Ah, bukankah meskipun usia singkat, manusia berhasil membangun peradaban?
Kenyataannya, manusia modern bergantung pada infrastruktur.  Kita takkan sanggup hidup, jangankan di tengah gurun yang gersang, di tengah hutan  tanpa bantuan teknologi, 99 persen manusia takkan bertahan lama.
Inilah kenyataan bahwa ruang gerak hidup yang membuat  "kemengadaan semu" itu terbatas. Seberkuasa dan segagah manusia, takkan dapat dia mengendalikan tubuh fisik sendiri. Takkan mampu kita memerintah badan menolak sakit atau menyuruh  tubuh menyembuhkan diri sendiri.  Kita hanya bisa patuh mengikuti seperangkat aturan hukum alam. Sebagai contoh, jika ingin  sehat dalam hidup, hiduplah yang sehat!Â
Bahkan kendati dengan segala upaya menjauh darinya, penyakit bisa menimpa kapan saja tanpa kita kehendaki.  Orang yang terkena _stroke_ dan lumpuh karena penyakitnya itu terperangkap dalam tubuh fisiknya. Ruang gerak hidupnya  yang terakhir hanyalah jiwanya yang sadar akan kondisi badannya yang mati rasa.Â
Beginilah siklus hidup manusia. Badan fisik setelah mencapai puncak pertumbuhan pada usia 25 tahun, pelan-pelan akan merapuh. Rambut menguban, mata merabun, sedangkan otot-otot melemah.
Seberapa banyak, seberapa giat, seberapa tekun manusia mengumpul-ngumpulkan kekayaan dan modal, pada  akhirnya dia tidak bisa menikmati hasilnya secara total. Ketika renta, umpamanya, dia hanya membutuhkan rumah yang kecil, karena kebisaan geraknya semakin sempit.
Pada saatnya ketika hidup yang nihil itu berakhir, segala yang diupayakan sia-sia belaka! Pada saat manusia ditanam dalam ruang 2 x 1 meter di dalam tanah, ke manakah jabatan dan gelar yang selama ini dia banggakan? Ke manakah mobil mewah yang selalu dia pemerkan di jalan? Ke manakah rumah luas yang kerap dia ceritakan kepada handai taulan?Â
Lantas, jika segala yang materi itu berakhir, apakah ada yang sesuatu pada diri kita yang melampaui kefanaan itu?
Ada. Itulah jiwa. Jiwa terpisah dari badan yang bersifat fisik. Jiwa itu modal kebahagiaan yang melampaui setiap aset yang kita punyai. Jiwa manusia, bila semakin tua, dia akan semakin bijaksana, semakin kaya batin, semakin indah dengan amal-amal kebaikan yang menemani.
Jiwa, itu diri kita yang esensi. Dialah yang menjadikan kita bermakna, yang membedakan kita dengan binatang dan tumbuhan.Â
Ketika kita wafat, badan fisik musnah, namun jiwa berlanjut. Bahkan  sebelum kita lahir, jiwa kita telah ada, dan pernah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa.Â