Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menggali Fenomena "Naik Ring": Tren Pergeseran Penyelesaian Konflik?

20 Oktober 2023   15:54 Diperbarui: 23 Oktober 2023   01:45 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jefri Nichol dan El Rumi akan bertanding tinju. Sumber: Kompas.com/Ady Prawira Riandi

Lebih lanjut, konsumsi berlebihan dari tayangan ini dapat mengubah norma sosial kita. Prinsip-prinsip musyawarah, berbicara, dan mencari solusi bersama yang selama ini menjadi bagian integral dari budaya kita, dapat tergeser oleh gagasan bahwa kekerasan fisik adalah cara yang lebih cepat dan efektif untuk menyelesaikan masalah. Ini berpotensi berdampak negatif pada hubungan antarindividu dan mengancam stabilitas sosial.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals - SDGs), pergeseran ini menimbulkan ancaman pada SDG 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Institusi Kuat berfokus pada pentingnya perdamaian dan penyelesaian konflik yang damai. Pergeseran ini dapat menghambat kemajuan menuju tujuan tersebut karena masyarakat yang terbiasa dengan kekerasan fisik cenderung tidak memahami pentingnya perdamaian.

Kedua, Membentuk Mental "Senggol Bacok"

Fenomena "naik ring" di kalangan selebritis juga membawa dampak serius terhadap mentalitas masyarakat, terutama generasi muda, yang dapat mengganggu tatanan sosial yang ada. Eksposur berlebihan terhadap pertarungan ini dapat membentuk apa yang disebut sebagai "mental senggol bacok." 

Ini adalah suatu kondisi di mana individu mulai merespons perbedaan pendapat atau konflik dengan sikap sombong, arogan, dan bersiap untuk berduel atau berkonfrontasi fisik daripada mencari solusi melalui komunikasi dan perundingan.

Fenomena ini menjadi sangat mencemaskan, terutama ketika meresap hingga ke generasi muda. Ketika anak-anak dan remaja terpapar secara rutin dengan tontonan pertarungan di atas ring, mereka dapat mengembangkan pemahaman yang salah tentang bagaimana menangani konflik dan ketegangan. 

Mereka mungkin merasa terdorong untuk menunjukkan kekuatan fisik sebagai cara untuk mengatasi masalah dan mendapatkan penghargaan.

Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai yang selama ini ditanamkan oleh masyarakat kita, seperti rasa hormat terhadap orang lain, sikap toleransi, dan kemampuan berkomunikasi. 

Mengutamakan kekerasan fisik sebagai cara penyelesaian konflik bukan hanya bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, tetapi juga berpotensi merusak hubungan sosial, baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap dan perilaku "senggol bacok" ini kontradiktif dengan semangat pembangunan berkelanjutan yang menjadi fokus Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam konteks SDGs, dampak dari pergeseran perilaku ini menjadi jelas.

SDG 16, yang mencakup Perdamaian, Keadilan, dan Institusi Kuat, menekankan pentingnya perdamaian dan penyelesaian konflik yang damai. Perilaku "senggol bacok" ini secara langsung melanggar tujuan ini, karena menekankan kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik.

SDG 4, Pendidikan Berkualitas, juga terpengaruh. Anak-anak yang tumbuh dengan "mental senggol bacok" mungkin menghadapi kesulitan dalam belajar dan berinteraksi secara positif dengan teman sebaya mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun