Dengan senyum mengembang, Kurnia pun  merogoh tangan sang takmir dengan jawaban takbir kebahagiaan. Usai salat  id dilaksanakan, hewan kurban pun disembelih. Sebelumnya, mata Kurnia  menyapu halaman masjid. Di sana ada dua ekor sapi besar yang gemuk dan  tiga ekor kambing yang salah satu miliknya. Kurus dibanding dengan dua  ekor kambing lainnya. Ia tetap tersenyum meski hewan kurban darinya tak  seperti empat hewan lain yang gemuk.
"Ayo, warga yang terdaftar ada berapa  jumlahnya biar cepat dibagikan daging-daging ini?" tanya Kurnia dengan  semangat yang membara.
Seorang takmir yang lain menyodorkan buku dengan nama-nama warga yang berhak menerima daging kurban.
"Mas Kurnia, satu sapi ini jangan  dipotong-potong lagi. Ini khusus Mas Aris yang memberikan hewan kurban  dua ekor sapi," kata takmir kenalan Kurnia.
"Eh, kok begitu, Mas?" tanya Kurnia heran.
"Iya, begitu. Ikuti saja. Itu aturan dari Pak Aris."
"Gak boleh, Mas. Daging hewan kurban itu  harus disedekahkan. Orang yang berkurban bukan malah mengambil bagian,"  kata Kurnia yang sedikit paham tentang agama.
"Awalnya saya juga begitu. Tapi Si Dia  tetap ngotot. Bahkan mengancam tak jadi sapinya disedekahkan. Ya,  daripada tak ada kurban dan masyarakat yang berhak tak mendapat apa-apa,  lebih baik kan demikian," kata sang takmir sambil mendongakkan dagunya  ke arah rumah Pak Aris.
Kurnia hanya manggut-manggut mengetahui  keanehan warga kampung sebelah yang ternyata super pelit dan  perhitungan. Padahal, di kampung sebelah, warganya tergolong kaya-kaya.  Berbeda dengan kampung Kurnia sendiri yang kadang hewan kurban dari  hasil urunan tiap kepala rumahtangga. Meski pada kenyataannya banyak  yang tidak jujur dalam memperoleh daging yang akan dibagikan. Sehingga,  masjid di kampungnya ditutup warga karena ada oknum yang ingin  memonopoli. Kurnia hanya tersenyum mendengar keanehan dan kelucuan  bersedakah hewan kurban di luar kampungnya.
Yogyakarta, 01 September 2016
Oleh: Junaidi Khab*