sebagai seremoni belaka. Perlu ada indikator dan uji kompetensi yang jelas. Selain uji praktik bahasa daerah lokal, seperti bahasa Lampung, siswa juga diuji dalam bahasa daerah suku masing-masing, seperti bahasa Jawa, Padang, atau Batak. 

Tentu, evaluasi tersebut juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi tantangan atau hambatan yang dihadapi dalam pembelajaran dan penggunaan bahasa daerah di lingkungan sekolah. 

Dengan memahami akar penyebab kesulitan tersebut, pihak sekolah dapat merancang strategi yang lebih tepat dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah tersebut.

Selain itu, hasil evaluasi juga dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dan pihak terkait dalam merumuskan kebijakan yang lebih efektif dalam mendukung pelestarian dan pengembangan bahasa daerah di tingkat nasional maupun lokal. 

Hal ini meliputi pengembangan kurikulum yang lebih berorientasi pada keberagaman budaya, pelatihan bagi guru dalam mengajar bahasa daerah, serta penyediaan sumber daya dan sarana pembelajaran yang memadai.

Dengan demikian, evaluasi komprehensif terhadap pengajaran dan penggunaan bahasa daerah di sekolah dapat menjadi langkah awal yang penting dalam upaya menjaga keberlangsungan budaya serta memperkuat identitas budaya bangsa dalam era globalisasi yang semakin kompleks ini.

Pentingnya Pelestarian Bahasa Daerah 

Bahasa-bahasa asing yang masuk dengan norma yang berbeda bisa saja memengaruhi identitas dan nilai-nilai budaya kita, sehingga terobosan kebudayaan melalui upaya pelestarian bahasa daerah harus diberikan perhatian serius agar warisan budaya kita tetap terjaga dan diteruskan ke generasi mendatang.

Dalam realitas yang ada, kita seringkali melihat bahwa pelestarian budaya, terutama dalam konteks bahasa daerah, tidak dianggap sebagai tanggung jawab bersama. 

Tidak adanya penekanan yang kuat atau kesadaran akan pentingnya melestarikan kebudayaan melalui bahasa mengindikasikan bahwa hal ini masih dianggap sebelah mata. 

Namun, perlu disadari bahwa bahasa daerah bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga membawa serta norma-norma tentang perilaku yang beradab.

Ambil contoh bahasa Jawa, di mana penggunaan kata seperti "kowe", "sampeyan", dan "njenengan" mencerminkan tingkatan sosial dalam berkomunikasi. 

"Kowe" digunakan untuk sesama teman atau orang yang lebih muda, sementara "sampeyan" ditujukan kepada orang yang lebih tua atau lebih dihormati. Adapun "njenengan" dipakai untuk menyapa seseorang yang sangat dihormati. 

Melalui penggunaan bahasa daerah ini, semangat untuk menjadi manusia yang beradab dan berbudaya semakin terjaga. 

Selain itu, bahasa daerah juga memperkaya variasi dalam penggunaan kata "kamu" dalam bahasa Indonesia, dengan memperkuat konsep tentang hierarki dan norma etika dalam berkomunikasi. 

Namun, ketika norma-norma ini mulai terkikis dan bahasa daerah punah, potensi hilangnya norma perilaku yang tercermin dalam bahasa juga semakin meningkat. 

Individu mungkin kehilangan kemampuan untuk menghargai orang lain karena kehilangan panduan atau indikator kehormatan dalam bahasa daerah.

Meskipun gagasan untuk melestarikan bahasa daerah tidaklah mudah diimplementasikan, terutama dalam mengatur regulasi dan mengintegrasikannya dalam sistem pendidikan, kita harus memahami bahwa dunia pendidikan akan menghadapi tantangan yang lebih berat jika budaya bangsa ini terus terkikis oleh arus modernisasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun