Orang-orang masih duduk berkumpul di  teras masjid. Seorang takmir yang juga ikut nimbrung dengan pujian penuh  kebahagiaan bercerita tentang sedekah Pak Aris. Pada mulanya Pak Aris  memang pelit. Tapi, kini ia ingin berkurban pada hari raya kurban. Hanya  Pak Aris satu-satunya warga yang memberikan  sapinya. Selain itu, kadang hanya tiga ekor kambing. Ada yang urunan.  Tapi, Kurnia selalu rutin memberikan kambing ternaknya untuk kurban pada  hari raya.
Di tengah embusan angin perbincangan  sebagian huruf-huruf meniupkan aroma yang membuat Kurnia harus  menanggung malu. Seorang warga selalu memuji Pak Aris dengan hewan  kurbannya yang tak tanggung-tanggung. Dua ekor sapi. Tapi, di tengah  pujian itu, ada kata-kata yang memang sengaja mengejek Kurnia karena  hanya berkurban satu ekor kambing setiap tahun. Itu pun kambing kurus.
Kurnia hidup pas-pasan. Satu tahun,  kadang kambingnya hanya beranak tiga ekor. Paling banyak empat ekor.  Tapi, satu persatu kambing-kambing yang gemuk dijual untuk mencukupi  kebutuhan hidup sehari-hari. Anaknya hanya satu yang masih duduk di  sekolah menengah. Sudah tentu membutuhkan biaya yang lumayan banyak.
Mendekati hari raya kurban, kambing  Kurnia tersisa tiga ekor. Sudah dewasa semua. Dua ekor kambing betina  yang tidak begitu gemuk dan satu pejantan yang gemuk dan besar. Kurnia  lebih memilih memberikan kambing betina untuk kurban di masjid karena  perhitungan finansial keluarganya. Tapi, kata-kata yang memukul hatinya  pun mencederai niat mulianya untuk berkurban di hari raya. Siapa yang  tidak malu jika hewan kurbannya karena kurus dihina? Tentu sakit hati.
"Andaikan aku jadi Si Anu. Aku pasti  memberikan hewan ternak yang terbaik dan gemuk berdaging," kata  seseorang sembari melirik ke arah Kurnia.
"Kamu itu hanya pandai meremehkan, Mas... Gak usah begitu," kata takmir.
"Ya, kan tanggung gitu. Masak orang  disuruh makan tulang? Lihat tuh Si Aris. Dua ekor sapi gemuk-gemuk  pula," kata lelaki setengah baya itu.
"Sudah, lah Mas... Niat baik tidak harus diremehkan. Mas sendiri kan tak pernah kurban pada hari raya," kata takmir masjid.
Raut wajah lelaki itu tampak tak masam  dengan kilah takmir masjid. Ia pun berpaling dan pulang sembari tetap  bicara tentang dua ekor sapi Aris dan kambing Kurnia yang kurus pada  temannnya. Kurnia hanya menundukkan kepala dengan wajah yang tampak  lusuh. Pasi. Seakan tak ada cairan merah yang mengalir di  pembuluh-pembuluh darahnya. Takmir masjid mengerti perasaan Kurnia. Ia  sudah tentu terpukul oleh pembicaraan lelaki tadi.
"Mas Kurnia," tiba-tiba takmir masjid menghampiri Kurnia yang duduk terpaku.
Kurnia hanya mendongak dengan tatapan  nanar. Sementara sang takmir masjid menepuk-nepuk pundak Kurnia. Ia  mengulas seutas senyum.
"Mas tak usah memikirkan omongan jamaah masjid yang tadi."
"Iya, Ustad."
"Lebih baik berkurban daripada tidak sama  sekali. Orang yang hanya membicarakan kelemahan orang lain, itu belum  tentu memiliki niat mulia. Jadi, Mas Kurnia sabar dan mantapkan niat  untuk berkurban secara ikhlas."
"Saya hanya sedih, Ustad. Hidup saya tak sekaya mereka. Hidup saya pas-pasan. Tapi, saya ingin mendapat pahala."
"Begitu. Bagaimana kalau Mas Kurnia nanti  bantu-bantu dalam proses penyembelihan hewan kurban? Saya dengan takmir  masjid yang lain kadang kewalahan saat akan menentukan takaran daging.  Beberapa kali minta bantuan warga tak ada yang datang untuk membantu  kami."
Kurnia pun menyanggupi permintaan mulia  tersebut. Pada mulanya Kurnia tidak memberikan hewan kurban di masjid  kampung lain. Tapi, karena masjid di dekat rumahnya terjadi sengketa dan  persoalan pembagian daging yang dimonopoli orang tertentu, akhirnya  masjid itu ditutup. Lalu, Kurnia mengalihkan hewan kurbannya ke masjid  yang masih kondusif. Di kampung sebelah.
"Sudah lah, Mas. Tak usah bersedih. Yang  penting, kita tetap melaksanakan kurban sebagai ibadah kepada Tuhan,"  kata Iffah, istirnya.
"Hhhh... Iya, Dek. Yakinkan Mas-mu ini  untuk tetap tabah dan sabar dalam memantapkan niat ibadah," kata Kurnia  sembari melegakan rongga dadanya yang terasa terhimpit sejak dari masjid  kampung sebelah.
Gubuknya yang sederhana mengingatkan  kenangan Kurnia pada awal menjalani bahtera rumahtangga bersama Iffah.  Ia hidup sebatang karang setelah ditinggal kedua orangtuanya. Iffah yang  bermata bagaikan permata selalu meneduhkan hatinya. Pahit-manis hidup  dijalani bersama. Suka-duka pun silih berganti dijadikan bumbu kehidupan  rumahtangganya. Hingga berkali-kali ia harus memeras mental jiwanya  untuk dapat menyekolahkan anak gadis satu-satunya yang dicintai. Ia tiap  tahun dihadapkan pada batu sandungan cobaan hidup yang benar-benar  sangat melelakan jiwanya. Jatah bekal sekolah anaknya harus jadi  taruhannya demi niat mulia pada hari raya kurban.
Gema takbir dari masjid mengalun. Kurnia  duduk di atas sajadahnya. Sang penguasa siang sudah bangkit di ufuk  itmur. Pikirannya merencanakan jalan terbaik saat pelaksanaan kurban di  masjid. Ia satu-satu warga lain kampung yang diminta bantuan oleh takmir  masjid setelah warga yang lain tak mau membantu sang takmir.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar..." suara takmir menghampiri Kurnia sembari mengulurkan tangan.
Dengan senyum mengembang, Kurnia pun  merogoh tangan sang takmir dengan jawaban takbir kebahagiaan. Usai salat  id dilaksanakan, hewan kurban pun disembelih. Sebelumnya, mata Kurnia  menyapu halaman masjid. Di sana ada dua ekor sapi besar yang gemuk dan  tiga ekor kambing yang salah satu miliknya. Kurus dibanding dengan dua  ekor kambing lainnya. Ia tetap tersenyum meski hewan kurban darinya tak  seperti empat hewan lain yang gemuk.
"Ayo, warga yang terdaftar ada berapa  jumlahnya biar cepat dibagikan daging-daging ini?" tanya Kurnia dengan  semangat yang membara.
Seorang takmir yang lain menyodorkan buku dengan nama-nama warga yang berhak menerima daging kurban.
"Mas Kurnia, satu sapi ini jangan  dipotong-potong lagi. Ini khusus Mas Aris yang memberikan hewan kurban  dua ekor sapi," kata takmir kenalan Kurnia.
"Eh, kok begitu, Mas?" tanya Kurnia heran.
"Iya, begitu. Ikuti saja. Itu aturan dari Pak Aris."
"Gak boleh, Mas. Daging hewan kurban itu  harus disedekahkan. Orang yang berkurban bukan malah mengambil bagian,"  kata Kurnia yang sedikit paham tentang agama.
"Awalnya saya juga begitu. Tapi Si Dia  tetap ngotot. Bahkan mengancam tak jadi sapinya disedekahkan. Ya,  daripada tak ada kurban dan masyarakat yang berhak tak mendapat apa-apa,  lebih baik kan demikian," kata sang takmir sambil mendongakkan dagunya  ke arah rumah Pak Aris.
Kurnia hanya manggut-manggut mengetahui  keanehan warga kampung sebelah yang ternyata super pelit dan  perhitungan. Padahal, di kampung sebelah, warganya tergolong kaya-kaya.  Berbeda dengan kampung Kurnia sendiri yang kadang hewan kurban dari  hasil urunan tiap kepala rumahtangga. Meski pada kenyataannya banyak  yang tidak jujur dalam memperoleh daging yang akan dibagikan. Sehingga,  masjid di kampungnya ditutup warga karena ada oknum yang ingin  memonopoli. Kurnia hanya tersenyum mendengar keanehan dan kelucuan  bersedakah hewan kurban di luar kampungnya.
Yogyakarta, 01 September 2016
Oleh: Junaidi Khab*
* Cerpenis asal Sumenep, lulusan #Kampus Fiksi DIVA Press Yogyakarta 2016. Bergiat di Komunitas Rudal Yogyakarta.
Tulisan ini pernah tayang di: Suara Merdeka: Minggu, 11 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H