Dikutip dari KOMPAS.id disebutkan bahwa kalangan guru adalah profesi yang paling banyak terjerat pinjaman online, data ini diperoleh dari survei lembaga No Limit Indonesia yang di kutip oleh Otoritas Jasa Keuangan tahun 2021.
Sebenarnya tidak heran, bagi penulis sendiri sebagai seorang yang berprofesi sebagai seorang guru PNS, praktik pinjaman guru dengan menggadaikan SK adalah hal yang seolah terlihat lumrah.Â
Kebetulan penulis adalah seorang guru yang pernah mengajar di beberapa sekolah, dan ternyata kultur nya sama, menggadaikan SK sebagai agunan untuk pinjaman.Â
Walau stereotype guru yang terlihat lebih kalem dan sederhana, tapi ternyata guru tidak bisa menolak budaya konsumtif yang pada akhirnya memaksa guru untuk mengajukan berbagai pinjaman demi pinjaman. Lebih dari itu ada beberapa faktor tertentu yang pada akhirnya membuat guru menjadi sebuah kalangan profesi dengan jumlah terbesar terjerat dalam pinjaman.Â
Apa yang akan penulis sampaikan disini adalah sebuah fakta yang banyak terjadi di lapangan sesuai dengan pengalaman yang pernah penulis temui dan rasakan. Berikut adalah 5 hal yang menjadi penyebab mengapa profesi guru menjadi profesi paling besar yang terlilit pinjaman berdasarkan pengalaman penulis sebagai seorang guru.Â
1. Sasaran lembaga penyelenggara pinjaman
Gimana guru gak jadi yang paling banyak terjerat pinjaman, sedangkan saat dibagi SK pertama sebagai CPNS saja di dalam map SK sudah ada brosur pinjaman.Â
Ini nyata loh, pengalaman penulis secara pribadi saat pertama kali menerima SK CPNS, status PNS nya masih 80 persen. Saat masih 80 persen saja kami sudah di iming-imingi dengan buaian pinjaman, yakin pasti banyak yang tergiur.Â
Secara, penulis lulus menjadi PNS melalui jalur umum dan kebanyakan yang lulus pada jalur tersebut adalah usia-usia fresh graduate dengan rentang usia 22 - 30 tahun. Dan pada rentang usia tersebut real kami memang benar-benar baru lulus sehingga minim literasi keuangan sebab memang belum pernah gajian, hehehe.Â
Plus jadi pegawai juga tidak auto langsung kaya raya, maksudnya saat menjadi guru PNS pertama kali, kami juga tidak dibekali berbagai fasilitas seperti tanah, rumah, motor atau mobil, wah kalau ini sepertinya harapan kita semua ya sebagai seorang PNS. Artinya kita memang berada di titik nol awal menjalani kehidupan baru sebagai pegawai yang minim atau bahkan tanpa fasilitas.Â
Iming-iming berbagai lembaga pemberi pinjaman menambah literasi keuangan para guru baru semakin jeblok, tanpa pikir panjang brosur pinjaman yang diletakkan di map SK CPNS pun direview kembali sesampainya di rumah atau kostan, dan pada akhirnya jadi deh mengajukan pinjaman.
2. Minim waktu luang
Jangan dikira menjadi guru itu enak dan bebas waktu ya, justru guru zaman now ini sibuknya luar biasa.Â
Hanya sekedar menjadi guru biasa saja yang tanpa mengikuti program-program peningkatan kompetensi guru yang sekarang sedang marak diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pun kadang kami sudah kewalahan. Plus jika guru harus mengikuti program lain seperti program guru penggerak dan pelatihan-pelatihan lain yang membutuhkan durasi yang panjang.Â
Jadi guru biasa pun guru sudah tidak punya cukup banyak waktu untuk meluangkan waktu berkegiatan lain. Apalagi dengan pola full day school yang masuk pukul 07.00 dan pulang pukul 16.00 rasanya waktu semakin sempit dan melelahkan. Dengan minimal beban jam kegiatan belajar mengajar 24 jam per minggu, atau jika dirata-ratakan ada 5 jam guru berdiri di kelas pada tiap harinya dari Senin sampai dengan Jum'at.
Berarti ada jeda 3 jam dong dalam 8 jam kerja jika hanya 5 jam berdiri per hari, secara teknis iya, tapi secara realita seperti penulis alami sendiri, 3 jam itu habis untuk mempersiapkan diri sebagai persiapan mengajar pada hari berikutnya.
Yang disiapkan guru tidak hanya materi ajar tetapi juga ketahanan mental dan fisik. Fisik dipersiapkan sebagai pendukung untuk menyampaikan materi ajar dan mental dipersiapkan sebagai sarana bagaimana guru bisa menjadi arsitek kelas yang humanis sehingga kelas dapat ramah anak dan tujuan pembelajaran tercapai.Â
Belum lagi dengan seabreg tugas tambahan yang diberikan oleh Kepala Sekolah, jam kerja kita memang dari pukul 07.00 - 16.00 tapi kadang kami juga harus sampai bermalam di sekolah untuk menemani siswa berkegiatan ataupun lembur persiapan agenda sekolah.Â
Dan apa yang penulis sebutkan tadi sampai harus bermalam di sekolah karena beberapa hal tadi jangan dibayangkan akumulasi jam lembur dan akomodasinya ya karena apa yang kita kerjakan real murni pengabdian. Ada sih lumayan transport dan makan, tapi penulis pikir gak worth it lah kalau nilainya segitu, hehehe.
Dengan berbagai kegiatan guru di atas maka bisa dibayangkan kapan lagi seorang guru mempunyai waktu untuk fokus mencari tambahan pendapatan lain selain gaji. Andaikan memungkinkan ada tambahan pendapatan lain pasti tupoksi sebagai guru lah yang dikorbankan.Â
Di rumah saja sebagaimana penulis alami sendiri, kami masih harus mempersiapkan segala skenario dan berbagai perangkat pembelajaran. Baik itu memikirkan langkah-langkah saat mengajar besok, membuat LKPD untuk praktikum dan juga melakukan koreksi atas penilaian yang sudah dilakukan di sekolah.
Satu lagi yang paling vital adalah bahwa objek pekerjaan seorang guru adalah siswa. Jadi mana mungkin kita akan sering-sering tinggalkan kelas demi mencari tambahan lain, pasti kelas akan kacau dan bisa berabe ni urusan. So, alasan ini menjadi penyokong bagaimana bisa profesi guru menjadi salah satu profesi yang banyak terlilit pinjaman.Â
3. Budaya Pinjam
Nah ini juga jadi penyokong mengapa guru menjadi profesi pertama yang banyak terlilit pinjaman, ternyata setelah penulis amati telah umum di berbagai sekolah manapun banyak guru yang mengajukan pinjaman dengan berbagai macam alasan.Â
Bahkan persentase guru yang melakukan pinjaman bisa mencapai 90 persen dari jumlah keseluruhan guru yang ada pada sekolah tersebut. Bayangkan saja misal ada 100 orang guru pada sekolah tersebut berarti hanya ada 10 orang guru saja yang tidak terlilit pinjaman, 90 orang guru terlilit pinjaman.
Terlibat pinjaman dengan berbagai lembaga pemberi pinjaman adalah hal lumrah di kalangan guru. Vibes pinjam meminjam kental terasa, bahkan ada salah satu rekan penulis yang bilang bahwa pinjaman adalah penyemangat hidup untuk tetap semangat bekerja. Atau ada juga sebuah quote yang penulis pikir menyesatkan, bahwa kalau gak pinjam kapan punyanya, atau kalau gak pinjam kapan kayanya.Â
Ada semacam sebuah kebiasaan yang pada akhirnya menjadikan sebuah tradisi membudaya membentuk pola pikir umum bagi kalangan guru maupun tenaga administrasi di sekolah bahwa guru PNS itu ya harus pinjam, hehehe. Dan ini real loh, gak pinjam gak asik pokoknya, jadi gak ada lagi yang namanya mau pinjam kok malu-malu. Malu-malu dengan siapa wong semuanya aja minjam kok. Kadang malah kita disalahin, "lah kok gak jadi dibeli loh barangnya, apa susahnya sih kan tinggal nggadein SK di bank aja."
Wajarlah ya hingga pada akhirnya kaum guru menjadi profesi paling banyak terlibat pinjaman, sebab pinjam dengan menjadikan SK sebagai jaminan adalah kultur yang telah terbangun dari lama dan bahkan sampai saat ini tetap ada dan bertahan. Sehingga sulit bagi guru-guru baru untuk lepas dari kultur ini karena ketika SK CPNS telah ditangan maka auto mereka masuk dalam sebuah sistem yang menganut pola pikir bahwa jadi guru PNS rugi jika tidak menggadaikan SK untuk mendapat pinjaman.
4. Objek pemasaran dagangan
Rupanya kultur pinjam ini mafhum di berbagai kalangan, maka tak heran berbondong-bondong para pedagang banyak yang menjajakan dagangannya di sekolah, mulai dari jam tangan, gelang kesehatan, kain, peci, mukena, dispenser, mixer dan berbagai hal lainnya, o iya, celana kolor juga.Â
Dan apa hubungannya dengan pinjaman? Bagi barang-barang yang murah dan terjangkau biasanya tidak perlu meminjam segera bisa dilunasi, contohnya celana kolor, hehe. Tapi bagi barang yang sudah lumayan tinggi harganya seperti penyedot debu, AC portable, jam tangan impor, biasanya koperasi sekolah turun tangan.Â
Dengan suka rela koperasi sekolah segera menghandle transaksi ini. Caranya adalah biasanya koperasi sekolah akan menalangi pelunasan pembayaran terlebih dahulu, baru setelah itu mereka mencicil pembayaran kepada koperasi sekolah.
Jadi koperasi sekolah membelikan barang yang diinginkan oleh rekan guru terlebih dahulu baru setelah itu rekan guru akan mencicil pelunasannya kepada koperasi sekolah. Dan biasanya ini dilakukan secara berjamaah loh, ketahuan satu yang pesan, rekan guru yang lain pun akan ikut serta.Â
Koperasi sekolah juga banyak diuntungkan jika banyak yang meminjam, maka tak heran jika pengurus koperasi biasanya menawarkan diri untuk membelikan barang terlebih dahulu agar guru-guru yang lain bisa mencicil kepada koperasi sekolah.Â
Kemudahan transaksi seperti inilah yang pada akhirnya menjadi racun bagi kondisi ekonomi guru. Awalnya mungkin satu cicilan tapi pola pikir yang menganggap mudah dan seolah pondasi keuangan masih kuat membuat cicilan-cicilan kedua ketiga dan seterusnya bermunculan, hingga akhirnya rekan guru terlilit pinjaman.Â
5. Kenaikan gaji tidak sepadan
Nah kalau ini menjadi faktor global, kenaikan gaji PNS menjadi pengungkit naiknya harga-harga barang di masyarakat terutama sembako. Dan kita ketahui bersama bahwa ketika sembako naik maka semuanya menjadi serba mahal loh. Yang jadi persoalan adalah kenaikan gaji ini tidak sepadan dengan naiknya harga-harga barang di masyarakat.Â
Harga-harga barang yang naik melampaui daya beli objek pengungkitnya, yaitu PNS, dan dalam hal ini adalah guru. Kenapa guru? karena berdasarkan data dari BKN.go.id jumlah terbesar dari pegawai negeri sipil didominasi oleh guru sebanyak 62 persen.Â
Dari 3,9 juta pegawai yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil ada sejumlah 1,2 juta pegawai negeri sipil yang merupakan guru sisanya di isi dengan berbagai jabatan profesi yang lain seperti medis, teknis dan dosen.
Gaji memang naik sayangnya harga barang yang kadung naik juga tetap tak terkejar oleh daya beli seorang guru. Apalagi bagi guru yang belum sertifikasi ya, dengan gaji golongan III a yang hampir sama dengan upah minimum kota apalagi yang bisa dikejar.Â
Mau punya rumah, pengen punya mobil, rasanya jauh panggang dari api jika hanya mengandalkan gaji PNS bulanan dan segera bisa memiliki keduanya kecuali ada tambahan lain ya.Â
Kudu berbulan-bulan menaruh kesabaran untuk menabung dalam tiap gajian sehingga bisa beli tanah, bangun rumah dan punya mobil bagi seroang guru yang belum sertifikasi, itupun dengan mengencangkan ikat pinggang seiring dengan berbagai kebutuhan yang selalu naik tak terkejar harganya. Sehingga ini membuka celah bagi para lembaga penyelenggara pinjaman untuk menawarkan pinjaman kepada rekan guru yang segera ingin memiliki semuanya.Â
Bagi guru yang sudah menerima tunjangan sertifikasi kadang justru terjebak dengan cicil mencicil pinjaman sebab merasa ada penghasilan lain yang bisa diandalkan selain gaji. Justru ini menjadi jebakan psikologis sehingga profesi guru menjadi profesi paling banyak yang jatuh pada berbagai pinjaman.Â
Wasana Kata
Data yang disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersumber dari hasil Lembaga Riset No Limit Indonesia sebagaimana dikutip oleh KOMPAS.id seharusnya menjadi data hidup bagi pemerintah pusat.Â
Tidak mandeg hanya sekedar menjadi pengetahuan semata tapi justru seharusnya ada langkah kongkrit dari pemerintah untuk mengetahui dan mengatasi mengapa profesi guru menjadi profesi terbanyak yang terlilit oleh pinjaman.
Guru adalah profesi strategis dalam pengantar dan pembentuk peradaban sebuah negara. Di tangan guru lah lahir berbagai macam profesi penyokong kejayaan negeri. Dari profesi akar rumput sampai presiden juga lahir dari tangan seorang guru, maka penting mengurai fenomena banyaknya profesi guru terlilit pinjaman.Â
Guru adalah roda penggerak pendidikan, dan apakah mungkin mereka akan tetap fokus pada tupoksi yang di emban jika kehidupan mereka saja masih terlilit pinjaman. Diduga kondisi ini bisa jadi sebuah cerminan belum optimalnya kesejahteraan guru.
Sekali-kali coba kita bandingkan gaji guru dengan gaji pegawai lain seperti TNI, POLRI, BUMN, Bank atau perusahaan, dan jangan lupa dengan pegawai pajak juga, hehe. Terbilang kecil loh gaji guru jika dibandingkan dengan berbagai profesi lain yang penulis sebut.Â
Padahal guru seperti kita ketahui bersama adalah agen peradaban, sebab ditangan guru lah amanah untuk melahirkan putra-putri bangsa yang beriman bertaqwa dan berdaya saing global tersemat dipundak, maka wajar jika pemerintah mungkin harus meninjau ulang dasar-dasar penilaian gaji guru sehingga menghasilkan nominal bagi kesejahteraan sehingga guru tetap fokus pada tupoksi dan lahirlah para generasi yang unggul.
Fenomena banyaknya guru yang terlilit pinjaman juga bukan semata-mata kesejahteraan yang kurang optimal semata, guru sebagai objek fenomena ini juga harus cerdas literasi finansial. Cukuplah cukup untuk menjadi konsumtif, sadar diri dengan keuangan kita, jangan membeli barang yang melampaui daya beli kita.Â
Taruh kesabaran di hati kita masing-masing, dan jadikan hidup sederhana sebagai gaya hidup kita jangan terjebak dengan gaya hidup hedon yang sering ditampilkan di berbagai media sosial.Â
Hidup itu tidak mahal, yang mahal adalah gaya hidup, yakinlah didalam kesederhanaan yang tanpa memaksakan gaya hidup untuk tampil terlihat mewah ada ketenangan di dalamnya. Dan yakinlah bahwa hidup tanpa lilitan pinjaman adalah kehidupan yang merdeka dan membanggakan!
FYI, penulis adalah seorang guru yang juga beristrikan seorang guru PNS dengan gaji full tanpa cicilan pinjaman, dan itu rasanya cukup, menenangkan dan membanggakan, walau hidup dalam sebuah kesederhanaan. Yuk cerdas dalam mengelola keuangan!
Semoga bermanfaat
*** Junjung Widagdo***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H