Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Paradoks Perokok Anak: Tantangan dan Solusi

18 Desember 2023   22:41 Diperbarui: 19 Desember 2023   13:41 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun berbagai kebijakan, peraturan, dan larangan merokok telah diterapkan, paradoksnya, perilaku merokok di kalangan anak-anak sekolah malah semakin berkembang seiring berjalannya waktu.

Salah satu rekan kami dari tenaga administrasi sekolah yang bertanggung jawab atas kebersihan, beberapa kali menyampaikan keprihatinan kepada kami, tim kesiswaan. 

Ia menemukan banyak puntung rokok berserakan di area toilet siswa saat melakukan kegiatan pembersihan. Keluhan serupa juga disampaikan oleh beberapa rekan yang melaporkan adanya aroma rokok ketika seorang siswa masuk ke dalam kelas. 

Bahkan, pemilik kantin sekolah turut memberikan informasi bahwa salah satu siswa pernah memesan kopi untuk diminum di belakang gedung sekolah bersama teman-temannya. Ironisnya, setelah kegiatan itu, banyak puntung rokok berserakan di sekitar gelas kopi yang baru saja mereka habiskan.

Perilaku seperti ini bukanlah kejadian yang terisolasi, melainkan suatu realitas yang terjadi di berbagai sekolah. Pengamatan penulis di beberapa tempat tugas mengungkapkan bahwa perilaku merokok di kalangan siswa bukanlah sesuatu yang disembunyikan atau dihindari dengan malu. 

Sebagai contoh, pada pagi hari saat penulis berangkat sekolah, terlihat adegan yang cukup mengesalkan di mana beberapa siswa dengan seragam sekolah melakukan transaksi jual beli rokok di warung. Mereka dengan santai menyulut rokok dan menghisapnya saat perjalanan menuju sekolah. Pemandangan ini tidak sekali-kali, melainkan sering terulang.

Jika pada era tahun 1990-an hingga awal 2000-an merokok dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan dihindari untuk diungkapkan di muka umum, kini perilaku merokok justru dianggap sebagai identitas yang membuat mereka bangga.

Melihat fenomena ini, penulis mencoba merangkum beberapa realita dan fakta yang menggambarkan bagaimana paradoks budaya merokok tetap tumbuh subur di kalangan anak-anak sekolah. 

Opini ini diharapkan dapat menjadi panggilan bagi para pembuat kebijakan, masyarakat, pelaku usaha, dan juga orang tua untuk lebih memahami dan menghadapi fakta-fakta ini sebagai tantangan yang harus disikapi. 

Dengan harapan bahwa kesadaran bersama akan membawa perubahan positif dalam upaya menanggulangi peningkatan konsumsi rokok di kalangan anak-anak.

Keluarga Perokok

Kejutan yang lebih besar muncul ketika kami mengetahui bahwa bukan hanya ayah dan kakak laki-laki yang merokok, melainkan juga sang ibu.

Dalam serangkaian razia penertiban tata tertib sekolah, kami tidak jarang menemui aroma rokok yang menyelinap di dalam tas-tas siswa. Bahkan, beberapa siswa tertangkap merokok di luar lingkungan sekolah. 

Melalui hasil wawancara, terungkap bahwa mereka memiliki pemahaman akan bahaya rokok, namun ada suatu kondisi yang membuat mereka sulit untuk berhenti merokok: tumbuh kembang dalam keluarga perokok.

Ironisnya, keluarga ini seharusnya menjadi contoh positif, terutama karena orang tua siswa adalah pegawai negeri sipil. Namun, keadaan di lapangan membuktikan sebaliknya. 

Situasi semacam ini menggambarkan bagaimana keluarga yang seharusnya memiliki kesadaran sehat malah membiarkan perilaku merokok menjadi bagian dari pola hidup mereka.

Tentu, hal ini menjadi dilema bagi sekolah. Bagaimana sekolah dapat berperan efektif dalam melawan konsumsi rokok ketika siswa hidup dalam lingkungan keluarga yang mendukung dan membiarkan kebiasaan merokok? 

Dengan adanya pemahaman permisif dari keluarga tersebut, usaha sekolah untuk melarang merokok menjadi terhambat. Permisif di sini mengindikasikan bahwa keluarga mengetahui anak-anak mereka merokok dan bahkan memberikan izin untuk melakukannya.

Keadaan ini tidak dapat dianggap remeh, karena ini adalah fakta yang nyata terjadi di lapangan. Dengan demikian, larangan merokok yang diterapkan oleh sekolah menjadi tidak efektif tanpa adanya figur atau lingkungan yang dapat memberikan contoh positif dan mendorong siswa untuk meninggalkan kebiasaan merokok. 

Dalam situasi ini, tantangan bagi sekolah bukan hanya dalam memberikan larangan, tetapi juga menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung perubahan perilaku positif, bahkan di tengah lingkungan keluarga yang permisif terhadap rokok.

Guru Perokok

Pertanyaan mengejek dari siswa, "Pak, beliau juga merokok pak, kok boleh?" menciptakan momen kebingungan dan refleksi mendalam bagi saya sebagai seorang guru. 

Paradoks terbesar muncul ketika saya menyadari bahwa beberapa rekan guru, yang seharusnya menjadi figur teladan, ternyata masih merokok di lingkungan sekolah. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada sekolah kami, melainkan mungkin juga merupakan masalah umum di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. 

Situasi ini menunjukkan betapa sulitnya melarang siswa untuk tidak merokok ketika para guru sendiri, sebagai panutan utama, masih terlibat dalam kebiasaan merokok di sekolah.

Dalam konteks ini, larangan terhadap siswa untuk tidak merokok tidak dapat diimplementasikan secara efektif jika para guru tidak mampu menjadi contoh yang konsisten. Maka, menjadi suatu keharusan bagi kami, sebagai tenaga pendidik, untuk memahami dan meresapi peran besar yang kami miliki dalam membentuk perilaku siswa. 

Saya yakin bahwa kesadaran akan dampak positif yang dapat dihasilkan oleh perubahan perilaku para guru terhadap merokok akan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi upaya melawan konsumsi rokok di kalangan siswa.

Melalui refleksi ini, diharapkan bahwa para guru dapat menyadari tanggung jawab moral mereka dalam menciptakan lingkungan sekolah yang sehat dan bebas dari kebiasaan merokok. 

Hanya dengan konsistensi dan kesadaran akan dampak buruk dari merokok, para guru dapat memainkan peran utama sebagai panutan positif bagi para siswa, sehingga larangan merokok bukan hanya sebuah peraturan di atas kertas, tetapi juga nilai yang dihayati dan dijunjung tinggi oleh seluruh komunitas sekolah.

Pelaku Usaha 

Perlu diingat bahwa pelaku usaha tidak sepenuhnya salah, karena hingga kini belum ada regulasi yang secara tegas melarang mereka menjual rokok kepada siapapun.

Pelaku usaha tidak dapat dianggap sebagai satu-satunya penyebab masalah merokok, sebab merokok dipandang sebagai pilihan pribadi dengan segala risikonya. Banyak pelaku usaha yang menjual rokok, dan sayangnya, tanpa batasan yang jelas karena regulasi terkait rokok, terutama larangan bagi anak-anak untuk merokok, masih minim dan kurang tegas.

Ketidakjelasan dalam regulasi ini memberikan ruang bagi para pelaku usaha untuk tetap melayani pembeli di segala usia, termasuk anak-anak. Meskipun situasi ini menyedihkan, namun itulah realitas yang sering dihadapi. 

Saya sendiri sering menyaksikan anak-anak sekolah singgah di warung untuk membeli rokok sebelum melanjutkan perjalanan mereka menuju sekolah.

Oleh karena itu, fokus penulis bukanlah menyalahkan mereka, melainkan mengajak para pelaku usaha untuk turut serta dalam memutus mata rantai konsumsi rokok pada anak-anak Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan mendorong para pelaku usaha untuk memfilter konsumennya berdasarkan usia.

Dengan adanya gerakan bersama di kalangan pelaku usaha, yakinlah bahwa Indonesia dapat secara bertahap mengurangi angka anak-anak perokok. 

Melalui kesadaran dan tindakan bersama, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan bebas dari kebiasaan merokok di kalangan generasi muda. Sehingga, upaya ini bukan hanya menjadi panggilan moral, tetapi juga investasi dalam masa depan Indonesia yang lebih baik.

Regulasi Setengah Hati

Dalam Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah, terdapat pasal 5 yang melarang peserta didik, yaitu anak-anak usia sekolah, untuk merokok. Namun, ternyata peraturan ini agaknya terkesan tidak begitu serius atau tegas. Sebabnya, peraturan ini hanya mengatur larangan merokok di lingkungan sekolah saja, dan tidak memberikan ketegasan terhadap perilaku merokok di luar lingkungan sekolah.

Situasi ini menciptakan ketidakjelasan hukum, karena secara implisit memberikan izin bagi anak-anak untuk merokok di tempat-tempat lain seperti rumah, taman, atau kafe-kafe remaja yang sedang menjamur. 

Kesimpulannya, kurangnya ketegasan dalam regulasi ini memberikan celah bagi siswa untuk merokok di luar lingkungan sekolah tanpa ada konsekuensi hukum yang jelas.

Dampaknya sangat dirasakan di lapangan, terutama oleh para guru yang kesulitan melarang siswa merokok di luar sekolah tanpa adanya dasar hukum yang tegas. 

Kesulitan ini semakin meningkat karena tidak ada regulasi yang mengatur atau melarang merokok di tempat-tempat umum di luar lingkungan sekolah. Oleh karena itu, ketidakjelasan regulasi menjadi hambatan bagi para guru dalam memberikan pembinaan dan pengarahan kepada siswa terkait bahaya merokok.

Dengan demikian, perlu adanya revisi atau penambahan ketegasan dalam regulasi terkait kawasan tanpa rokok, sehingga tidak hanya berlaku di lingkungan sekolah, tetapi juga mencakup tempat-tempat umum lainnya. 

Hal ini diharapkan dapat memberikan dasar hukum yang kuat bagi para guru untuk melarang siswa merokok di berbagai tempat di luar lingkungan sekolah, sehingga upaya pencegahan rokok dapat dilakukan secara lebih efektif dan menyeluruh.

Wasana Kata

Dengan sinergi dan konsistensi dalam implementasi regulasi ini, saya yakin angka perokok anak akan menurun secara signifikan. Visi Indonesia emas pada tahun 2045 bukan lagi sekadar gagasan atau impian, melainkan suatu kenyataan yang dapat terwujud. 

Regulasi yang melarang peserta didik merokok memang ada, namun terbatas pada lingkungan sekolah. Hal ini menciptakan celah di mana anak-anak diizinkan merokok di luar lingkungan sekolah.

Menurut saya, batasan yang lebih efektif untuk melindungi anak-anak dari rokok seharusnya berfokus pada usia anak itu sendiri. Regulasi yang hanya membatasi di lingkungan sekolah menyiratkan bahwa anak-anak diperbolehkan merokok selama tidak berada di sekolah. 

Oleh karena itu, untuk memulai "perang" terhadap maraknya konsumsi rokok di kalangan anak-anak, kita perlu mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan regulasi yang mengatur batasan usia untuk merokok.

Mengapa ini begitu penting? 

Sebab melalui regulasi ini, kita memulai langkah awal 'tabuh genderang perang' terhadap rokok. Dimulai dengan regulasi yang mengatur batasan usia, diharapkan ini akan menciptakan efek domino, menghasilkan peraturan menteri yang tidak hanya memperkuat penciptaan lingkungan tanpa asap rokok, tetapi juga memperluas perlawanan terhadap kebiasaan merokok.

Jika gagasan ini diakomodasi oleh pemangku kebijakan, khususnya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, konsistensi dalam pelaksanaan regulasi menjadi kunci utama. 

Setiap pihak, termasuk orangtua, rekan guru, dan pelaku usaha, harus bersinergi untuk menciptakan Indonesia tanpa perokok anak. Orangtua perlu memberikan teladan positif, guru berperan sebagai contoh, dan pelaku usaha harus tegas dalam menerapkan aturan bagi pembeli rokok.

Penting untuk diingat bahwa masa depan adalah milik mereka yang mempersiapkan diri saat ini. Sebagaimana kita membayangkan masa depan yang cerah bagi generasi muda Indonesia, tanggung jawab bersama ini harus diemban sejak sekarang. 

Bagaimana kita merancang masa depan yang gemilang untuk generasi penerus adalah tantangan yang harus kita jawab bersama hari ini.

Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun