Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Guru Besar Psikologi Sosial BINUS; Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI); Editor-in-Chief ANIMA Indonesian Psychological Journal; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kegurubesaran di Indonesia

4 Februari 2021   12:27 Diperbarui: 10 Februari 2021   11:08 3546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Flyer kegiatan KIKA - YouTube Stream

Ambil contoh, Dekan Ketujuh (1994-1997) pada Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Prof. Dr. Suprapti Soemarmo Markam, yang juga masih menulis hingga awal tahun 2000-an sebagai Guru Besar pada Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, diangkat pada 2003 (atau, sering dikenal di komunitas perguruan tinggi sebagai Pengukuhan Kembali) sebagai Profesor Tetap pada Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI Jakarta.

Transfer kegurubesaran dari PTN ke PTS juga terjadi pada Prof. Djamaluddin Ancok, Ph.D. (dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ke Universitas Gunadarma, Jakarta).

Fakta di atas juga sekaligus menjawab pernyataan pembicara KIKA pada menit ke-1:39:14 yang menilai bahwa, "Mobilitas dosen antar universitas pernah terjadi ...[tetapi] tidak lagi terjadi di universitas-universitas kita". Pernyataan tersebut, saya kira, tidak sepenuhnya akurat karena bahkan mobilitas dosen semakin ditunjang dengan Program Detasering (Pengumandahan) dosen. Disebutkan dalam prospektus Kemendikbud mengenai program ini.

"Program Detasering yang pernah juga dinamakan sebagai Program Mobilisasi Dosen Pakar dan Ahli (PMDPA), dimaksudkan sebagai upaya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk membantu perkembangan kualitas pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi dan penguatan institusi di enam perguruan tinggi yang saat itu baru berubah statusnya dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) agar tidak terjadi kesenjangan yang terlalu lebar dengan PTN yang sudah ada terlebih dahulu.... 

Sampai tahun 2012, program pembinaan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi kepada perguruan tinggi dilakukan melalui Program Detasering dengan menempatkan dosen senior (dinamakan sebagai Detaser) yang berasal dari PTN ternama (disebut sebagai Perguruan Tinggi Sumber atau Pertisum) di Perguruan Tinggi Sasaran (Pertisas). Untuk penyelenggaraan Tahun 2020, nama PMDPA dikembalikan menjadi Program Detasering sesuai dengan pemahaman umum tersebut di atas."

Tantangannya, hemat saya, adalah bagaimana model ini dikuatkan dan ditularkan kepada berbagai lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, untuk dilaksanakan secara terdesentralisasi berdasarkan inisiatif di wilayah-wilayah di Indonesia. Dalam konsep payung Kampus Merdeka, sejumlah konsorsium sudah mulai bergerak dalam aktivitas ke arah ini, seperti NUNI (Nationwide University Network in Indonesia) dan APTIK (Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik).

Yang Diharapkan dari Guru Besar Tidak Tetap
Di samping itu, dalam perkembangan kebijakan pengangkatan Guru Besar di Indonesia, terdapat kualifikasi jabatan Guru Besar Tidak Tetap. Disebutkan dalam Surat tersebut bahwa Romo Mangunwijaya (bidang lingkungan/pemukiman) dan Abdurrahman Wahid (bidang pluralisme)  merupakan contoh sosok yang layak sebagai Guru Besar Tidak tetap.

Dengan adanya "celah" kebijakan tersebut, (sebagian) terjawab kritik pembicara KIKA pada menit ke-34:46, yang menyatakan bahwa: "Sangat sulit dalam segi administratif untuk menjadi Guru Besar, tapi juga bisa secara 'politis' diproses. (Orang yang minim pencapaian ilmiah, sedang dinas di luar aktivitas ilmiah, dan usia pensiun bisa jadi Guru Besar). Hal yang Paradox kerap muncul."

Dirjen Dikti berargumen bahwa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono merupakan Guru Besar Tidak Tetap bidang Ketahanan Nasional dari Universitas Pertahanan, yang dipandang memiliki tacit knowledge yang bisa diterjemahkan atau ditransfer menjadi explicit knowledge. Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh pembicara sendiri ketika membahas tentang "Profesor Causa" pada menit ke-1:52:08.

Epilog
Betapapun, stimulan KIKA layak diapresiasi sebagai bentuk kebebasan berpendapat. Berpijak pada sampel dinamika kompleks pengangkatan Guru Besar (Profesor) di atas, dialog antara pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan tampaknya merupakan jalan terbaik. Kesediaan untuk tidak hanya kritis, melainkan juga transparan, holistik, empatis dan konstruktif, akan sangat bermakna untuk menyegarkan kebijakan tentang kegurubesaran.

Tulisan ini masih sangat terbatas, dan belum membahas, misalnya implikasi dari Spesialisasi Tridarma Perguruan Tinggi, yang digaungkan oleh Mas Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Mas Nadiem Makarim, dalam Forum Rektor Indonesia 2020 [Spesialisasi ini sebagian untuk menjawab persoalan beban kerja dosen], serta konsep kewargaan akademik (academic citizenship), terhadap sistem kegurubesaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun