Penari di pesta cocktail kemarin Selasa
Kulihat berjejer minuman berwarna merah dan lainnya
Aku telah masuk ke dalam lubang yang bau
Tajam menusuk hidung
Dia membuatku bergairah
Lekuk lekuk badannya aduh hai mempesona mata
Dalam terang yang dikalahkan kegelapan
Redup redup mata mengendus-endus
Dari ujung kaki hingga ujung kepala
Pemandangan indah yang mengotori seluruh isi kepala
Sepatu hak tingginya menambahkan selera ambisi untuk memilikinya
Semalam penuh pasti cukup puas menghanguskan nafsu binatang saja bersamanya
Kegelapan merajalela
Suara kehancuran menghantui kepala
Tangan kiriku berdering menandakan waktu pukul dua malam
Penari-penari masih bergoyang meliuk liuk badan
Mata lelaki tak berkedip merekam
Mulut menganga menginginkan jamahan
Tempat gelap yang kusapa
Pemilik entah siapa yang empunya
Banyak transaksi barang-barang apa saja di sana
Berbagai macam profesi datang dengan pakaian keseharian
Untuk melepaskan nafsu lama terpendam
Penari-penari itu datang ke mejaku
Aku di meja ujung barat ditemani segelas kopi hitam manis pula
Dia satu diantara mereka datang menguasai satu kursi kosong yang ada di sana
Mengedipkan matanya
Dia masih perempuan yang sama di mata dan kepalaku
Kutatap tajam bola mata indahnya
Ia tertunduk malu
Mulai mengenaliku
Kain yang hanya menutupi buah dadanya
Katun lembut yang menutupi bagian mahkotanya
Bahkan tak sanggup menutupi rasa malunya
Ia tertunduk malu
Ketika disadari lelaki di hadapannya adalah aku
Sebatang rokok yang masih sempurna di jari-jemari kanan dipatahkannya
Menangis tersedu-sedu ia bersandar di bahu kiriku
Aku terdiam dan hanya mendengar desahan gadis itu
Kulihat langit-langit gedung tua menyuarakan kesombongannya
Telah menang merebut dia dari pelukanku sejak dahulu
Dia penari yang kumaksud hanya menangis terus menangis
Kubelai telapak tanganku di pundaknya tanpa rasa nafsu
Kukatakan singkat
Aku datang untuk menjemput asaku
Marilah pulang bersamaku
Penari itu hanya menangis pilu dan penuh malu
Air matanya telah membasahi sebagian luasan bahuku
Aku datang untuk menjemputmu pulang
Tak ada kata memohon maaf dari lidahnya
Kusadari tangisan penyesalan dalam kesengsaraan telah menghukumnya
Mencambuk kulit indahnya
Pedang telah dihunuskan ke dalam hatinya
Dia masih dalam pelukanku menangis sejadi jadinya
Tak ada orang yang peduli pada gestur kami
Hanya kegelapan yang iri
Aku akan membawanya pergi dari ruang ini
Kuambil sapu tangan perpisahan yang waktu itu diberikannya dari saku kananku
Berusaha aku menghapus setiap air yang mengalir deras dari kedua bola matanya
Sapu tangan bertuliskan doa itu pun basah kuyup
Kukecup keningnya supaya hati dan pikirannya tenang sebagai tanda aku masih mencintainya
Kubuka jaket besar dan panjang yang ada di tubuhku
Kukenakan ke tubuhnya
Kugenggam tangannya
Di sana juga ia kuajak berkata-kata kepada Tuhan
Ia mengulangi apa yang kuucapkan
Hatinya kukuatkan
Kutunjukkan jalan menuju keluar dengan kugenggam erat tangannya kuat
Diikutinya aku
Dia masih sama seperti gadis yang kukenal dahulu
Pagi yang dingin telah mendamaikan kami kembali
Kopi hitam yang manis telah menyadarkan mataku
Gadis itu milikku
Bukan hanya untuk sehari satu waktu
Seumur hidupku akan kujaga perempuan yang membuatku jatuh cinta di usia lima belas tahun kala itu
Seruanku
Tuhan jika waktu ini milikku
Biarkan kami menemui dan berjalan bersama di jalan yang sama bersamaMu
Amin
Aku tertidur di lantai bawah menjaga gadisku
besok pukul sepuluh
aku akan membawanya pada Ibu dan Ayahnya
 kulamar ia dengan memenuhi tujuh syarat kesatria Jawa
Yogyakarta, 18 September 2018 pagi-pagi buta dalam melawan lupa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H