Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menggali Fenomena "Naik Ring": Tren Pergeseran Penyelesaian Konflik?

20 Oktober 2023   15:54 Diperbarui: 23 Oktober 2023   01:45 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jefri Nichol dan El Rumi akan bertanding tinju. Sumber: Kompas.com/Ady Prawira Riandi

Fenomena "naik ring" para selebritis yang semakin marak di tanah air semestinya menjadi perhatian serius bagi para orang tua dan pendidik. Saya ingin berbagi kekhawatiran sebagai seorang orang tua dan pendidik melihat merebaknya tren ini yang sepertinya semakin mendominasi ranah hiburan di tanah air. 

Dua peristiwa mencolok seakan menjadi puncak yang menggambarkan betapa kuatnya pengaruh media dan hiburan terhadap perilaku anak-anak. Pertama, sebuah video penyelamatan seorang anak kecil yang nekat menaiki atap rumah sendirian untuk mencari seekor ayam menjadi viral di media sosial. 

Video berdurasi 1 menit 6 detik ini diunggah oleh akun TikTok @firsialda pada Senin, 16 Oktober 2023 mengutip dari KOMPAS. Dalam rekaman tersebut, seorang anak laki-laki mengenakan baju cokelat dan celana merah tampak menangis di atas genteng rumah. Dua orang pria akhirnya dengan penuh hati-hati meraihnya dan membawanya kembali ke bawah. Sang anak mengaku bahwa ia sedang meniru adegan kartun yang seringkali menjadi tontonannya.

Masih dari KOMPAS, Peristiwa sebelumnya terjadi di China pada Jumat, 26 Mei 2023, ketika seorang bocah laki-laki berusia empat tahun melompat dari lantai 26 sebuah gedung apartemen dengan menggenggam payung sebagai parasut. 

Tindakan nekat ini terjadi setelah sang anak menonton film kartun "Tom and Jerry." Ini menunjukkan betapa kuatnya daya tarik tontonan kartun dalam mengilhami anak-anak.

Kita sering kali mengabaikan betapa kuatnya pengaruh apa yang kita saksikan dalam tayangan terhadap pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Sebagai contoh, setiap kali kita menonton adegan pertarungan antara pahlawan dan penjahat dalam sebuah film, kita merasakan dorongan emosional yang kuat untuk mengikuti semangat keberanian dan kemenangan. 

Fenomena ini membuktikan bahwa tayangan memainkan peran penting dalam membentuk persepsi dan tindakan kita. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika anak-anak, yang masih dalam tahap perkembangan, terkadang meniru perilaku berbahaya yang mereka lihat dalam tayangan, seperti mencoba naik ke atas genteng atau bahkan melompat dari tempat yang tinggi. 

Kejadian ini mengingatkan kita pada kasus tragis seorang anak berusia 2,5 tahun yang terinspirasi oleh adegan kartun yang memicu tindakan berbahaya.

Kekhawatiran saya sebagai orang tua dan pendidik semakin mendalam ketika melihat tren "naik ring" di kalangan selebritis, yang kini menjadi fenomena yang mempengaruhi banyak kalangan di tanah air. 

Yang perlu menjadi perhatian lebih lanjut adalah bagaimana tren "naik ring" ini berkaitan dengan masalah yang lebih dalam. Di Indonesia, kita semakin sering disuguhi tontonan pertarungan di atas ring tinju. Yang lebih memprihatinkan, pertarungan ini melibatkan para selebritis dan bukan lagi atlet tinju profesional. 

Bahkan, pertarungan ini sering kali digunakan sebagai sarana penyelesaian konflik, menggantikan musyawarah dan dialog. Ini merupakan perkembangan yang memicu perdebatan lebih lanjut, terakhir kita menyaksikan pertarungan seorang atlet petarung profesional melawan tiga orang, yang sebenarnya bermula dari masalah antrian di sebuah franchise swalayan.

Saya ingin mengakui bahwa saya sendiri tak luput terpikat dengan daya tarik untuk menonton pertarungan semacam itu yang sering kali menjadi hiburan. 

Namun, berita tentang anak berusia 2,5 tahun yang terinspirasi oleh kartun mengingatkan kita bahwa tayangan bisa menjadi pendorong tindakan, terutama bagi anak-anak yang mudah terpengaruh oleh media. 

Saat opini ini ditulis, kita sedang menantikan pertarungan antara selebritis papan atas. Pertarungan ini mungkin akan menjadi contoh bagi generasi muda, menunjukkan bahwa tren pertarungan publik figur belum mereda; bahkan, animonya semakin meningkat sebagai hiburan.

Kekhawatiran saya sebagai orang tua dan pendidik adalah bahwa fenomena "naik ring" yang tengah marak di kalangan selebritis dapat memiliki dampak yang serius pada perkembangan anak-anak dan generasi mendatang. 

Dalam konteks ini, terdapat beberapa keprihatinan utama yang patut kita pertimbangkan dan melalui opini ini saya secara pribadi ingin berbagi kekhawatiran sebagai orang tua dan pendidik melihat merebaknya fenomena "naik ring" yang menjadi tren di tanah air saat ini. Dalam pembahasan yang lebih luas, saya ingin mengeksplorasi dampak tersembunyi dari fenomena yang sedang merebak ini; selebritis "naik ring".

Pertama, Pergeseran Terhadap Penyelesaian Konflik

Salah satu perhatian utama dalam fenomena "naik ring" di kalangan selebritis adalah bagaimana tren ini berkontribusi pada penyelesaian konflik. 

Kita tidak dapat meremehkan dampak dari bagaimana selebritis atau publik figur menggunakan pertarungan di atas ring sebagai cara untuk menyelesaikan konflik pribadi. Ini merupakan perkembangan yang membahayakan karena menyuguhkan pandangan bahwa kekerasan fisik adalah jalan keluar yang diterima untuk menyelesaikan perbedaan pendapat.

Sebuah kutipan bijak mengatakan bahwa "kesalahan yang terulang menjadi kebiasaan" – maksudnya, ketika suatu tindakan yang salah dilakukan berulang kali, akhirnya tindakan tersebut dapat dianggap benar dan sah. 

Dengan demikian, eksposur publik terhadap penyelesaian konflik melalui pertarungan di atas ring menciptakan kondisi di mana masyarakat menginternalisasi pandangan bahwa adu fisik adalah cara yang sah untuk mengatasi perbedaan dan konflik. 

Padahal, di negara kita, kita selama ini telah menekankan pentingnya musyawarah mufakat sebagai landasan dalam menyelesaikan perbedaan. Sehingga, fenomena ini bisa merusak dan menggeser budaya penyelesaian konflik yang selama ini kita anut. 

Ketika pertarungan tersebut digambarkan sebagai tindakan yang heroik dan memicu adrenalin, ini dapat merubah persepsi masyarakat tentang cara yang benar untuk mengatasi ketegangan dan konflik.

Lebih lanjut, konsumsi berlebihan dari tayangan ini dapat mengubah norma sosial kita. Prinsip-prinsip musyawarah, berbicara, dan mencari solusi bersama yang selama ini menjadi bagian integral dari budaya kita, dapat tergeser oleh gagasan bahwa kekerasan fisik adalah cara yang lebih cepat dan efektif untuk menyelesaikan masalah. Ini berpotensi berdampak negatif pada hubungan antarindividu dan mengancam stabilitas sosial.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals - SDGs), pergeseran ini menimbulkan ancaman pada SDG 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Institusi Kuat berfokus pada pentingnya perdamaian dan penyelesaian konflik yang damai. Pergeseran ini dapat menghambat kemajuan menuju tujuan tersebut karena masyarakat yang terbiasa dengan kekerasan fisik cenderung tidak memahami pentingnya perdamaian.

Kedua, Membentuk Mental "Senggol Bacok"

Fenomena "naik ring" di kalangan selebritis juga membawa dampak serius terhadap mentalitas masyarakat, terutama generasi muda, yang dapat mengganggu tatanan sosial yang ada. Eksposur berlebihan terhadap pertarungan ini dapat membentuk apa yang disebut sebagai "mental senggol bacok." 

Ini adalah suatu kondisi di mana individu mulai merespons perbedaan pendapat atau konflik dengan sikap sombong, arogan, dan bersiap untuk berduel atau berkonfrontasi fisik daripada mencari solusi melalui komunikasi dan perundingan.

Fenomena ini menjadi sangat mencemaskan, terutama ketika meresap hingga ke generasi muda. Ketika anak-anak dan remaja terpapar secara rutin dengan tontonan pertarungan di atas ring, mereka dapat mengembangkan pemahaman yang salah tentang bagaimana menangani konflik dan ketegangan. 

Mereka mungkin merasa terdorong untuk menunjukkan kekuatan fisik sebagai cara untuk mengatasi masalah dan mendapatkan penghargaan.

Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai yang selama ini ditanamkan oleh masyarakat kita, seperti rasa hormat terhadap orang lain, sikap toleransi, dan kemampuan berkomunikasi. 

Mengutamakan kekerasan fisik sebagai cara penyelesaian konflik bukan hanya bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, tetapi juga berpotensi merusak hubungan sosial, baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap dan perilaku "senggol bacok" ini kontradiktif dengan semangat pembangunan berkelanjutan yang menjadi fokus Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam konteks SDGs, dampak dari pergeseran perilaku ini menjadi jelas.

SDG 16, yang mencakup Perdamaian, Keadilan, dan Institusi Kuat, menekankan pentingnya perdamaian dan penyelesaian konflik yang damai. Perilaku "senggol bacok" ini secara langsung melanggar tujuan ini, karena menekankan kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik.

SDG 4, Pendidikan Berkualitas, juga terpengaruh. Anak-anak yang tumbuh dengan "mental senggol bacok" mungkin menghadapi kesulitan dalam belajar dan berinteraksi secara positif dengan teman sebaya mereka.

Ketiga, Normalisasi Kekerasan

Tidak hanya membentuk mentalitas "senggol bacok," eksposur berlebihan terhadap kekerasan dalam tontonan juga berpotensi membawa dampak lain yang serius, yaitu normalisasi kekerasan. 

Fenomena ini terjadi ketika masyarakat terbiasa dengan tindakan kekerasan hingga akhirnya tindakan tersebut menjadi sesuatu yang lumrah, bahkan dianggap sebagai suatu norma.

Efek normalisasi kekerasan ini bisa sangat merusak dalam masyarakat. Ketika orang terpapar secara berulang dengan tontonan yang mempromosikan tindakan kekerasan, mereka dapat kehilangan rasa empati terhadap orang lain. 

Mereka mungkin menjadi kurang peka terhadap penderitaan dan dampak yang ditimbulkan oleh tindakan kekerasan, karena terbiasa melihatnya sebagai bagian dari hiburan atau cara penyelesaian konflik. 

Lebih lanjut, normalisasi kekerasan juga dapat mengubah persepsi kita tentang apa yang dapat diterima dalam masyarakat. Tindakan-tindakan kasar yang semestinya dihindari dan dihukumi negatif dapat berubah menjadi tindakan yang dianggap biasa dan bahkan dihargai. 

Ini berarti bahwa orang mungkin lebih cenderung menjustifikasi atau bahkan mengadopsi tindakan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari.

Normalisasi kekerasan bertentangan dengan upaya mencapai perdamaian dan mengurangi tindakan kekerasan di seluruh dunia, seperti yang ditunjukkan dalam SDG 16. Target SDG 16 mencakup pengurangan kekerasan, menciptakan lembaga yang inklusif, dan memastikan akses universal ke hukum yang adil. Normalisasi kekerasan dapat mengancam pencapaian target-target ini. 

Mengatasi Bahaya Laten Selebritis "Naik Ring" Demi Pembangunan Berkelanjutan 

Berbagai potensi ancaman yang muncul akibat fenomena "naik ring" oleh para selebritis dan publik figur tidak bisa disepelekan. Dalam rangka melindungi generasi muda dan menjaga integritas nilai-nilai sosial yang telah kita anut selama ini, perlu adanya campur tangan pemerintah dan peran aktif dari para orang tua. 

Kita tak boleh mengabaikan potensi dampak berantai dari normalisasi kekerasan. Hal-hal yang saat ini mungkin terlihat sepele bisa tumbuh menjadi masalah serius di masa depan. Oleh karena itu, semua pihak, termasuk pemerintah dan orang tua, harus bersatu untuk menghentikan normalisasi kekerasan dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi landasan keyakinan kita.

Pemerintah perlu merumuskan regulasi yang ketat terkait dengan konten-konten "naik ring" publik figur. Hal ini harus mencakup pedoman moral dan etika yang tegas untuk media massa, termasuk televisi, radio, dan media sosial. 

Sebagai bagian dari upaya pencegahan, pemerintah dapat meluncurkan kampanye pendidikan publik yang menyoroti bahaya normalisasi kekerasan. Hal ini akan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif tontonan kekerasan. 

Orang tua harus secara aktif mengawasi tontonan anak-anak mereka dan membatasi akses mereka ke konten yang tidak sesuai dengan usia. 

Penting untuk berbicara dengan anak-anak tentang apa yang mereka tonton dan memberikan pemahaman yang benar tentang kekerasan. Komunikasi terbuka membantu anak-anak memproses apa yang mereka saksikan. 

Orang tua harus memperkenalkan nilai-nilai seperti empati, kerjasama, dan komunikasi sebagai cara yang sehat untuk merespons konflik. Ini membantu mencegah mereka merespons perbedaan pendapat dengan tindakan agresif. 

Anak-anak perlu tahu tentang konsekuensi nyata dari tindakan kekerasan, baik dalam kehidupan nyata maupun dalam tontonan. Hal ini dapat membantu mereka memahami dampak negatif yang mungkin terjadi. 

Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals - SDGs)  telah memberikan landasan untuk berkomitmen dalam melindungi dan meningkatkan kualitas hidup anak-anak dan remaja. Ancaman yang muncul akibat normalisasi kekerasan dalam tontonan merupakan tantangan serius dalam mencapai SDGs. Oleh karena itu, kita perlu menjalankan peran sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang peduli dengan masa depan generasi muda dan implementasi SDGs.

Kekhawatiran ini sejalan dengan tujuan global yang bertujuan untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang, seperti yang diuraikan dalam SDGs. 

Sebagai penutup, mari bersama-sama mengambil langkah nyata dalam melindungi generasi muda dari normalisasi kekerasan dalam tontonan dan memastikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan terus dijunjung tinggi dalam pembangunan masa depan yang berkelanjutan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun