Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Guru Besar Psikologi Sosial BINUS; Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI); Editor-in-Chief ANIMA Indonesian Psychological Journal; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pantang Pupus di Jalur Scopus

7 Agustus 2024   13:00 Diperbarui: 7 Agustus 2024   18:38 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalan-jalan beli kaktus
mampir makan soto pakai sate usus
Wahai dosen yang akan dapat seratus
pantang lah pupus di jalur Scopus

Banyak orang Indonesia, mulai dari dosen, ilmuwan, hingga pejabat publik yang pupus di jalur Scopus. Tulisan ini mengajak kita semua untuk tidak pupus, melainkan "melampaui" Scopus. 

Caranya? Berani melalui jalur itu (tidak menghindar) sepanjang belum dibongkar. Namun tidak menjadikan Scopus sebagai tujuan melainkan jembatan untuk mengokohkan keilmuan dan lebih lanjut berkiprah atas dasar saintifik yang kokoh itu.

Scopus rupanya masih menjadi perhatian nasional. Ketua DPR pun turut berkomentar mengenai Scopus pada beberapa kesempatan sepanjang bulan Juli 2024 mengiringi pemberitaan tentang upayanya menjadi guru besar. Antara lain, "jika hanya fokus pada jurnal terindeks Scopus, dikhawatirkan justru bisa membuat pertumbuhan dan perkembangan jurnal kampus menjadi menurun". 

Tak ketinggalan, masih di bulan Juli, seorang staf khusus Presiden dikritik oleh seorang netizen karena tidak memiliki publikasi Scopus dari studi pascasarjana yang dibiayai dengan beasiswa Pemerintah RI. Menurutnya, seorang lulus pascasarjana seharusnya dapat "dipersoalkan" (maksudnya, ditelaah, diperbincangkan) publikasi Scopusnya. Setahun sebelumnya, Scopus mengisi headline surat kabar nasional, Kompas, dalam kaitan dengan perjokian karya ilmiah para calon guru besar Indonesia.

Plt. Dirjen Diktiristek, Nizam, pun menegaskan di bulan Maret 2024 bahwa banyak yang mempublikasikan tulisan ilmiah namun menjadi mangsa jurnal abal-abal.  Menurut beliau, tampilan jurnal yang abal-abal sulit dibedakan dari jurnal internasional yang kredibel.

Hal-hal tersebut menandakan bahwa Scopus semakin populer tidak hanya di kalangan akademisi, tetapi juga pada masyarakat umum. Masyarakat sudah semakin terliterasi, misalnya, bahwa "Tak semua Scopus itu bagus". 

Masyarakat sudah semakin mampu menilai, Scopus yang bagaimana yang layak sebagai ukuran kelayakan seorang profesor. Intinya, Jangan asal Scopus! 

Apa artinya Pupus?

Pupus di jalur Scopus dapat memiliki bermacam makna:

Pertama, dosen/peneliti menerbitkan artikel di jurnal/prosiding/buku terindeks di Scopus, akan tetapi:

(a) tidak diakui kinerjanya oleh lembaga tempat bernaung. Akibatnya, ia tidak dapat menggunakan artikel tersebut untuk naik jabatan akademik;

(b) tidak menambah pengakuan akan kepakarannya oleh asosiasi keilmuan/profesinya.

Kedua, Lembaga donor/funder/sponsor pemberi dana hibah penelitian 'kelolosan' mendanai seorang dosen/peneliti berdasarkan jumlah publikasi dan H-indeks Scopus-nya, padahal dosen/peneliti tersebut sesungguhnya tidak se-qualified itu. Akhirnya tidak ada terobosan yang dapat diharapkan dari hibah itu. "B aja!".

Hal ini karena banyak dari riwayat jurnal/prosiding/buku tempat dosen/peneliti tersebut mempublikasikan penelitiannya problematik meskipun terindeks di Scopus.

Ketiga, sebuah kampus/perguruan tinggi membayarkan biaya pemrosesan/penerbitan artikel (article processing/publishing charge/APC) jurnal terindeks Scopus dari dosennya, bahkan memberikan hadiah/insentif, kepada dosen tersebut, padahal tidak memberikan nilai tambah bagi kemajuan pengetahuan karena komunitas keilmuannya tidak memberikan bobot yang baik kepada jurnal tersebut.

Keempat, Tim Penilai Angka Kredit Kementerian/Badan Riset merekomendasikan pengangkatan sebagai Guru Besar/Profesor kepada dosen/peneliti yang menggunakan artikel terindeks Scopus sebagai syarat khusus padahal jurnalnya tidak direkognisi sebagai jurnal yang baik menurut konsensus komunitas bidang ilmunya.

Kelima, seorang peneliti melakukan analisis bibliometrik dan systematic literature review tidak menyadari bahwa ia menggunakan data literatur terindeks Scopus yang masih memuat data deretan jurnal ilmiah yang diragukan kredibilitasnya, sehingga kesimpulan analisisnya pun mengandung bias yang besar.

Keenam, seorang dosen/peneliti tidak berkembang kemampuan meriset dan menulis ilmiahnya karena terbiasa mengandalkan jalur jurnal yang "mudah" (meskipun jurnal terindeks Scopus peringkat Q1), atau bahkan bersandar pada joki.

Ketujuh, Kementerian mengangkat akreditasi sebuah jurnal menjadi terakreditasi ARJUNA peringkat SINTA 1 karena jurnal tersebut terindeks Scopus. Prestise ini lalu justru "disia-siakan" oleh pengelola jurnal dengan melonggarkan tinjauan sejawat (peer review) dan mencari laba rupiah atau US Dollar sebesar-besarnya dari para calon penulis.

Kedelapan, pejabat publik menerbitkan artikel terindeks Scopus, namun ternyata jurnalnya bukanlah jurnal yang sesuai dengan topik artikelnya (topik artikel = A, topik jurnal = B), sehingga justru tidak meningkatkan, melainkan merusak, reputasi beliau.

Kesembilan, seorang mahasiswa mempublikasi tugas akhir / disertasi di sebuah jurnal yang disangkanya terindeks Scopus, dengan mengandalkan informasi yang tertera pada situs web jurnalnya (di sana tertulis Abstracted/Indexed in Scopus). Ternyata jurnal yang dimasukinya itu jurnal palsu, tidak terindeks Scopus, namun ia terlanjur mengeluarkan uang dan harus mengulang syarat lulus.

Jangan Asal Scopus

Jangan asal menerbitkan artikel di outlet publikasi terindeks Scopus, agar tak pupus di jalur ini.

Saya menawarkan lima langkah praktis untuk Anda boleh memilih tempat melabuhkan karya ilmiah Anda:

1. Dapatkan nama jurnal/prosiding/buku terindeks Scopus.
2. Pastikan keaslian jurnal
3. Cek keselarasan bidang ilmu dan komentar netizen
4. Tengok catatan resmi negara tetangga
5. Kembali ke intuisi akademik 

Sumber gambar: Juneman Abraham (2024)
Sumber gambar: Juneman Abraham (2024)

PERTAMA: Dapatkan nama jurnal/prosiding/buku terindeks Scopus.

Pintu masuk pertama yang harus dilalui para "pejuang Scopus" adalah daftar nama jurnal / prosiding / buku terindeks Scopus. 

Daftar ini dapat diperoleh melalui laman Scopus Content. Pada laman itu, klik Download the Source title list untuk mengunduh daftar tersebut dalam format Excel.

Sumber gambar: Elsevier
Sumber gambar: Elsevier

Yang perlu diperhatikan:

Ada sejumlah tab di bagian bawah Excel, termasuk informasi tentang jurnal-jurnal yang baru saja terindeks di Scopus.

Di samping itu, terdapat tab berisi daftar jurnal yang sudah tidak diindeks Scopus lagi (discontinued) beserta alasan tidak berlanjut diindeks (diskontinuasi). 

Sumber gambar: Elsevier
Sumber gambar: Elsevier

Alasan diskontinuasi terbagi menjadi 

  • Publication Concern (Adanya aduan terhadap penerapan standar publikasi), 
  • Outlier performance (Perubahan jumlah artikel yang cepat dan tidak dapat dijelaskan; Perubahan yang tidak dapat dijelaskan pada keragaman geografis penulis atau afiliasinya; Pergeseran topik publikasi yang tidak dapat dijelaskan dibandingkan dengan tujuan dan ruang lingkup jurnal), dan 
  • Metrics (Peningkatan kutipan secara berlebihan, Rendahnya CiteScore) 

Rinciannya terdapat pada laman Title Re-evaluation.

Daftar ini merupakan hasil seleksi dari CSAB (Content Selection and Advisory Board) yang diklaim mengawal mutu daftar publikasi Scopus. CSAB berasal dari berbagai negara (USA, UK, Peru, Afrika Selatan, dsb; silakan dikritik apabila Anda merasa tidak memiliki representasi/perwakilan) dan berbagai bidang ilmu, seperti Psikologi, Ilmu Lingkungan, Kedokteran. Di samping CSAB, terdapat juga local board di China, Korea Selatan, Thailand, dan Rusia.

Sumber gambar: Elsevier, elsevier.com
Sumber gambar: Elsevier, elsevier.com

Artinya, daftar ini bersifat dinamis, tidak statis, karena CSAB mengadakan pertemuan rutin guna melakukan evaluasi.

Pembaruan daftar ini terjadi hampir setiap bulan, sehingga laman perlu ditinjau secara berkala.

Secara live, selain melalui Excel, daftar ini dapat dicek melalui laman Scopus Source.


Apabila kita masih ragu, apakah status sebuah jurnal masih terindeks Scopus, atau discontinued, atau - lebih tricky lagi - di tengah-tengahnya (Belum terindeks Scopus namun akan terindeks; atau berada pada masa re-evaluasi oleh Scopus, yang artinya sudah terindeks namun sedang dinilai kembali apakah tetap akan diindeks Scopus), bertanyalah kepada Scopus sendiri - melalui Scopus Helpdesk.

Tips "si paling realtime" ini dinyatakan Scopus sendiri pada blog-nya, namun masih jarang dimanfaatkan. 

Sumber gambar: blog.scopus.com
Sumber gambar: blog.scopus.com

Caranya? Masuk ke Scopus Support Center, dan pilih fasilitas chat atau email yang disediakan. Ajukan pertanyaan, misalnya, "Apakah jurnal .... (ISSN ....) terindeks Scopus? Bagaimana status indexing-nya saat ini?". 

KEDUA: Pastikan keaslian jurnal

Setelah memperoleh daftar jurnal/prodising/buku terindeks Scopus, kita perlu memeriksa keotentikannya. Mengapa demikian? Hari ini, terdapat dua atau lebih nama jurnal yang sama, bahkan nomor ISSN yang sama. Namun yang satu asli, yang lainnya "aspal" (seperti asli dan sebenarnya palsu). 

Gejala ini sering disebut sebagai jurnal kloning, jurnal terbajak. 

Dari mana kita bisa tahu? Salah satunya dari Retraction Watch Hijacked Journals Checker. Kita patut berterima kasih kepada Anna Abalkina dan Retraction Watch yang membangun inisiatif ini. 

Sumber gambar: https://docs.google.com
Sumber gambar: https://docs.google.com

Apabila Anda seorang penggemar sains dan tidak ingin semakin banyak orang terjebak pada jurnal palsu, silakan memberikan dukungan kepada mereka berupa donasi, yang alamatnya tertera pada laman Retraction Watch ini.

Fenomena jurnal palsu ini agak mirip dengan yang pernah terjadi pada dunia perbankan Indonesia. Pada 2001, Steven Haryanto bereksperimen membuat typosite dari situs web klikbca, yaitu wwwklikBCA, klikBCA, ClickBCA, KlikBAC. Surat terbuka Steven pada bulan Juni 2001 masih dapat dibaca pada laman ini.

Masalahnya, jurnal-jurnal palsu itu - tidak seperti Steven - bukan bermaksud bereksperimen dan mengedukasi mengenai pentingnya pengamanan jurnal, melainkan penipuan untuk mengeruk keuntungan keuangan.  

Banyak dosen dan peneliti yang terjebak dalam jurnal-jurnal palsu hasil fraud (penipuan) dan terlanjur mentransfer sejumlah uang. Hal ini sangat disayangkan karena kinerja akademiknya tidak dapat diakui, di samping menjadi "buang-buang uang" (waste of money) buat individu maupun kampus/lembaga riset yang membayar.

'Tricky'-nya, sejumlah jurnal palsu juga ada yang berhasil diindeks di Scopus. Hal ini sekaligus menjadi kritik untuk Scopus yang hingga saat ini masih saja "kecolongan" mengindeks konten jurnal yang tidak semestinya.

Hal di atas terungkap dalam artikel berjudul Masquerade of authority: hijacked journals are gaining more credibility than original ones (Hegedűs, Dadkhah, & Dávid, 2024). Dalam bahasa Indonesia: Penyamaran otoritas: jurnal yang dibajak mendapatkan kredibilitas lebih dibandingkan jurnal asli. 

Abalkina (2023) (yang bukan abal-abal!) sampai membuat tipologi jurnal terbajak.

Sumber gambar: asistdl.onlinelibrary.wiley.com
Sumber gambar: asistdl.onlinelibrary.wiley.com

Mendeteksi hal ini, Scopus pada tahun 2023 melakukan upaya penghapusan data alamat jurnal di web Scopus.com. Sebelumnya, kita dapat menemukan Source Homepage pada laman profil sebuah jurnal terindeks Scopus; sekarang tidak lagi. 

Tetapi ini justru seperti upaya "lepas tanggung jawab / cuci tangan" dari Scopus, bila dibandingkan dengan riwayatnya mengindeks konten jurnal palsu bahkan hingga tahun 2024 ini. Pengguna database Scopus jadi tidak memiliki pegangan dan harus mencari tahu sendiri keaslian sebuah jurnal (diantaranya melalui inisiatif Abalkina di atas).

Situs Scimago Journal and Country Rank (ScimagoJR) masih mempertahankan informasi Homepage, sepeti pada Journal of Personality and Social Psychology. 

Sumber gambar: scimagojr.com
Sumber gambar: scimagojr.com

Namun untuk jurnal-jurnal yang meragukan, ScimagoJR tidak mencantumkan informasi Homepage, seperti pada jurnal Ponte.

Sumber gambar: scimagojr.com
Sumber gambar: scimagojr.com

KETIGA: Cek keselarasan bidang ilmu dan komentar netizen

Dua langkah di atas adalah hal dasar (basic) yang perlu untuk memilih outlet publikasi ilmiah yang tepat, namun tidak cukup dalam konteks syarat menjadi Lektor Kepala (Associate Professor) atau Guru Besar (Professor).

Pedoman operasional penilaian angka kredit kenaikan jabatan akademik dosen (PO PAK) Tabel 14 menunjukkan adanya 'Syarat Segitiga' yaitu keselarasan antar tiga dimensi, yakni (1) Pendidikan terakhir, (2) Karya ilmiah, dan (3) Bidang ilmu penugasan jabatan/program studi tempat berkiprah.

Sumber gambar: pak.kemdikbud.go.id
Sumber gambar: pak.kemdikbud.go.id

Sebagai contoh, jika pendidikan terakhir dan program studi tempat berkiprah adalah Psychology, maka perlu menulis dan menerbitkan karya ilmiah untuk bidang Psychology.

Adapun klasifikasi bidang ilmu jurnal yang terindeks Scopus yang menjadi ukuran penilaian tersebut didasarkan pada penggolongan ASJC (All Science Journal Classification).

Sumber gambar: service.elsevier.com
Sumber gambar: service.elsevier.com

Sebuah jurnal bisa memiliki lebih dari satu bidang keilmuan. Sebagai contoh, CommIT Journal dari Universitas Bina Nusantara memiliki sejumlah bidang keilmuan berdasarkan topik-topik artikel yang dimuat dalam jurnal ini, yakni (1) Computer Science (di dalamnya ada sejumlah cabang, diantaranya Information Systems), dan (2) Engineering.

Sumber gambar: scopus.com
Sumber gambar: scopus.com

Bagaimana dosen/peneliti/mahasiswa dapat mengetahui hal ini?

1. Melalui Scopus Source (seperti di atas) atau ScimagoJR (seperti di bawah ini).

Sumber gambar: scimagojr.com
Sumber gambar: scimagojr.com

 

2. Melalui laman Check Quartile Scopus dari SINTA (Science and Technology Index).  

Laman ini dibangun Kementerian Dikbudristek berdasarkan amanat Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:

"Jika syarat publikasi dalam jurnal internasional bereputasi tetap akan dipertahankan untuk memperoleh jabatan akademik profesor, maka tulisan yang telah dimuat tidak perlu dilakukan review ulang oleh reviewer perguruan tinggi dan/atau kementerian, sepanjang tulisan tersebut dimuat dalam jurnal bereputasi yang telah ditentukan daftarnya oleh kementerian dan daftar tersebut diperbarui secara regular."

Sumber gambar: sinta.kemdikbud.go.id
Sumber gambar: sinta.kemdikbud.go.id

Kemendikbudristek tampaknya belum memperbarui daftar ini untuk tahun 2024, karena tahun terakhir yang tercantum adalah tahun 2023. Tulisan ini sekaligus menjadi reminder bagi Kemendikbudristek untuk melakukan update.

3. Melalui Excel daftar nama jurnal/prosiding/buku, sebagaimana telah disampaikan alamat unduhnya pada langkah PERTAMA.

Di samping itu, cek juga komentar Netizen, yang bisa diperoleh dari:

1. Komentar dalam laman jurnal yang tertera di ScimagoJR.

Komentar-komentar tersebut - walau tidak selalu valid (dan harus diperiksa kebenarannya) - dapat menjadi indikasi yang berharga, apakah suatu jurnal bermasalah. Sebagai contoh, ada keluhan netizen pada laman profil jurnal Community Practitioner  berikut ini. 

Sumber gambar: scimagojr.com
Sumber gambar: scimagojr.com

Ada kemungkinan si penulis menerbitkan kedua artikelnya di jurnal Community Practitioner yang palsu (beralamat di https://commprac.com/, sempat diingatkan netizen lainnya pada kolom komentar yang sama) dan sempat terindeks, lalu entri dua artikel tersebut dihapus oleh Scopus dari databasenya, karena menyadari bahwa jurnal aslinya beralamat di https://www.communitypractitioner.co.uk/ 

2. Situs web PubPeer.

Komentar netizen pada situs web PubPeer juga merupakan sumber berharga 

Sebagai contoh, apabila kita ingin mengetahui apakah pernah ada masalah pada jurnal Sustainability yang diterbitkan oleh MDPI, maka kita dapat memasukkan nama jurnal ini pada kotak pencarian di PubPeer.

Sumber gambar: pubpeer.com
Sumber gambar: pubpeer.com

PubPeer pada hasil pencarian di atas menunjukkan adanya masalah pada artikel tertentu sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut.

Sumber gambar: pubpeer.com
Sumber gambar: pubpeer.com

Sekali lagi, komentar netizen ini baru merupakan pertanda bahwa kita perlu waspada terhadap jurnal ini. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan relatif, bukan pertimbangan mutlak, untuk memilih atau tidak jurnal ini.

Jika sebuah jurnal dipastikan ada di pangkalan data Scopus, jurnal itu asli, dan selaras dengan bidang kepakaran calon penulis, masih ada dua langkah berikutnya yang perlu ditempuh.

Langkah-langkah berikutnya adalah untuk meminimalisasi jurnal yang problematik sekaligus menjaga reputasi keilmuan penulis:

(1) Tengok Catatan Resmi Negara Tetangga.
(2) Kembali ke Intuisi Akademik.

KEEMPAT: Tengok catatan resmi negara tetangga

Untuk menjaga marwah jabatan akademik dosen/peneliti, serta agar masyarakat tidak "terkena getah" dari publikasi yang keilmiahannya dapat diragukan, Kementerian di sejumlah negara yang menangani pendidikan/penelitian menerbitkan secara resmi "daftar hitam" jurnal ilmiah yang perlu dihindari.

Indonesia (Kementerian Ristekdikti) pada tahun 2020 sempat menerbitkan "daftar hitam" jurnal bertajuk "jurnal yang harus dihindari".  Terdapat lebih dari 35 (tiga puluh lima) jurnal dalam daftar ini; dua diantaranya misalnya, Journal of Physics: Conference Series dan International Journal of Social Science and Economic Review.

Sebelumnya, pada 2012, Malaysia Ministry of Education (MOE) mengeluarkan daftar hitam bertajuk Senarai Penerbit Jurnal dan Jurnal yang Tidak Diiktiraf oleh KPT. Diantaranya sejumlah jurnal yang diterbitkan oleh EuroJournals dan Common Ground Publishing.

Satu dekade kemudian, pada 2023, MOE mengumumkan tidak akan membantu pembiayaan untuk dosen yang akan menerbitkan tulisannya di jurnal yang diterbitkan oleh tiga buah penerbit, yaitu Frontiers, Hindawi, dan MDPI. Sayangnya, sebagaimana diberitakan oleh C&EN (2023), Kementerian Pendidikan Malaysia tidak menjalaskan alasan di balik keputusan tersebut.

Afrika Selatan memiliki "daftar putih" (whitelist) yang diterbitkan oleh South African Department of Higher Education and Training (DHET), dengan tajuk DHET List of Accredited Journals. Pada 2019, DHET mengeluarkan "daftar hitam" dengan tajuk Journals Removed from 2019 DHET List. Diantaranya, African Journal of Hospitality, Tourism and Leisure, Philosophical Papers, HTS Theological Studies /Teologiese Studies. Sayangnya, kriteria eksklusi (pencabutan) ini tidak disebutkan secara eksplisit, meski kriteria inklusi dapat dibaca di laman DHET.

Sebagaimana disampaikan di atas, daftar jurnal hitam dari Kemristekdikti - Indonesia, MOE - Malaysia, dan DHET - Afrika Selatan tidak dilengkapi langsung dengan alasan mengapa daftar hitam tersebut dikeluarkan, sehingga dapat dikatakan kurang dapat dipertanggungjawabkan meskipun diterbitkan oleh lembaga yang otoritatif di bidang pendidikan dan riset.


China dalam hal ini berbeda. Sejak 2020, National Science Library of the Chinese Academy of Sciences (CAS) menerbitkan Chinese Early Warning Journal List (EWJL) yang memuat langsung alasan mengapa sebuah jurnal disebut "Berisiko".

Sumber  gambar: earlywarning.fenqubiao.com
Sumber  gambar: earlywarning.fenqubiao.com

Diantara alasan tersebut adalah (1) Manipulasi kutipan/sitasi, (2) Keterlibatan dalam pabrik makalah (Paper mill), dan (3) Berat sebelah dalam jumlah penulis di negara tertentu (Over-presentation Authors of Specific Country).

Sebagai contoh, pada 2020, EWL mengumumkan bahwa Jurnal IEEE Access dan Sustainability memiliki risiko menengah (Medium), dan Jurnal Water memiliki risiko Rendah (Low). Nah, silakan dosen/peneliti dan lembaga ilmiah menyikapi asesmen ini, apakah akan digunakan, mempetimbangkan bahwa selalu ada perdebatan mengenai penerbitan "daftar putih" dan "daftar hitam".

KELIMA: Kembali ke Intuisi Akademik

Langkah PERTAMA hingga Langkah KEEMPAT hanyalah merupakan prosedur formal yang bila diikuti merupakan ikhtiar kita untuk tidak terjebak dalam jurnal terindeks Scopus yang kurang atau tidak memberikan nilai tambah.

Pada akhirnya, yang perlu kita asah masing-masing adalah kepekaan/sensitivitas/intuisi akademik. Sebuah jurnal mungkin"lolos saringan" dari keempat langkah tersebut. Akan tetapi jika di ujung (langkah kelima ini), intuisi intelektual kita mengatakan TIDAK kepada sebuah jurnal, maka marilah kita ikuti intuisi tersebut.

Nah, guna membantu mengasah intuisi kita, dua inisiatif bertajuk Think - Check - Submit (untuk memilih jurnal) dan Think - Check - Attend (untuk memilih konferensi) perlu dipraktikkan.

Sebagai contoh, Think - Check - Submit memberikan pertanyaan: "Apakah penerbit menawarkan peninjauan oleh pakar anggota dewan editorial atau oleh peneliti di bidang Anda? ... Apakah jelas biaya apa yang akan dikenakan kepada penulis? ... Apakah penerbit memiliki kebijakan yang jelas mengenai potensi konflik kepentingan bagi penulis, editor, dan peninjau?".

Sumber gambar: thinkchecksubmit.org
Sumber gambar: thinkchecksubmit.org
Think - Check - Attend  memberikan pertanyaan: "Apakah Anda mengetahui masyarakat atau asosiasi yang menyelenggarakan konferensi ini? .... Pernahkah Anda mendengar tentang pembicara sesorah-nada-dasar (Keynote speakers)? .... Pernahkah Anda mendengar tentang anggota Komite Editorial sebelumnya? .... Apakah Komite ini jelas mengenai kendali editorial atas presentasi dan jenis tinjauan sejawat yang digunakan? .... Apakah konferensi memperjelas layanan pengindeksan mana yang dapat menjamin publikasi prosiding dan kepada pengindeks mana saja mereka akan menyerahkan prosesnya untuk dievaluasi?"

Sumber gambar: thinkcheckattend.org
Sumber gambar: thinkcheckattend.org

Di samping kedua inisiatif tersebut, saya juga telah menuliskan - di Kompasiana juga - tentang bagaimana perasaan moral hendaknya kita gunakan ketika menilai apakah sebuah jurnal itu "predator" dan layak dimasuki atau tidak. 

Anda dapat menemukan jawaban melalui kolom saya ini, apakah jurnal-jurnal terindeks Scopus yang diterbitkan oleh para penerbit besar, seperti Elsevier, Wiley, Taylor & Francis, Springer, pasti bukan jurnal pemangsa.

Melampaui Scopus (Go beyond Scopus)

Ada pepatah, "Emas yang jatuh di lumpur tetaplah emas dan bersinar". Artikel penelitian kita walau masuk ke jurnal yang tidak terindeks Scopus pun (yang dianggap baku emas/gold standard termasuk oleh lembaga pemeringkatan Quacquarelli Symonds (QS) dan  Times Higher Education (THE)) - jika merupakan artikel yang memenuhi standar riset, tinjauan sejawat (peer review), dan pelaporan yang baik - tetaplah merupakan artikel yang baik dan kita semua harus bangga dengan dan mempromosikan itu. 

Sebaliknya, walau sebuah artikel terbit di jurnal terindeks Scopus dan Quartile 1, ber-impact factor tinggi, disebut top-tier journal, tidak serta-merta artikel tersebut merupakan artikel yang baik, yang memenuhi dua kualitas sekaligus (1) Kokoh secara keilmuan (scientifically robust), dan (2) Beretika (ethical). 

Kasus etik Prof. Francesca Gino dari Harvard memperlihatkan betapa kedua hal tersebut adalah maha penting melampaui keterindeksan pada global database untuk mengklaim reputasi.  

Kita (peneliti, lembaga pendanaan, lembaga ilmiah, dan organisasi penyedia metrik/ukuran kuantitatif) hendaknya selalu memegang Deklarasi San Francisco tentang Penilaian Penelitian: 

1. Perlunya menilai penelitian berdasarkan isinya, bukan berdasarkan jurnal di mana penelitian tersebut diterbitkan;

2. Bahwa isi dari sebuah makalah ilmiah jauh lebih penting daripada metrik jurnal atau identitas jurnal di mana artikel tersebut itu diterbitkan;

3. Untuk keperluan penilaian penelitian, pertimbangkan nilai dan dampak dari semua luaran penelitian (termasuk set data dan perangkat lunak) di samping publikasi penelitian, dan pertimbangkan berbagai ukuran dampak termasuk indikator kualitatif, seperti pengaruh pada kebijakan dan praktik masyarakat.

Tulisan ini mengajak kita semua untuk bergerak melampaui - tanpa harus menjauhi - Scopus dengan lima langkah praktis. Saya memperbincangkan dunia publikasi ilmiah pada umumnya, etika riset dan publikasi, serta praktik sains terbuka melalui kanal Twitter, Youtube, SlideShare, dan Figshare.

Yang dibutuhkan dari kita semua agar tidak pupus di jalur Scopus adalah keberanian moral untuk melihat kebenaran; menunjukkan bahwa yang benar itu benar dan yang batil itu batil dan tidak mencampuradukkan keduanya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun