Mohon tunggu...
Junaidi Khab
Junaidi Khab Mohon Tunggu... Editor -

Junaidi Khab lulusan Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalan Pulang

13 November 2017   11:14 Diperbarui: 13 November 2017   11:24 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Brodin tampak begitu lesu usai perjalanan  seharian di atas pesawat terbang. Tubuhnya tergolek di atas dipan tua.  Rumah sederhana yang ditempati sudah menjauhkan dia dari sanak  familinya. Perasaannya gundah gulana. Pikirannya terbang kemana-mana.  Tubuhnya hanya tampak terbaring di atas dipan tempat dia akan menjalani  profesi sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negeri orang. Tapi roh  dan jiwanya berontak saat anak dalam kandungan istrinya membayangi kesendiriannya.

Bagasi dan kopor-kopor besar yang berada  di pojokan gubuk murah itu didekati dengan penuh kegirangan. Di dalam  kopor besar itu Brodin memungut sisa roti dan sebotol minuman air  mineral. Sebongkah roti dilahap dengan diselingi menenggak sebotol air.  Tubuhnya kembali bugar sejenak. Lalu dia membaringkan lagi tubuhnya di  atas dipan kayu jati.

Di sela-sela rasa letihnya yang terus  menemani jiwanya, Brodin tetap berusaha mengompori semangatnya. Bagasi  dan kopor-kopor yang berisi berbagai peralatan dan kebutuhan hidup mulai  dari baju, sarung, celana, kopiah, dan sandal ditata dengan rapi di rak  kecil sisa penghuni gubuk sebelumnya. Ruangan sempit yang ditempatinya  tampak bagaikan surga mungil yang diberikan oleh Tuhan pada dirinya.  Rapi dan tanpa sampah yang selalu berseliwiran sana-sini.

***

Waktu terus berjalan mengantarkan Brodin  pada ruang dan waktu yang semakin menjadikan dirinya tua dan mengenal  banyak teman-teman kerjanya di negeri orang. Hari itu Brodin tidak  bekerja seperti teman-teman TKI lainnya. Dia sengaja mengurung diri  dalam gubuk sewaannya. Hari itu bahagia tampak menemani kesendirian yang  bercerita tentang negeri orang itu.

Matahari di ufuk timur makin lama makin  meninggi menampakkan senyumnya yang selalu mengiris-iris kulit. Di  sela-sela Brodin tak ada kerjaan, dia merapikan tempat-tempat yang  semrawut, saat itu pula perutnya mulai memanggil dan meronta-ronta  kelaparan. Dia mengambil wajan yang berada di rak tempat peralatan  memasak. Dia pula memungut periuk nasi untuk memasak beras yang dibawa  dari Indonesia. Di hadapannya sudah bertiduran alat-alat memasak khas  negeri orang.

Di saat wajan terbaring di atas kompor,  di kala periuk berisi beberapa takaran beras bertiduran di atas lantai.  Tak terasa, air mata Brodin menganak sungai dari tepi-tepi matanya.  Tubuhnya yang gagah tak lagi mampu membendung derasnya air mata yang  mengalir di celah-celah pipinya. Dadanya terguncang. Perasannya bagai  teriris sembilu lalu diperciki air garam. Dia baru tersadar, memasak  tidak mudah. Dia teringat istrinya di rumah. Batinnya bergejolak. Dia  merasa banyak salah pada istrinya yang selalu menyiapkan makanan dengan  sepenuh hatinya di kala pagi menyapa dan di kala sore membentangkan  sayap-sayap senjanya.

Brodin berusaha menghapus titik air  matanya yang mulai mengering di pipinya yang kecoklatan. Tak lama  setelah air matanya mengering, dia mendengar gerasak-gerusuk petugas  keamanan negeri rantaunya yang sedang piket memeriksa surat-surat TKI.  Brodin pun tergopoh-gopoh masuk ke bawah tempat tidurnya. Detak  jantungnya bak usai dikejar singa di hutan. Brodin tak punya surat-surat  resmi. Dia hanya memegang kartu penduduk. Paspor tak dimilikinya. Dia  menjadi TKI ilegal melalui perantara toke.

Dia sebenarnya menyadari, menjadi TKI  ilegal tidak dibenarkan dan menjadi ancaman bagi dirinya karena tidak  akan mendapat jaminan hukum ketika terjadi masalah di negeri orang.  Namaun, apa boleh  buat, biaya yang sangat mahal dan rumitnya  administrasi menyeret Brodin menjadi TKI ilegal. Lambat laun, suara  petugas keamanan menyusut, makin lama makin menjauh dan menepi ke  gang-gang rumah di depan gubuk Brodin. Dengan beringsut keluar dari  tempat persembunyiannya, tiba-tiba Brodin ada yang memanggil dari  belakang.

"Hei, kau!" suara petugas itu menggetarkan hati Brodin.

"Maaf, Pak..." Dengan tangan menyembah, Brodin berlutut di depan petugas.

"Mana surat-surat dan paspormu?" bentak petugas menanayak kartu identitas.

Keguncangan dalam jiwa Brodin semakin  menjadi-jadi. Dia bagaikan telanjang di negeri seberang. Brodin digiring  ke rumah tahanan (rutan) bersama para TKI ilegal. Segerombol orang  berkerumun dan berbincang-bincang tentang nasibnya. Brodin hanya terdiam  seribu bahasa. Duduk menjongkok di pojokan. Matanya tampak bagaikan  kaca yang berair di bawah sinar kehidupan yang kemilau. Brodin bersama  rekan-rekan TKI-nya hanya makan apa adanya dari petugas keamanan. Uang  sudah tidak ada, segalanya dirampas. Mereka seakan-akan menjadi budak  dan bahan dagangan belaka.

***

Sudah tujuh hari Brodin dan rekan-rekan  TKI lainnya menghuni gudang tahanan. Suasananya sudah tampak cair  setelah ada pemilik modal Indonesia datang untuk menebus sekitar tujuh  puluh (70) tahanan itu. Lelangan pun terjadi antara petugas keamanan dan  Kartajul yang mau menebus tahanan TKI di rutan. Negosiasi pun berjalan  lancar. Petugas keamanan sepakat untuk memberikan para tahanan TKI itu  kepada Kartajul dengan harga tebusan dua puluh juta rupiah.

Para TKI, termasuk Brodin dibawa pulang  ke Indonesia. Tiga jam penerbangan berhasil ditempuh dengan cepat dan  mudah. Sebuah bis sudah siap menunggu di bandara. Mereka dibawa ke rumah  Kartajul sebagai tanggungannya. Tak ada yang melawan sedikit pun kepada  Kartajul. Mereka merasa terbantu dengan keberanian Kartajul yang telah  menebus mereka sehingga lepas dari penjara negeri seberang.

Di sana, di rumah Kartajul masing-masing  TKI diminta untuk membayar ganti uang tebusan tahanan. Masing-masing TKI  harus membayar satu juta rupiah. Para TKI masih merasa terbebani dengan  permintaan Kartajul. Mereka resah, karena mereka mayoritas berasal dari  keluarga yang tak mampu.

"Pak, kalau bisa, dua puluh juta kami bayar dengan urunan saja," pinta Brodin.

"Tidak bisa, setiap orang harus bayar  satu juta kalau mau kembali ke rumahnya. Nanti akan saya antar ke rumah  masing-masing," jelas Kartajul dengan sikapnya yang mata duitan.

"Kalau tidak mau, ya sudah, nanti saya kembalikan lagi ke penjara." Kartajul mulai mengancam Brodin dan rekan TKI lainnya.

Negosiasi antara Brodin dan Kartajul pun  mendapatkan titik temunya. Mereka disuruh menghubungi keluarganya  masing-masing untuk menyiapkan uang tebusan penjara sebesar satu juta  rupiah. Dengan begitu, Kartajul bisa mendapat keuntungan empat puluh  juta lebih setelah dikurangi biaya penerbangan dari negeri seberang.  Brodin dan teman TKI lainnya sudah menghubungi keluarga di rumahnya.  Mereka sudah siap untuk menebus, namun sebagian belum ada yang siap  karena keterbatasan ekonomi, tapi mereka tetap dengan tegas menyatakan  siap.

Armada bis pun diberangkatkan menuju  daerah tahanan TKI masing-masing. Tapi, Kartajul kurang beruntung.  Beberapa TKI yang tak memiliki uang tebusan satu juta itu melarikan diri  satu persatu dari bis saat berhenti di jalan entah karena macet atau  lampu lalu lintas saat mengembangkan bibirnya yang merah. Itu dilakukan  saat Kartajul lengah dan tertidur di dalam bis. Tak dirasa, sisa tahanan  sudah tinggal sembilan belas orang. Kartajul melongok-longok. Wajahnya  merah padam. Tubuhnya bagaikan berasap dan mengepul-ngepul di kepalanya.  Sisa tahanan hanya saling memandang satu sama lain, mereka tak tahu  menahu karena sejak tadi ikut tertidur dengan pulas.

"Kenapa kalian tak lang-bilang kalau ada yang kabur?!" teriak Kartajul dengan logat daerahnya dan celurit di tangan kanannya.

"Maaf pak, kami semua tertidur sejak pemberangkatan tadi."

Brodin sebagai orang yang dipercaya oleh  Kartajul dan rekan-rekan TKI lainnya berdiri menjelaskan peristiwa yang  terjadi. Dengan berang, Kartajul menggerutu habis-habisan. Dia berbicara  bak orang yang sedang tak sehat akal. Celurtinya diayun-ayunkan ke  sana-sini.

"Kalian jangan ba-coba kabur juga. Nanti saya bacok!"

Brodin dan rekan-rekannya mengangguk  dengan rasa penuh ketakutan melihat Kartajul yang gusar. Tak jauh dari  pandangan bis berjalan, tampak segerombolan orang berkumpul. Dengan  melongok-longok di jendela bis, Brodin berteriak meminta sopir bis  berhenti. Sudah kelihatan dengan jelas. Keluarga Brodin menunggu di  pinggir jalan raya dengan satu juta uang tebusan. Suasana suka pun  mengepul di pinggir jalan itu usai Kardiah, ibu Brodin memberikan uang  tebusan pada Kartajul yang masih kelihatan gusar. Kartajul sudah  mengalami kerugian yang sangat besar akibat tak tahu balas budi para  tahanan TKI yang melarikan diri.

Sejak itu, Brodin tak lagi menjadi TKI  ilegal. Dia mengurus surat-surat ijin dan paspor untuk menjadi TKI legal  dan mendapat naungan hukum dari negara. Itu pun dia lakukan dengan  menjual sawah dan ternak yang digembala bertahun-tahun oleh istrinya.  Dengan begitu dia berhasil mengumpulkan uang sebanyak empat puluh juta  rupiah untuk mengurus administrasi. Dari usaha dan pengorbanannya itu,  Brodin berhasil menjadi TKI legal. Sehingga setiap bulan bisa mengirim  uang kepada keluargnya rata-rata sepuluh juta. Dia mampu membangun rumah  mewah dan mempekerjakan orang untuk mengolah sawah, ladang, dan  menggembalakan ternak-ternaknya.

Bojonegoro, 27 Januari 2014

Oleh: JUNAIDI KHAB

Tulisan ini pernah dimuat oleh Radar Surabaya: Minggu, 26 Februari 2017 dan tayang di: JUNAIDI KHAB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun