Pekan lalu, saya dan kawan-kawan peserta pendidikan kepemimpinan, mengunjungi beberapa lokasi di Sulawesi Selatan, khususnya proyek pembangkit Listrik dari energi terbarukan. Kunjungan itu sangat menarik dan membuka mata saya, yang dasarnya bukan ahli teknik dan energi, karena mengingatkan akan pentingnya energi bagi masa depan bumi ini. Berbagai penelitian, seperti yang dimuat pada Buletin Energy for Sustainable Development (2016), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara konsumsi energi per kapita dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (human development index).
Bagi Indonesia, yang berpenduduk besar dan tersebar di wilayah kepulauan, isu ketahanan energi menjadi penting dalam pembangunan ekonomi. Sulit rasanya membayangkan di jaman "now" ini untuk bisa meraih pertumbuhan dan kesejahteraan kalau listrik saja kita tidak punya. Oleh karenanya, selain upaya meningkatkan elektrifikasi (jumlah penduduk yang mendapatkan akses pada listrik), langkah strategis memikirkan sumber energi bagi kehidupan, juga tak kalah penting. Dibandingkan dengan negara lain, khususnya di ASEAN, posisi Indonesia dalam hal ketahanan energi masih relatif rendah (tercermin dari konsumsi energi per kapita).
Kalau melihat pada sumber energi primer yang kita miliki di bumi Indonesia ini, sungguh kita sangat bersyukur dengan berbagai kelimpahan. Kita memiliki dua sumber energi, yaitu energi yang tidak bisa diperbarui (non renewable), seperti minyak, gas, dan batu bara, dan energi baru (nuklir, hidrogen) serta terbarukan (panas bumi, air, surya, angin, laut, biomass). Dua energi terakhir disebut dengan istilah Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Nah, kita tentu menyadari bahwa energi yang non-renewable tidak akan ada selamanya. Saat ini saja, kita sudah mulai mengimpor minyak. Meskipun kita masih memiliki batu bara, cadangannya hanya untuk beberapa puluh tahun ke depan. Belum lagi dampak lingkungan yang disebabkannya. Pertanyaannya adalah, dengan energi apa nanti anak cucu kita hidup di Indonesia? Apakah mereka harus mengimpor terus, atau mereka akan hidup dalam kegelapan karena tidak memiliki energi listrik? Bagaimana menatap dan membangun masa depan energi untuk Indonesia di masa depan?
Skenario buruk soal kehabisan sumber energi non renewable di bumi Indonesia tentu bisa kita hindari, karena Indonesia sebenarnya dilimpahi oleh sumber daya energi terbarukan yang melimpah. Kita punya beragam sumber, mulai dari panas bumi (geothermal), tenaga angin (bayu), tenaga air (hydro), matahari (surya), dan biomass.
Saat ini porsi energi terbarukan dalam komposisi energy mix sudah meningkat, dari sekitar 6 persen di tahun 2015, menjadi realisasi penandatanganan tambahan kapasitas sebesar 12 persen (September 2017).Â
Kembali pada kunjungan ke Sulawesi Selatan, saya dan kawan-kawan mengunjungi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bili-Bili. Ini adalah satu lokasi pembangkit listrik yang sangat membantu kehidupan masyarakat di daerah Bili-Bili, karena dari PLTA ini mereka bisa mendapatkan listrik potensial sebesar 19 Megawatt yang sumbernya dari air di waduk. Ini artinya mereka bisa mendapatkan sumber listrik dari air dengan dampak lingkungan yang hampir tidak ada. Malahan, menurut Pak Mansyur, Manager PLTA yang kami temui, air bisa digunakan sebagai irigasi, pengendalian banjir, dan air minum.
Kami juga mengunjungi perusahaan yang sedang membangun Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) atau angin. Â PLTB, yang berlokasi di Sidrap itu, Â akan menjadi PLTB pertama di Indonesia. PLTB ini keren banget karena tampilannya berupa kincir angin raksasa seperti yang banyak terlihat di negara-negara Eropa. Ada 30 kincir angin besar, yang tingginya 80 meter, dengan baling-baling sepanjang 56 meter, di Sidrap nanti (rencana operasi pada triwulan I-2018). Tenaga angin ini akan menghasilkan listrik sebesar 70 megawatt dan akan mampu menambah pasokan listrik di Sulawesi Selatan.
Secara umum, wilayah Sulawesi Selatan saat ini sudah mengalami "surplus" listrik, atau daya mampu listriknya lebih besar dari penggunaan. Hal ini menjadikan wilayah Sulsel jarang mengalami kondisi pemadaman listrik dan memiliki daya tarik tersendiri bagi investor yang ingin membangun usahanya. Apalagi pemerintah provinsi Sulsel juga sangat positif dan mendukung pemanfaatan energi terbarukan.
Namun tantangan tentu juga tidak sedikit. Persepsi dan paradigma banyak pihak kerap melihat bahwa membangun energi terbarukan ini mahal dan tidak efisien. Selain itu, ada juga pesimisme bahwa energi terbarukan tidak akan dapat menggantikan energi yang berasal dari fossil. Tentu persepsi itu tidak sepenuhnya benar. Beberapa permasalahan memang muncul dalam membangun energi terbarukan. Soal investasi yang besar dan mahal memang muncul, terutama pada saat-saat awal pembangunan. Untuk membangun waduk bagi PLTA, termasuk mengadakan teknologinya, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Demikian pula untuk tenaga angin, contohnya untuk PLTB di Sidrap membutuhkan investasi lebih dari 120 juta dolar AS.