Mohon tunggu...
Bentara Manusia
Bentara Manusia Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang Kayu

Lelah, jalani saja, Tuhan tahu waktuNya, kudibawah kendaliNya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Selamat Hari Tani, Pak, Mak

24 September 2018   22:59 Diperbarui: 25 September 2018   02:55 2102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumen pribadi (Jagung)

Hijau alam terbentang di Bumi Indonesia

Ibu dan Bapakku pagi subuh mendayung ontel jaman Belanda 

Dalam gelap-gelap terang Matahari pagi disusuri mereka jalan bebatuan Desa

Aku masih tidur lelap menemuimu di kursi kosong di bawah pohon bringin Desaku

Air hujan mengguyur dalam mimpiku

Kupeluk tubuhku menemukan kehangatan

Tubuhmu kubalut dengan jas tebal dari dalam tas punggungku

Senyummu menguakkan semua keindahan di muka bumi

Daun dari bringin terjatuh satu per satu

Siang bolong kita bertemu

Pohon bringin sebagai tuan yang tuli dan bisu

Aku bingung mengapa sejauh ini engkau berkunjung ke Desaku

Diam diam engkau pun jatuh cinta padaku juga Desaku

Kubawa dirimu menuju area luas

Warna hijau menghiasi sepanjang matamu memandang

Udara sejuk teriknya Matahari mempermanis tingkah lakumu

Sepatah dua kata menjadi ribuan kata terlepas dari lidahmu dan lidahku

Di sini aku dilahirkan

Bersatulah dengan alam yang membesarkanku

Dirimu mengiyakan semua kata-kataku

Di pematang sawah dengan masing masing kaki kita berdiri teguh

Terenyuh bertanya kapankah mereka mulai merunduk malu

Menguning artinya siap dituai

Warga desa akan segera sibuk membuka karung

Tak berhak menentukan nilai harga gabahnya

Matematikamu bermain

Teori teori kita tak mampu mengehentikan kecongkakan dari pemodal usaha

Petani kita di desa hanya kuat menahan gigit jari di musim tuai nanti

Kunjunganmu menyemai rerumputan kepahitan kehidupan kami rakyat tak mapan

Engkau gadis ayu yang masih terus bertumbuh

Kemanakah senyummu tertuju

Kujamah kura-kura tanganmu

Lembut dan halus

Gadis ayu dari kota menyempatkan waktu datang ke Desa

Di tengah-tengah sawah

Di atas pematang sawah kupeluk engkau mesra

Kehangatan mengalir merata

Keadilan tertinggal dalam genangan yang memihak saja

Keringat telah membasahi wajah

Desahmu berkata "aku mencintaimu dan desa permaimu"

Tubuhku penuh peluh

Terbangun dari tidurku

Mimpiku bertemu denganmu gadis ayu Sedayu

Kurapatkan mataku membaca jarum pendek jam dinding kamarku

Ayah Ibu telah lama berlalu menuju sawah memulai kehidupan tani desa

Aku bergegas

Kuhempaskan tubuhku

Berlari menemu Ayah dan Ibu

Melompati irigasi desa satu persatu

Suara air mancur menyorakiku

Pemuda bangun setelah ayam menjadi dewasa

Aku menangis

Lahan dan tanah desaku semeter demi semeter dilahap rakus

Menjadi gedung tinggi yang angkuh

Petani petani desaku tak lagi mau bernyanyi menanam padi

Bersorak menuai hasil padi

Beramai-ramai menghitung jerih payah sehari hasil penjualan gabah padi

Hari Tani menjadi ajang peringatanku

Desaku yang permai

Kutinggal sementara untuk menjemput Gadis ayu yang kupuja

Hari ini, sejengkal pun tiada kupunya

***

Bantul, 24 September 2018

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun