Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Guru Besar Psikologi Sosial BINUS; Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI); Editor-in-Chief ANIMA Indonesian Psychological Journal; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kegurubesaran di Indonesia

4 Februari 2021   12:27 Diperbarui: 10 Februari 2021   11:08 3546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Flyer kegiatan KIKA - YouTube Stream

Demikianlah, menurut gagasan inovatif yang diangkat oleh Profesor Magdalena Kachniewska ini, apabila penerbitan karya-karya para ilmuwan secara mandiri (self-publishing) dan pengarsipan karya-karya mereka juga secara mandiri (self-archiving) dibenami dengan sistem penelaahan sejawat ahli (peer review system) yang berkualitas (catatan: untuk saat ini, sistem ini masih belum tergantikan dengan kecerdasan buatan/artificial intelligence), maka dunia memiliki alternatif (yakni e-science) terhadap fungsi jurnal ilmiah internasional selama ini. Bukan hanya sebuah alternatif, melainkan alternatif yang lebih baik di tengah-tengah era komodifikasi jurnal ilmiah [jurnal sebagai komoditas], yang turut melanda keilmuwanan Indonesia dewasa ini. 

Si "A"-Profesor Harvard dan Profesor Soenjono
Terbatasnya rentang perhatian saya terhadap ketiga sumber tersebut sekaligus, membuat saya saat ini, dalam tulisan ini, hanya mengkaji satu buah salindia yang disampaikan oleh pembicara KIKA (dan hanya pada sebagian isinya), mulai menit ke-50:13 yang disebut pembicara sebagai "Ilustrasi praktek keliru yang dibangun".

Disampaikan oleh pembicara, sebagai berikut, "Indonesia memiliki target untuk membawa kampus-kampus Indonesia go international dengan prestasi Internasional yang juga luar biasa.
Si A, orang Indonesia yang telah menjabat Full professor of Psychology at Harvard University mendengar kabar ini dan berencana untuk kembali ke Indonesia. Si A pun mengirim surat lamaran ke salah satu PTN terbaik di Indonesia. 

Karena A tidak memiliki rekam jejak barkarir sebagai akademisi di Indonesia si A pun diminta mengikuti proses seleksi; dia diminta untuk ikut tes Potensi Akademis (TPA) dan tes Bahasa Inggris. Si A sangat kaget mendapatkan kabar ini dan menginfokan: 1) apa perlunya tes potensi akademis kalau sudah ada pencapaian akademis, 2) apa perlunya tes bahasa Inggris lagi untuk orang yang sudah lama tinggal di negara berbahasa Inggris? Si A mendapatkan jawaban yang sederhana juga: karena memang aturannya seperti itu.

ps. Jenjang Karir akademis di Indonesia: AA, Lektor, Lektor Kepala, Profesor. Ada aturan tertulis di Indonesia bahwa untuk mengurus kepangkatan akademis, seseorang mesti mendapatkan dahulu NIDN. Setelah mendapatkan NIDN, seseorang tersebut bisa diurus kepangkatan pertama: AA atau Lektor. Artinya si A, walaupun sudah profesor di LN, tidak serta merta profesorshipnya bisa langsung di sinkronisasi. Si A harus mendapatkan NIDN terlebih dahulu."

Flyer kegiatan KIKA - YouTube Stream
Flyer kegiatan KIKA - YouTube Stream
Ilustrasi dari pembicara KIKA tersebut membawa saya pada sebuah ingatan tentang kasus Alm. Prof. Soenjono Dardjowidjojo. Saya teringat karena kasus si A dapat disandingkan dengan kasus Pak Soenjono (orang Indonesia). Prof. Soenjono, seperti si A, "tidak memiliki rekam jejak berkarir sebagai akademisi di Indonesia". Jelasnya, karir Pak Soenjono "dimulai sebagai pengajar kajian bahasa Indonesia di Universitas Victoria, Wellington, Selandia Baru".

Saya membeli buku beliau sewaktu duduk di bangku kuliah S1 Psikologi, berjudul Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Dalam sampul belakang buku beliau, persis tertulis, sebagai berikut:

"Karena keunikan sistem pendidikan Indonesia yang tidak mengakui kegurubesaran dari luar negeri, termasuk negeri Amerika Serikat, maupun dari suatu PTN ke PTN lain, Soenjono terpaksa menjadi Gurubesar empat kali di: (i) Universitas Hawaii tahun 1970-82, (ii) IKIP Negeri (sekarang UNJ) Jakarta tahun 1983, (iii) Universitas Indonesia tahun 1993, dan (iv) Unika Atma Jaya tahun 2001!"

Dihadapkan pada fakta ini, ilustrasi "si A" oleh pembicara KIKA di atas, menurut hemat saya, tidak sepenuhnya akurat. Memang benar, bahwa kegurubesaran dari Si A tidak otomatis diakui di Indonesia, dan bahwa si A perlu mendapatkan NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional). 

Akan tetapi, tidak benar bahwa, "Setelah mendapatkan NIDN, seseorang tersebut bisa diurus kepangkatan pertama: AA atau Lektor." Sebab, apabila kita telaah fakta bahwa Pak Soenjono menjadi Guru Besar di Universitas Hawaii hingga 1982, kemudian diangkat sebagai Guru Besar UNJ tahun 1983, maka sepertinya mustahil bahwa kepangkatan pertama Pak Soenjono di IKIP Negeri Jakarta adalah Asisten Ahli (AA) atau Lektor. 

Apakah dalam waktu 1 (satu) tahun, seseorang dapat (dari sisi regulasi) loncat jabatan akademik dari Asisten Ahli atau Lektor ke Guru Besar?

Mobilitas Profesor untuk Pemerataan Kualitas Pendidikan
Di samping itu, saya juga mencermati bahwa transfer kegurubesaran dari sebuah perguruan tinggi ke perguruan tinggi lain (atau, mobilitas profesor) telah terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun