Salah satu contoh praktik efek ilusi kebenaran ini dapat ditemukan pada Goebbels, seorang propagandis sukses di Jerman sebelum tahun 1945, yang menggunakan teknik "Argentum ad nausem" atau kebohongan besar. Prinsipnya adalah menyebarkan berita bohong sebanyak mungkin dan sesering mungkin, hingga berita tersebut diyakini sebagai kebenaran oleh khalayak.
Teori psikologi menyebutnya sebagai efek ilusi kebenaran, di mana informasi yang diulang-ulang memiliki potensi mengubah persepsi masyarakat terhadap suatu hal. Goebbels berhasil menerapkan teori ini dengan sukses, sehingga menimbulkan kengerian penulis terhadap potensi pergeseran norma yang bisa dipicu oleh para konten kreator tanah air.
Penulis menggambarkan fenomena ini melalui berita tentang Marshanda pada tahun 2011, di mana kontroversi terjadi terkait video bernyanyi dan berjoget di depan kamera. Meskipun awalnya dianggap tidak etis, aktivitas serupa kini menjadi tren dan dianggap sebagai bagian dari budaya konten kreator. Penulis khawatir bahwa banyaknya konten yang tidak mempertimbangkan etika dapat mengubah norma-norma masyarakat.
Penulis menyoroti bahwa aktivitas tertentu, yang sebelumnya dianggap kurang pantas, kini menjadi biasa karena sering diulang dalam konten media hiburan. Peniruan dan repetisi aktivitas berbau dewasa, kekerasan, dan diskriminasi menjadi ancaman terhadap pergeseran norma.Â
Dengan semakin banyaknya pengguna internet di Indonesia, penulis menyadari bahwa konten kreator memiliki peran besar dalam membentuk norma dan tingkah laku.Â
Penulis mengingatkan konten kreator untuk tidak asal membuat konten, karena kontennya memiliki potensi mengubah norma masyarakat. Kesadaran ini penting untuk menjaga konten agar tidak merubah norma-norma baik menjadi bias atau merugikan.
Normalisasi Perilaku
Normalisasi sosial penyimpangan, seperti yang diungkapkan oleh Diane Vaughan (1996) melalui muhyidin.id, merujuk pada kondisi di mana orang-orang dalam suatu organisasi menjadi sangat terbiasa dengan penyimpangan, sehingga mereka menganggapnya tidak menyimpang, meskipun fakta menunjukkan bahwa mereka melanggar aturan keselamatan dasar mereka sendiri.
Sebagai contoh, kita dapat mengingat perdebatan seputar kata "anjay" dan "anjir" pada tahun 2020 yang melibatkan salah satu YouTuber tanah air. Persoalan ini mencuat karena ketidaksepakatan di antara para YouTuber yang mempermasalahkan kata-kata tersebut.Â
Meskipun ada yang menilai itu sebagai perilaku sok sok an dan sejenisnya, tidak banyak yang mendukung pandangan YouTuber tersebut. Penulis sejalan dengan pola pikir yang diusung oleh YouTuber tersebut, menganggap bahwa kata "anjay" dan "anjir," jika benar merupakan kata umpatan dari nama binatang yang diplesetkan, seharusnya dianggap tidak etis dalam pergaulan.Â
Namun, ironisnya, kedua kata tersebut malah semakin tergolong dalam bahasa sehari-hari dan digunakan sebagai ekspresi kekaguman atau penyesalan.
Pada media sosial, banyak konten kreator yang sering menggunakan kedua kata tersebut. Awalnya, mungkin dianggap sebagai pelanggaran etika, namun seiring berjalannya waktu, kata-kata ini semakin meluas dan banyak digunakan, terutama oleh para konten kreator.Â