Allah berfirman:
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka.
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
"Betul, kami menjadi saksi."
Sayangnya begitu jiwa masuk janin, dia serta-merta berada dalam dimensi yang rendah, yaitu dunia berdimensi tiga plus panah waktu yang bergerak searah, sehingga terlupalah dia dengan perjanjian dengan Tuhan yang menciptakannya.Â
Sederhananya seumpama kita berada di puncak Monas yang memungkinkan kita memandang Jakarta dari pelbagai arah, kemudian turun ke bawah tanah, sehingga pandangan kita sebatas pada yang terlihat di hadapan kita.Â
Orang yang melulu hidup memikirkan akumulasi harta, dia mengabaikan kesaksiannya dengan Tuhan, padahal Dialah yang memberikan pemberian yang paling berharga: Jiwa yang kekal itu. Â
Orang yang sama sekali mengikatkan diri pada materi, jiwanya sebatas pada materi yang dia cintai itu. Fana. Nihil. Apabila berbuat kebajikan, laksana dia mengisi air pada saluran yang mengarah ke padang pasir. Tanpa tujuan. Air menguap sia-sia.
Oleh sebab itu, hidupnya bak binatang  yang saban hari berputar pada makan, minum, tidur, serta buang air belaka.Â
Dia mengorbankan potensi jiwa yang kekal untuk kehidupan di bumi, dimensi materi yang rendah dan terbatas tadi. Â Padahal kelak kita akan kembali kepada Tuhan.
Hanya kepada-Nya-lah kamu semuanya akan kembali, (QS. Yunus: 4).
Pada saatnya kelak, semua jiwa pasti kembali kepada Tuhan. Tidak mungkin jiwa yang tanpa arti dicampur dengan jiwa yang bermakna. Ini seumpama panen gandum. Gandum yang berisi diolah menjadi roti, sedangkan gandum yang kosong dibakar lantaran sia-sia tanpa makna.