Mohon tunggu...
Keliling Dunia
Keliling Dunia Mohon Tunggu... Freelancer - aku adalah Tanah

Baca dengan mata/rasa dengan pikiran/karena aku adalah tanah yang mendambakan bacaan dan tulisan/ karya sastra sebagai bumbu kehidupan///Onesimus

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Penari Dini Hari

15 November 2018   14:54 Diperbarui: 15 November 2018   15:27 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penari di pesta cocktail kemarin Selasa

Kulihat berjejer minuman berwarna merah dan lainnya

Aku telah masuk ke dalam lubang yang bau

Tajam menusuk hidung

Dia membuatku bergairah

Lekuk lekuk badannya aduh hai mempesona mata

Dalam terang yang dikalahkan kegelapan

Redup redup mata mengendus-endus

Dari ujung kaki hingga ujung kepala

Pemandangan indah yang mengotori seluruh isi kepala

Sepatu hak tingginya menambahkan selera ambisi untuk memilikinya

Semalam penuh pasti cukup puas menghanguskan nafsu binatang saja bersamanya

Kegelapan merajalela

Suara kehancuran menghantui kepala

Tangan kiriku berdering menandakan waktu pukul dua malam

Penari-penari masih bergoyang meliuk liuk badan

Mata lelaki tak berkedip merekam

Mulut menganga menginginkan jamahan

Tempat gelap yang kusapa

Pemilik entah siapa yang empunya

Banyak transaksi barang-barang apa saja di sana

Berbagai macam profesi datang dengan pakaian keseharian

Untuk melepaskan nafsu lama terpendam

Penari-penari itu datang ke mejaku

Aku di meja ujung barat ditemani segelas kopi hitam manis pula

Dia satu diantara mereka datang menguasai satu kursi kosong yang ada di sana

Mengedipkan matanya

Dia masih perempuan yang sama di mata dan kepalaku

Kutatap tajam bola mata indahnya

Ia tertunduk malu

Mulai mengenaliku

Kain yang hanya menutupi buah dadanya

Katun lembut yang menutupi bagian mahkotanya

Bahkan tak sanggup menutupi rasa malunya

Ia tertunduk malu

Ketika disadari lelaki di hadapannya adalah aku

Sebatang rokok yang masih sempurna di jari-jemari kanan dipatahkannya

Menangis tersedu-sedu ia bersandar di bahu kiriku

Aku terdiam dan hanya mendengar desahan gadis itu

Kulihat langit-langit gedung tua menyuarakan kesombongannya

Telah menang merebut dia dari pelukanku sejak dahulu

Dia penari yang kumaksud hanya menangis terus menangis

Kubelai telapak tanganku di pundaknya tanpa rasa nafsu

Kukatakan singkat

Aku datang untuk menjemput asaku

Marilah pulang bersamaku

Penari itu hanya menangis pilu dan penuh malu

Air matanya telah membasahi sebagian luasan bahuku

Aku datang untuk menjemputmu pulang

Tak ada kata memohon maaf dari lidahnya

Kusadari tangisan penyesalan dalam kesengsaraan telah menghukumnya

Mencambuk kulit indahnya

Pedang telah dihunuskan ke dalam hatinya

Dia masih dalam pelukanku menangis sejadi jadinya

Tak ada orang yang peduli pada gestur kami

Hanya kegelapan yang iri

Aku akan membawanya pergi dari ruang ini

Kuambil sapu tangan perpisahan yang waktu itu diberikannya dari saku kananku

Berusaha aku menghapus setiap air yang mengalir deras dari kedua bola matanya

Sapu tangan bertuliskan doa itu pun basah kuyup

Kukecup keningnya supaya hati dan pikirannya tenang sebagai tanda aku masih mencintainya

Kubuka jaket besar dan panjang yang ada di tubuhku

Kukenakan ke tubuhnya

Kugenggam tangannya

Di sana juga ia kuajak berkata-kata kepada Tuhan

Ia mengulangi apa yang kuucapkan

Hatinya kukuatkan

Kutunjukkan jalan menuju keluar dengan kugenggam erat tangannya kuat

Diikutinya aku

Dia masih sama seperti gadis yang kukenal dahulu

Pagi yang dingin telah mendamaikan kami kembali

Kopi hitam yang manis telah menyadarkan mataku

Gadis itu milikku

Bukan hanya untuk sehari satu waktu

Seumur hidupku akan kujaga perempuan yang membuatku jatuh cinta di usia lima belas tahun kala itu

Seruanku

Tuhan jika waktu ini milikku

Biarkan kami menemui dan berjalan bersama di jalan yang sama bersamaMu

Amin

Aku tertidur di lantai bawah menjaga gadisku

besok pukul sepuluh

aku akan membawanya pada Ibu dan Ayahnya

 kulamar ia dengan memenuhi tujuh syarat kesatria Jawa

Yogyakarta, 18 September 2018 pagi-pagi buta dalam melawan lupa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun