Yang jelas, kita perlu setidaknya mengumpulkan perbendaharaan state of the art dari evolusi sistem yang ada, waktu demi waktu, membuatnya dari tacit menjadi explicit,  serta memahami konteks kebutuhan masyarakat kita sendiri di Indonesia.Â
Juga, isu-isu yang lebih mendasar selama ini, seperti (1) penegakan deregulasi dan debirokratisasi pendidikan tinggi, (2) perwujudan pendidikan tinggi yang bebas dari korupsi, termasuk korupsi akademik, (3) sustainabilitas pendayagunaan profesor bagi kepentingan publik [istilah pendayagunaan berasal dari Permendiknas No. 9 Tahun 2008],
(4) urgensi kepemimpinan akademik guru besar luar negeri sebagai rektor universitas di Indonesia, (5) keberpihakan sistem kegurubesaran (professorship) terhadap perkembangan terkini tentang apa yang lebih bermakna secara ilmiah (misalnya, sains terbuka atau open science) ketimbang pada apa yang kurang bermakna (misalnya, pemeringkatan atau pe-ranking-an perguruan), (6) penguatan kelembagaan Guru Besar Indonesia, serta (7) konsep profesor masa depan sebagai para pemimpin pemikiran di era digital - yang mampu bersikap kritis terhadap dominansi narasi elit politik dan/atau elit industri, perlu memperoleh perhatian serius.
Dengan demikian, berbagai usulan untuk perbaikan sistem menjadi lebih akurat, komprehensif, tepat sasaran, serta implikatif. Itu pun bila kita setuju dengan sebuah adagium klasik, "Guru Besar bukan tinggal di menara gading, melainkan mesti membersamai dan bermanfaat untuk masyarakat!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H