Hijau alam terbentang di Bumi Indonesia
Ibu dan Bapakku pagi subuh mendayung ontel jaman BelandaÂ
Dalam gelap-gelap terang Matahari pagi disusuri mereka jalan bebatuan Desa
Aku masih tidur lelap menemuimu di kursi kosong di bawah pohon bringin Desaku
Air hujan mengguyur dalam mimpiku
Kupeluk tubuhku menemukan kehangatan
Tubuhmu kubalut dengan jas tebal dari dalam tas punggungku
Senyummu menguakkan semua keindahan di muka bumi
Daun dari bringin terjatuh satu per satu
Siang bolong kita bertemu
Pohon bringin sebagai tuan yang tuli dan bisu
Aku bingung mengapa sejauh ini engkau berkunjung ke Desaku
Diam diam engkau pun jatuh cinta padaku juga Desaku
Kubawa dirimu menuju area luas
Warna hijau menghiasi sepanjang matamu memandang
Udara sejuk teriknya Matahari mempermanis tingkah lakumu
Sepatah dua kata menjadi ribuan kata terlepas dari lidahmu dan lidahku
Di sini aku dilahirkan
Bersatulah dengan alam yang membesarkanku
Dirimu mengiyakan semua kata-kataku
Di pematang sawah dengan masing masing kaki kita berdiri teguh
Terenyuh bertanya kapankah mereka mulai merunduk malu
Menguning artinya siap dituai
Warga desa akan segera sibuk membuka karung
Tak berhak menentukan nilai harga gabahnya
Matematikamu bermain
Teori teori kita tak mampu mengehentikan kecongkakan dari pemodal usaha
Petani kita di desa hanya kuat menahan gigit jari di musim tuai nanti
Kunjunganmu menyemai rerumputan kepahitan kehidupan kami rakyat tak mapan
Engkau gadis ayu yang masih terus bertumbuh
Kemanakah senyummu tertuju
Kujamah kura-kura tanganmu
Lembut dan halus
Gadis ayu dari kota menyempatkan waktu datang ke Desa
Di tengah-tengah sawah
Di atas pematang sawah kupeluk engkau mesra
Kehangatan mengalir merata
Keadilan tertinggal dalam genangan yang memihak saja
Keringat telah membasahi wajah
Desahmu berkata "aku mencintaimu dan desa permaimu"
Tubuhku penuh peluh
Terbangun dari tidurku
Mimpiku bertemu denganmu gadis ayu Sedayu
Kurapatkan mataku membaca jarum pendek jam dinding kamarku
Ayah Ibu telah lama berlalu menuju sawah memulai kehidupan tani desa
Aku bergegas
Kuhempaskan tubuhku
Berlari menemu Ayah dan Ibu
Melompati irigasi desa satu persatu
Suara air mancur menyorakiku
Pemuda bangun setelah ayam menjadi dewasa
Aku menangis
Lahan dan tanah desaku semeter demi semeter dilahap rakus
Menjadi gedung tinggi yang angkuh
Petani petani desaku tak lagi mau bernyanyi menanam padi
Bersorak menuai hasil padi
Beramai-ramai menghitung jerih payah sehari hasil penjualan gabah padi
Hari Tani menjadi ajang peringatanku
Desaku yang permai
Kutinggal sementara untuk menjemput Gadis ayu yang kupuja
Hari ini, sejengkal pun tiada kupunya
***
Bantul, 24 September 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI