Fenomena ini bahkan tidak terbatas pada media sosial, melainkan juga merambah ke kehidupan sehari-hari. Para remaja, yang mungkin banyak terpapar oleh berbagai tontonan di media sosial, seringkali menjadi pihak yang paling aktif mengungkapkan kedua kata tersebut. Dengan demikian, terjadi pergeseran pola perilaku dalam menyerap kata-kata ini sebagai kebiasaan di masyarakat.
Contoh ini mencerminkan normalisasi sosial penyimpangan terhadap kata-kata yang awalnya dianggap tidak etis. Seiring berjalannya waktu dan repetisi penggunaan kata-kata tersebut, masyarakat mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang umum dan tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan.Â
Penulis menggarisbawahi bahwa fenomena serupa dapat ditemui dalam berbagai perilaku lain yang sering ditonton oleh para remaja. Perilaku tersebut dapat mengubah persepsi masyarakat tentang benar dan salah, menormalisasi penyimpangan hingga pada akhirnya dianggap sesuatu yang benar dan legal untuk dilakukan.
Konten kreator perlu menyadari bahwa setiap karya yang mereka hasilkan memiliki potensi besar untuk menormalisasi penyimpangan norma di masyarakat. Oleh karena itu, hati-hati dan tanggung jawab besar dibutuhkan dalam setiap produksi dan tayangan konten.
Wasana Kata
Internet dan media sosial dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua, mampu memberikan dampak positif namun juga berpotensi menimbulkan dampak negatif.Â
Melihat jumlah pengguna internet yang besar di Indonesia, potensi untuk meningkatkan peradaban Indonesia menjadi lebih baik juga sangat besar.Â
Namun, sebaliknya, potensi kerusakan peradaban juga menjadi sebuah ancaman nyata. Dari berbagai contoh dan fenomena di atas, penulis ingin mengingatkan para konten kreator di Indonesia akan tanggung jawab besar yang dimiliki terhadap setiap konten yang mereka tayangkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa konten-konten yang diproduksi memiliki daya pengaruh yang signifikan terutama terhadap generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, para konten kreator perlu memahami bahwa konten yang mereka hasilkan dapat membawa dampak positif atau negatif.Â
Penulis mengajak para konten kreator untuk mengedepankan substansi dan nilai edukatif dalam konten mereka, daripada hanya mengandalkan gimmick judul atau adegan yang dapat menarik perhatian.
Berbagai konten yang sering tayang memiliki potensi untuk menjadi penggeser norma dan memberikan pembenaran terhadap berbagai penyimpangan, terutama akibat repetisi yang sering terjadi. Oleh karena itu, penulis mengajak seluruh pengguna media sosial di Indonesia, terutama konten kreator yang memiliki banyak pengikut, untuk memproduksi konten yang memberikan makna edukasi khususnya bagi anak-anak.Â