Mohon tunggu...
Marcellinus Cristhoper Juneo
Marcellinus Cristhoper Juneo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Calon Imam Diosesan Semarang

Tempat Sharing, bikin opini, bahas info suka suka

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kriteria Seorang Pastor yang Ideal Zaman Ini

28 Februari 2023   08:42 Diperbarui: 28 Februari 2023   09:04 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

APA SAJA KRITERIA IMAM YANG IDEAL DI MASA KINI?

Perkembangan zaman menuntut setiap orang untuk bekerja serba online. Pandemi Covid-19 yang melanda dua tahun silam sangat membuat orang-orang lekat dengan internet dan gawai mereka masing-masing. Kegiatan daring, seperti sekolah dan kerja dari rumah sudah membuat algoritma yang baru dalam kehidupan manusia. Banyak  orang  yang kini malas untuk beraktivitas keluar rumah karena sudah nyaman dengan kegiatan-kegiatan daring.

Aktivitas daring ini tentu juga mempengaruhi algoritma kehidupan umat katolik, khususnya pada kaum muda. Dengan dihentikannya kegiatan tatap muka seperti pertemuan OMK, dan tentu ekaristi, membuat orang muda katolik saat ini kehilangan identitas mereka sebagai orang Katolik. 

Apalagi dengan hadirnya 'Misa Online' yang sekarang sudah banyak tersebar di aplikasi pemutar video seperti Youtube, membuat orang-orang muda ini jadi malas berangkat ke gereja. Mereka lebih suka ikut 'Misa Online' karena lebih simple tidak perlu korban tenaga untuk berangkat ke gereja. 

Tentu hal ini merupakan sebuah persepsi yang salah, karena esensi sesungguhnya dari Ekaristi adalah ketika kita berkumpul pada satu tempat untuk mengenangkan peristiwa sengsara dan wafat Tuhan, dan menerima Tubuh Kristus secara nyata.

            Maka dari itu inilah beberapa kriteria imam yang dibutuhkan oleh Gereja Katolik, terutama pada jaman ini.

Pertama, seorang Imam masa kini harus mampu mengenali dan membenarkan persepsi orang muda yang masih sering salah paham tentang makna Ekaristi dan kehidupan menggereja. Seorang imam yang baik mestinya juga sadar bahwa orang-orang muda adalah penerus Gereja. Tanpa orang muda, tradisi dan ajaran-ajaran Gereja tentu tidak akan dikenal di masa depan.  Sikap asertif dan afektif dalam menemani para kaum muda untuk mengenal Gereja secara lebih dalam juga harus dikuasai oleh seorang imam masa kini.

Kedua, menjadi Gembala umat berarti harus dapat mengamalkan tiga nasihat injili dengan baik. Semangat kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian setidaknya harus mereka hidupi selalu dalam melaksanakan tugas kudus-Nya. Jangan sampai seorang imam malah menjadi teladan yang buruk bagi umat yang digembalakannya karena tidak mampu mengamalkan tiga hal penting diatas. 

Beberapa waktu belakangan ini cukup banyak para imam yang ter-suspend, karena melanggar kaul mereka. Kebanyakan dari mereka memutuskan untuk 'lepas jubah' dan hidup sebagai awam. Tentu hal ini sangat merepotkan dan tentu membuat malu keluarga, diri sendiri, dan Gereja Universal. Maka dari itu, formasi di seminari sangatlah penting bagi para calon imam, supaya kelak ketika ditahbiskan bisa benar-benar mantap dalam mengikuti jejak Kristus sendiri.

Ketiga, seorang Imam harus memiliki pengendalian diri yang baik. Di tengah kemajuan jaman yang dituntut untuk serba cepat, instan, dan penuh huru-hara ini, perlu seseorang yang mampu memiliki pengendalian emosi yang baik. Apa jadinya jika nanti seorang imam cepat tersulut emosinya ketika menghadapi sebuah masalah yang cukup pelik. 

Tentu hal ini akan sangat memalukan dan merepotkan. Maka dari itu, kemampuan 'mikani rasa' perlu dimiliki oleh seorang imam di masa sekarang. 'Mikani rasa' dapat membantu seseorang dalam mengenal emosi yang muncul dalam dirinya, dan ia akan lebih mampu mengendalikan emosi tersebut secara sadar apabila memiliki kemampuan tersebut.

Keempat, ditengah ketidakpastian zaman ini, seorang imam harus memiliki ketegasan ketika mengambil sebuah keputusan. Mengambil keputusan bagi sebagian orang mungkin terasa mudah, namun bagi seorang pemimpin, mengambil keputusan akan sangat sulit apabila sudah dihadapkan dengan dua kepentingan yang berbeda. 

Ketegasan untuk memilih sebuah pilihan yang sulit merupakan tantangan sekaligus ujian bagi seorang imam, kita bisa melihat ketegasan seorang imam dari caranya membuat keputusan dalam hidupnya sehari-hari. Ini juga merupakan salah satu kriteria yang ideal untuk menjadi seorang imam. Yakni mampu memilih dan mempertanggungjawabkan pilihannya.

Nah, dengan empat kriteria imam di atas, setidaknya kita sudah membayangkan bagaimana idealnya menjadi seorang imam dalam kondisi dunia yang serba chaotic ini. 

Maka, pendidikan seminari sungguh sangat efektif dan relevan bagi perkembangan kedewasaan seorang calon imam pada zaman ini. Permasalahannya pada zaman ini, para seminaris semakin mengalami kemerosotan moral, terlebih dalam pengendalian diri, dan sikap yang selalu ingin enak tanpa merasakan pahitnya sebuah perjuangan. 

Padahal idealnya, seorang seminaris yang dengan sadar dan bebas memilih untuk menempuh pendidikan seminari, seharusnya telah memiliki kesadaran bahwa ia akan diformat dan dididik dengan cara seminari. Akan tetapi kenyataanya malah di seminari saat ini, banyak seminaris yang selalu memprotes kebijakan-kebijakan dari para pamong seminari dengan melakukan segala tindak indisipliner yang disengaja sebagai bentuk protes mereka akan kebijakan seminari.

Pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi yang makin pesat memang sangat mempengaruhi perilaku dan kepribadian anak muda zaman ini. Mereka yang terbiasa hidup berkecukupan, selalu dapat segalanya yang dia inginkan ketika di rumah, kebanyakan merasa shock ketika pertama kali merasakan kehidupan seminari. 

Mereka yang tidak siap dengan hidup secara mandiri di seminari akan merasa kesulitan dalam menjalani proses formasi di tempat ini. Tipe orang yang seperti ini biasanya akan mudah tergoda untuk memilih tidak melanjutkan formasi mereka di seminari, karena mereka tidak dapat memetik buah-buah baik dari formasi di seminari.

 Sebetulnya seminari ini telah menyediakan semua hal yang dibutuhkan oleh para seminarisnya. Seminari tidak pernah menutup diri mereka terhadap dunia, sebaliknya seminari malah selalu berkembang sesuai perkembangan dunia saat ini. Jadi sebenarnya semua yang dibutuhkan seminaris untuk menjalani proses formasi telah tersedia secara lengkap. Sekarang tinggal kembali lagi kepada diri masing-masing bagaimana mereka merefleksikan kekayaan yang dimiliki seminari.

Maka dari itu, seminari membiasakan para seminarisnya untuk berefleksi. Dengan berefleksi, para seminaris diajak untuk mengenal suara Tuhan lewat pengalaman yang mereka jalani sehari-hari. 'Refleksi harga mati.' Kalimat yang sangat terkenal dikalangan seminaris yang jika dipahami secara lebih dalam, makna yang tersimpan di dalam kalimat tersebut sangat bermakna. 

Dengan membiasakan diri untuk berefleksi, para seminaris akan dapat mendengar kata hati mereka, dan pada akhirnya mereka mampu menguasai diri mereka dari segala godaan yang mungkin muncul selama proses formasi di seminari. Kata-kata 'harga mati' sangat tepat ditempatkan disana, karena jika kita tidak mampu memahami apa yang jadi kebutuhan batin kita, bisa saja kita akan mati ditelan godaan dunia yang tidak akan pernah berhenti menggoda kita. Bayangkan saja ketika seorang imam tidak dapat menguasai dirinya dengan baik, apa yang akan terjadi pada umat yang digembalakannya? 

Pasti sangat kacau dan mungkin akan semakin banyak 'domba-domba yang hilang dan tersesat.' Pemahaman ini harusnya lebih ditekankan kembali kepada para seminaris, apalagi kepada mereka yang masih menganggap refleksi sebagai formalitas, dan orang-orang yang  berpikir kalau refleksi itu tidak penting.  

Dengan demikian, hendaknya para formator di seminari perlu memberikan pengertian lebih kepada para seminarisnya, supaya habitus refleksi semakin tertanam dalam diri mereka. Upaya ini dapat juga dinilai sebagai upaya untuk mencegah kemerosotan kualitas imam di masa yang akan datang, dan demi keberlangsungan Gereja semesta. 

Jika Gereja di masa depan kehilangan kharisma seorang pemimpin dikarenakan kurangnya pengenalan diri dari para imamnya, bagaimana ingin mewartakan kerajaan Allah di tengah umat? Inilah yang sampai saat ini menjadi PR besar bagi para formator di seminari, jadi tidak hanya mencari jumlah seminaris yang sebanyak-banyaknya, namun bagaimana cara supaya para calon ini semakin mengenali diri mereka, dan mengenali panggilan mereka, sehingga nantinya dapat menjadi seorang imam yang berintegritas dan memiliki pengaruh baik bagi umat di tempatnya berkarya.

Itulah beberapa kriteria imam dan beberapa kendala yang perlu diantisipasi dalam proses formasi menjadi seorang calon imam. Panggilan bukan berasal dari diri sendiri, namun dari dukungan keluarga, teman, orang-orang terdekat, dan tak lupa panggilan adalah rahmat dari Allah sendiri. Maka dari itu, seorang calon imam hendaknya selalu didampingi dalam proses perjalanan imamat mereka. Hendaknya ini menjadi perhatian kita bersama, jika Anda memiliki anggota keluarga yang saat ini sedang dalam perjalanan atau telah menjadi imam, temanilah selalu pilihan mereka, jadikan diri Anda teman perjalanan bagi mereka, karena dukungan keluarga merupakan hal krusial bagi keberlangsungan perjalanan imamat mereka.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun