Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Syaiful Jamil dan Paranoid Pasca Tragedi Tewasnya Imam Masykur

6 Januari 2024   09:41 Diperbarui: 11 Januari 2024   22:21 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: KOMPAS I Supriyanto

Sejak peristiwa tewasnya Imam Masykur di tangan tiga oknum aparat pada tahun 2023 lalu, saya merasa agak paranoid, sebab peristiwa tragis yang dialami oleh Imam Masykur bisa saja menimpa siapa saja, bahkan tidak terkecuali kita. 

Video viral di berbagai media sosial tentang penangkapan Saiful Jamil mengingatkan saya pada peristiwa tragis penangkapan abal-abal yang dilakukan oleh tiga oknum yang mengaku dari pihak kepolisian terhadap Imam Masykur, yang pada akhirnya membuat Imam Masykur harus tewas mengenaskan.

Kewibawaan aparat memang cukup besar di mata masyarakat. Kalau sudah mengaku dari TNI ataupun POLRI, saya pikir di mana pun mereka beroperasi, masyarakat akan cenderung memaklumi, meskipun mungkin terjadi sedikit tragedi dengan penggunaan kekerasan fisik atau verbal.

Jika tindakan tersebut memang bertujuan penegakan hukum, masyarakat biasanya akan lebih memaklumi, karena jarang terjadi individu yang akan ditangkap rela hati pasrah tanpa memberontak. 

Namun, sebaliknya, banyak dari mereka yang harus berhadapan dengan aparat, adu jotos, bahkan dihadiahi timah panas karena berusaha kabur. Masyarakat pun dapat memaklumi jika itu terjadi sebagai upaya penangkapan terhadap individu yang harus berurusan dengan hukum.

Yang menjadi masalah di sini adalah pandangan kita untuk memaklumi tragedi penangkapan yang penuh dengan adu jotos telah menyebabkan korban. Terungkap bahwa oknum aparat yang menewaskan Imam Masykur sempat terlibat baku hantam dengan warga di sekitar saat penangkapan palsu terhadap Imam Masykur berlangsung. 

Barulah warga berhenti menolong Imam Masykur ketika oknum tersebut mengaku berasal dari pihak kepolisian yang akan menangkap Imam Masykur karena diduga terkait dengan peredaran obat-obatan terlarang. 

Sayangnya, malang benar apa yang menimpa Imam Masykur. Mereka memang benar-benar aparat, tetapi bukan aparat kepolisian yang seharusnya menangkap Imam Masykur karena peredaran ilegal obat-obatan terlarang. 

Mereka adalah oknum aparat yang sengaja ingin memeras Imam Masykur dan keluarganya dengan alasan sangkaan terlibat dalam peredaran obat-obatan terlarang. Kejadian ini melibatkan tiga tersangka yang merupakan oknum aparat TNI. 

Namun, saya pikir sebenarnya siapa pun dengan mudahnya dapat mengaku sebagai aparat kepolisian untuk melakukan tindakan serupa seperti yang menimpa Imam Masykur, bahkan dari warga sipil.

Siapa pun dapat mengaku sebagai aparat kepolisian untuk melakukan penangkapan, penggrebekan, dan penjemputan paksa terhadap siapapun yang dijadikan target. 

Hal ini dimungkinkan terjadi, seperti yang sudah saya ungkapkan sebelumnya, karena jika sudah mengaku sebagai aparat, baik itu dari POLRI atau TNI, masyarakat biasanya tidak berani menghalang-halangi mereka saat operasi dilakukan. 

Banyak warga yang lebih memilih untuk diam dan menonton, karena meyakini bahwa itu adalah tindakan legal sesuai dengan tugas pokok dan fungsi aparat.

Inilah yang membuat saya menjadi paranoid. Sulit membayangkan jika tiba-tiba ada beberapa orang yang mendekati kita dan meminta kita untuk ikut bersama mereka. 

Teriak sekuat apa pun, meronta sekuat apa pun, warga yang melihat mungkin hanya akan menonton tanpa melakukan tindakan apapun, asumsi bahwa orang-orang tersebut adalah aparat penegak hukum. 

Ini adalah hal yang membuat saya khawatir, karena jika mereka benar-benar aparat penegak hukum, tidak masalah. Tetapi, bagaimana jika ternyata mereka adalah kriminal, seperti yang terjadi pada Imam Masykur yang akhirnya tewas di tangan mereka yang mengaku sebagai oknum kepolisian.

Saya pikir ini juga yang menjadi ketakutan Saiful Jamil, yang saat ini video penangkapannya menjadi viral di berbagai media sosial. Dalam video tersebut, terlihat jelas bagaimana Saiful Jamil berteriak dan meronta-ronta saat ditangkap. 

Bahkan, dalam beberapa bagian video terdengar Saiful Jamil bersumpah dengan nama Tuhan bahwa mereka bukanlah aparat kepolisian. Saiful Jamil juga meminta ditunjukkan surat perintah penangkapan atas dirinya. 

Di beberapa bagian video, Saiful Jamil berusaha meyakinkan warga bahwa yang menangkapnya bukanlah aparat kepolisian. Terlihat adegan kekerasan fisik dan verbal dalam video itu. 

Saya melihat ada salah satu warga yang tampaknya akan menolong Saiful Jamil, namun pada akhirnya mengurungkan niatnya, mungkin setelah mendengar bahwa orang-orang yang berkonfrontasi dengan Saiful Jamil dan asistennya adalah aparat penegak hukum.

Ketakutan Saiful Jamil bahwa yang menangkapnya bukan dari aparat penegak hukum mungkin disebabkan karena dalam video tersebut tidak terlihat satupun aparat penegak hukum yang menggunakan seragam lengkap. 

Permintaan Saiful Jamil untuk ditunjukkan surat perintah penangkapan juga tidak diindahkan. Mungkin hal ini terjadi karena rasa paranoid setelah tewasnya Imam Masykur dalam modus yang sama, yaitu penangkapan oleh oknum aparat.

Dalam berita yang diturunkan oleh Kompas pada 7 Januari 2024 kemarin, bahkan diketahui ternyata dari seluruh yang ikut geger dalam penampakan video yang viral tersebut, bahkan terlihat aktif melakukan tarik-menarik dan melakukan kekerasan verbal, bukanlah anggota polisi, sebagaimana yang disampaikan dalam keterangan pers oleh Kapolres Jakarta Barat pada konferensi pers terkait penangkapan tersebut. 

Bukan hanya satu, tapi ada dua oknum yang ternyata bukan anggota Kepolisian Jakarta Barat, yaitu seseorang yang mengenakan hoodie merah maroon dan seseorang yang menggunakan jaket bertuliskan 'polisi' di punggung. 

Ternyata kekhawatiran Saiful Jamil tidak sepenuhnya salah, ya.

Dalam opini ini, sebagai penulis, saya mencoba mencermati fenomena Imam Masykur dan Saiful Jamil sebagai suatu hal yang seharusnya menjadi refleksi bersama agar tidak terjadi lagi kemungkinan peristiwa tragis seperti yang menimpa Imam Masykur. Setelah terjadinya peristiwa tersebut, saya juga mengakui bahwa menjadi paranoid adalah hal yang wajar. 

Kita bisa saja tiba-tiba dihadapkan pada situasi di mana seseorang mengaku sebagai aparat penegak hukum dan melakukan operasi untuk membawa seseorang secara paksa, padahal kenyataannya tidak demikian. Inilah yang harus kita cegah bersama, agar tidak terulang lagi peristiwa serupa dengan yang dialami oleh Imam Masykur.

Kehadiran Aparat 

Mengutip dari salah satu siaran podcast, bahkan Saiful Jamil sangat yakin bahwa yang berusaha menangkapnya adalah begal. Sebab, saat itu tidak ada satu pun orang yang terlihat menggunakan seragam POLRI saat tragedi penangkapan Saiful Jamil terjadi.

Kehadiran aparat penegak hukum yang berseragam dan bersenjata penting untuk meyakinkan terduga pelaku dan warga bahwa penangkapan atau penahanan dilakukan oleh pihak berwenang, bukan oleh oknum atau pihak yang tidak sah seperti dalam peristiwa Imam Masykur.

Tunggu dulu, saya tidak bermaksud bahwa divisi khusus yang bertugas dalam penangkapan terduga pelanggar hukum harus berseragam, sebab SOP dari divisi ini memang tidak mengenakan seragam lengkap. 

Ini adalah tindakan penyamaran yang dilakukan dalam rangka siasat untuk mempermudah aparat penegak hukum melakukan penangkapan terduga pelanggar hukum tanpa diketahui terlebih dahulu. 

Namun, yang saya maksud di sini adalah kehadiran divisi lain aparat penegak hukum berseragam lengkap dan juga bersenjata yang juga turut hadir saat penangkapan atau penahanan terjadi. 

Kehadiran aparat penegak hukum yang berseragam dan bersenjata ini penting dilakukan, karena akan meyakinkan terduga pelaku pelanggaran hukum dan warga masyarakat yang melihat operasi tersebut bahwa penangkapan atau penahanan tersebut benar-benar dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang, bukan oleh oknum abal-abal atau pihak yang mengaku-ngaku seperti yang terjadi dalam peristiwa Imam Masykur.

Saya pikir Saiful Jamil merasa ketakutan luar biasa karena khawatir bahwa orang-orang yang membawa dia dan asistennya bukanlah aparat penegak hukum, melainkan kriminal. 

Saat itu, tidak terlihat satupun yang menggunakan seragam dan bersenjata lengkap sebagai aparat penegak hukum, para aparat tersebut berdinas dengan menggunakan baju preman sebagai upaya penyamaran. 

Saiful Jamil beruntung, karena ternyata orang-orang tersebut adalah aparat penegak hukum dari kepolisian Jakarta Barat yang saat ini sudah terkonfirmasi memang sedang mengejar terduga pelaku pelanggar hukum yang saat itu bersama Saiful Jamil. 

Namun, nasib Imam Masykur tidak seberuntung Saiful Jamil. Mungkin saja Saiful Jamil tidak akan begitu panik jika ada beberapa oknum kepolisian yang berseragam lengkap ikut mengamankan lokasi saat peristiwa itu terjadi.

Bahkan, karena kekhawatiran yang begitu besar, Saiful Jamil menduga bahwa yang berhadapan dengan dirinya dan asistennya adalah perampok, terlihat pada beberapa potongan video yang memperlihatkan Saiful Jamil yang menyebut nama dirinya sendiri dan mengatakan bahwa dirinya sedang dirampok. 

Wajarlah, digedor-gedor oleh orang yang berpakaian preman, meminta buka paksa pintu mobil, dan meminta Saiful Jamil keluar dari mobil, dengan pakaian preman tersebut siapa pun akan merasa keder dan mengira bahwa dihadapannya adalah perampok. 

Jadi, sangat wajar jika saat penangkapan terjadi, ada beberapa aparat kepolisian berseragam lengkap dengan senjata api yang juga hadir di lokasi. Penting juga membawa senjata api, tidak hanya polisi yang berseragam lengkap, karena senjata api menjadi penanda bahwa operasi tersebut dilakukan oleh aparat kepolisian. 

Menunjukkan Surat Perintah

Hal ini saya anggap sebagai sesuatu yang penting, terutama setelah tewasnya Imam Masykur. Menunjukkan surat perintah penangkapan terduga pelaku pelanggaran hukum dapat mencegah kejadian serupa yang menimpa Imam Masykur. 

Sempat terdengar dalam beberapa bagian video, Saiful Jamil meminta kepada aparat untuk menunjukkan surat perintah penangkapan dirinya pada saat itu. 

Namun, setelah saya mengulang video tersebut, tidak terlihat di bagian manapun bahwa aparat menunjukkan surat perintah penangkapan kepada Saiful Jamil dan kepada warga yang menyaksikan operasi tersebut, sebagai bukti bahwa keduanya merupakan terduga pelaku pelanggaran hukum.

Hal ini saya anggap sebagai sesuatu yang penting, terutama setelah tewasnya Imam Masykur. Menunjukkan surat perintah penangkapan terduga pelaku pelanggaran hukum dapat mencegah kejadian serupa yang menimpa Imam Masykur. 

Aparat penegak hukum memiliki kewajiban untuk menunjukkan surat perintah tersebut untuk meyakinkan terduga pelaku yang akan dibawa serta warga yang menyaksikan bahwa operasi yang dilakukan adalah legal berdasarkan hukum.

Mungkin tidak ada salahnya jika warga yang menyaksikan juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk memperlihatkan surat perintah penangkapan pada operasi tersebut. 

Meskipun kehadiran aparat kepolisian berseragam lengkap pada lokasi penangkapan sudah memberikan indikasi bahwa operasi tersebut adalah legal, point kedua ini akan lebih memantapkan keyakinan bahwa aparat penegak hukum sedang melaksanakan tugasnya secara sah berdasarkan hukum. 

Dengan demikian, diharapkan hal ini dapat mencegah terjadinya penangkapan ilegal yang pada akhirnya dapat menimbulkan korban, seperti yang dialami oleh Imam Masykur.

Jangan Lagi Ada Imam Masykur Lainnya

Tulisan ini sebagai refleksi bersama, agar tidak ada lagi peristiwa seperti yang dialami oleh Imam Masykur di masa yang akan datang.

Saya sengaja mengeliminasi usulan untuk melibatkan pamong setempat, karena keberadaan pamong kemungkinan dapat terancam jika terlibat dalam peristiwa penggrebekan atau penangkapan individu terduga pelanggar hukum. 

Atau mungkin hanya koordinasi yang dilakukan antara oknum aparat dengan pamong setempat. 

Namun, rasa-rasanya ini agak tidak memungkinkan dilakukan karena operasi penggrebekan atau penangkapan seharusnya dilakukan dengan senyap, dan dalam kondisi tertentu seperti kejar-kejaran dengan terduga pelaku pelanggar hukum juga tidak memungkinkan untuk berkoordinasi terlebih dahulu dengan pamong setempat.

Apa yang saya tulis ini sebenarnya adalah kekhawatiran lama yang penulis pendam sejak tewasnya Imam Masykur. Menjadi paranoid setelah membaca berita lengkap tentang bagaimana dan apa yang terjadi dengan Imam Masykur di KOMPAS.com. 

Penulis berpikir, berarti hal ini bisa terjadi pada siapa pun dan di mana pun, bukan? Ada oknum bahkan mungkin warga sipil yang berniat melakukan tindakan kriminal bisa saja merampok atau membawa paksa seseorang dengan motif tertentu menggunakan cara yang sama seperti aparat penegak hukum saat sedang melakukan penangkapan terhadap terduga pelaku pelanggaran hukum.

Tidak ada salahnya untuk tetap waspada, terutama pada zaman ini dengan berbagai modus manipulatif yang bisa dikembangkan oleh siapa pun untuk berbuat sesuka hati. 

Saya berpendapat bahwa tulisan ini dapat menjadi saran yang berguna bagi aparat penegak hukum, sekaligus menjadi evaluasi bagi warga yang menjadi saksi ketika berada di sekitar tempat kejadian suatu operasi penangkapan terduga pelanggaran hukum. 

Aparat penegak hukum bisa menggunakan ini sebagai Standar Operasional Prosedur (SOP) atau memperkuat SOP yang sudah ada, sementara masyarakat dapat berperan sebagai pengawas untuk mencegah kejadian seperti tewasnya Imam Masykur agar tidak terulang.

Kembali lagi pada penangkapan Saiful Jamil, ternyata Saiful Jamil tidak selamanya salah menduga kan bahwa yang menangkap dirinya bukanlah polisi sungguhan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun