Mohon tunggu...
Junaidi Husin
Junaidi Husin Mohon Tunggu... Guru - Aku menulis karena aku tidak pandai dalam menulis. Juned

Gagasan seorang penulis adalah hal-hal yang menjadi kepeduliannya. John Garder

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tolok Ukur Pendakwah Pilihan Milenial

18 Maret 2024   10:57 Diperbarui: 25 Maret 2024   06:43 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media atau alat komunikasi memang sudah menjadi budaya muslim indonesia dalam menyebarkan kebaikan bagi sesama, seiring dengan semakin muda dan cepatnya pesan itu tersebar tak ayal hal itu menjadi sebuah konten yang viral, kemudian banyak dibaca oleh sepasang mata dan tidak sedikit juga bagi mereka yang membutuhkan pesan itu menjadi bagian dari semangat untuk beribadah dan berbuat lebih baik.

Namun demikian, begitu banyaknya konten yang terdapat di dunia maya itu, bisa saja membingunkan kita sebagai pembaca. Terkadang banyaknya konten yang telah disampaikan oleh seorang ustad ada beberapa konten yang keliru. Bahkan ada saja konten yang lahir dari sebuah emosi (terpancing).

Memang kita sebagai pembaca tentu tidak mengetahui niat awal lahirnya konten tersebut, apakah murni sebagai jalan ibadah bagi mereka untuk menjadi penyampai kebaikan, yakni berita gembira atau ada latar belakang tertentu yang ingin memecah belah umat melalui pandangan mereka dengan mengatasnamakan agama, di atas kelemahan kita sebagai masyarakat awam yang haus akan petunjuk itu. Tentu ini seharusnya menjadi kekhawatiran kita bersama.

Seorang pendakwah dalam hal ini seorang ustadz sebagaimana mudah dicupakan oleh mereka di madrasah. Itu bukan sembarangan gelar yang mudah disematkan, tidak semua orang pantas mendapatkan label itu. Sebut saja penulis tidak berani berkata dan mengakui "bahwa penulis seorang ustad." Walaupun saat ini penulis sebagai guru di bidang agama.

Namun hal ini sudah menjadi kebiasaan, sebab kata ustadzun menurutnya memiliki makna guru atau pengajar. Sehingga itu dikait-kaitkan saja, mungkin niatnya baik untuk menghormati guru tersebut, maka jangan heran bagi guru yang mengajarkan bidang keagamaan, baik itu di madrasah maupun di sekolah lain jika sering dipangil ustadz, sekalipun sebelumnya kita tidak pernah nyantri. Padahal kata ustadzun memiliki makna tidak sesederhana itu, karena tidak sesedarhana itulah sebagian santri jebolan pondok pesantren enggan dipanggil atau digelari ustadz.

Pengajar dalam sebutannya ada beberapa tingkatan istilah yang dapat digunakan di dunia pendidikan misalnya kata Guru biasa digunakan untuk menyapa pengajar di sekolah, istilah lainnya yakni Dosen bagi mereka yang mengajar di lingkungan Perguruan Tinggi. Kedua kata itu memiliki makna yang sama yakni pengajar namun berbeda pada tingkatannya. Begitu juga dengan guru dalam istilah bahasa arab.

Dalam konteks pendidikan Islam banyak sekali kata yang mengacu kepada makna guru, seperti kata Muallim, Murabbi, Mu'addib, Mudarris dan Mursyid. Mu'allim berarti orang yang mengetahui, isim jamaknya adalah Ulama, ini berarti guru yang memiliki keahlian dalam pendidikan yang berkaitan dalam proses melahirkan insan berpengetahuan.

Murabbi lebih berkonsentrasi pada wilayah hati untuk membentuk kepribadian, sikap dan kebiasaan anak didik. Tidak seperti makna Muallim di atas yang lebih banyak ditujukan bagi guru dibidang ilmu pengetahuan yang berfokus pada ilmu akal.

Selanjutnya, guru dengan sebutan Mu'addib, berasal kata dari Ta'dib yang bermakna budi pekerti, itu berarti guru tersebut lebih berkonsentrasi dalam menyiapkan anak didik yang memiliki budi pekerti yang tinggi, tidak hanya membina kecerdasan akal namun juga memupuk jasmani agar menjadi anak didik selain bermoral juga beretika (akhlak).

Kemudian Mudarris juga bermakna guru, namun lebih spesifik kepada guru untuk pelajaran. Ada juga Mursyid, berasal kata irsyada yang memiliki arti memberi petunjuk, secara istilahi berarti guru yang bertanggung jawab memimpin dan membimbing perjalanan murid untuk sampai kepada Allah SWT.

Nah dari beberapa istilah guru yang penulis sebut di atas, itu memiliki wilayah atau tempat serta tugasnya masing-masing. Istilah seperti itu biasanya mudah dijumpai di pondok-pondok pesantren, jadi ia memiliki sebutan tersendiri pada bidang disiplin tertentu. Berbeda dengan kata guru yang disebut dengan Ustadz, memang secara umum isim ini berarti guru, namun sebagaimana penulis singgung di atas ia memiliki makna tidak sesimpel itu, tidak. Tetapi secara umum betul jika kata Ustadz itu di artikan pada makna pengertian dasarnya yakni (guru).

Kata Ustadz, sebagaimana khalayak umum, seperti santri penulis sebut pada pondok yang penulis ajar sebelumnya. Ini sungguh sebutan berupa panggilan yang begitu amat berat dipikul jika melihat dan membandingkan kembali pada makna kata tersebut dengan betapa sedikitnya pengetahuan yang penulis pelajari dan pahami. Sebab sebutan Ustadz merupakan gabungan dari beberapa istilah di atas, sehingga ustadz bisa dibilang "guru yang istimewa", istimewanya adalah ia seorang Muaddib karena mengajarkan berakhlak, juga disebut Mudarris karena mengajarkan pelajaran, juga disebut Muallim yang merubah anak didiknya menjadi lebih tahu. Serta Ustadz juga adalah seorang Murabbi yang berarti pendidik yang sempurna.

Penulis masih ingat betul ketika masih menjadi santri di Ponpes Al-Ittifaqiah, bahkan hal itu penulis dengar kembali pada bangku kuliah. Pada waktu itu sebut saja pak dosen. Ia menjelaskan, "kata Ustadz itu, jika di timur tengah makna kata tersebut lebih sepadan dengan makna 'guru besar" atau Profesor yang kita kenal saat ini." Sebut pak dosen yang pernah menjadi mahasiswa di Al-Azhar Kairo itu. Namun yang lebih tinggi dari sebutan Ustadz dalam makna guru adalah Ulama, Kyai atau Syaikh.

Itulah kata atau istilah guru dalam kontek pendidikan Islam yang dapat penulis uraikan secara singkat, namun jika pembaca ingin memahami lebih lanjut akan istilah tersebut, silahkan baca pada kitab atau kamus santri, bisa juga dicari melalui kolom browser pada laman yang menurut pembaca dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Kita kembali pada permasalahannya, sebagaimana penulis singgung di atas yang menjadi kekhawatiran kita bersama adalah sikap para pendakwah yang jauh dari pada makna Pendakwah itu sendiri. 

Beberapa hari yang lalu, seperti biasa penulis juga memiliki beberapa akun media sosial sebut saja Facebook dan Instagram. Na, pada linimasa FB penulis terlihat sebuah video yang berisi sebuah ceramah agama namun sikap penceramahnya ini yang sangat membuat risih, terlihat emosi, mencemooh, menghina bahkan ada yang sampai memfitnah, tidak sampai disitu isi dari pada ceramahnya adalah mengadu domba membenturkan sesama ummat islam itu sendiri.

Sehingga yang terjadi kubu ustad ini beserta dengan pengikut setianya terprovokasi sampai membenci kubu ustadz lainya. Pada akhirnya hanya membuat kegaduhan dan memecah bela umat. Padahal seorang pendakwah yang dilabeli 'ustadz" seharusnya jauh dari sikap-sikap tercelah itu.

Tentu hal ini akan membuat masyarakat luas kebingungan dalam memilih konten dan ustadz yang bagaimana seharusnya diikuti. Penulis dalam hal ini tidak dapat memberikan sosok ustadz siapa yang harus diikuti dan konten yang bagaimana yang harus dipilih, bukan disini tempatnya. Sikap ini penulis pilih untuk menjaga kehati-hatian agar jangan sampai mereka bahkan penulis sendiri membenarkan ustadz A dan mensalahkan ustadz B. 

Lagipula hal itu sebetulnya tidak disebutkan saja, yang benar itu tampak jelas yang salah/keliru juga begitu, hanya saja kita terkadang kurang pekah. Ditambah lagi sikap kita yang tidak muda terbuka dalam menerima nasihat lain, tentu selanjutnya dianalisa, ditimang atau bila perlu sedikit kepo dengan mencari tahu kebenaran serta penjelasan pendukung pendapat ulama lainya.

Belum lagi di satu sisi, seperti di awal tulisan ini penulis singgung terkait konten yang ada di media sosial, terkadang ustadznya sudah tepat namun ada saja di antara banyaknya konten yang pernah ia upload itu tidak tepat atau keliru. Begitu sebaliknya.

Kendati demikian bukan berarti tidak ada cara dalam menentukan sosok ustadz atau pendakwah yang harus kita ikuti. Penulis pernah membaca sebuah buku Tuhan Ada di Hatimu yang ditulis oleh Habib Ja'far, ia menjelaskan tolak ukur seorang pendakwah itu adalah sikap dan sifat Nabi Muhammad SAW itu sendiri, sebagaimana nasihat Nabi Muhammad ketika hendak mengutus seorang sahabat yang bernama Muadz untuk menjadi seorang ustadz di suatu tempat.

Nabi berkata "wahai Muadz berikanlah kabar gembira dan bukan ketakutan dan permudahlah serta jangan engkau persulit".  Dari ucapan Nabi ini saja kita dengan mudahnya memahami bahwa Islam adalah kabar gembira itu sendiri. Sungguh islam itu sangat indah, lantas bagaimana mungkin dalam menyampaikan berita gembira dengan sifat yang tercelah, seperti, mencemooh, menghina, menakut-nakuti serta mengamcam.

Kemudian pesan kedua Nabi kepada Sahabat Muadz "permudahlah jangan dipersulit". Bagaimana tidak indah Islam ini, bayangkan saja dalam beribadah kepada Allah dalam waktu dan kondisi tertentu umatnya diberikan kemudahan dalam menjalankannya. Seperti ibadah shalat kalau tidak mampu berdiri silahkan dengan duduk, ibadah puasa jika ada uzur yang menghalangi, seperti ibu hamil dan menyusui dan sebab lainya, bisa diganti dengan hari lain dan seterusnya. Jadi sangat aneh kalau ada pendakwah isi ajakannya menyusahkan atau keluar dari pesan Nabi Muhammad di atas.

Selanjutnya, masih menurut Habib Ja'far dalam buku yang sama, jelasnya walaupun ini tidak dipesankan secara langsung oleh Nabi kepada Muadz, bahwa Nabi juga pernah menegaskan dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, yakni agar para pendakwah dalam menyampaikan kabar gembira itu dengan "sikap mempersatukan, bukan mencerai-beraikan." Imbuhnya, bagaimana mungkin Nabi sendiri sebelumnya menyatukan seluruh umat Islam dengan sebutan saudara. Lantas ada pendakwah yang mencerai-beraikan ikatan persaudaraan itu.

Disini penulis juga ingin menambahkan bahwa, ilmu saat ini sudah terdisiplin, sebagaimana kita ketahui pada Perguruan Tinggi umumnya. Maka cari pendapat dari mereka yang mumpuni di bidang itu, seperti jika mencari suatu penjelasan terkait suatu ayat silahkan tanyakan pada ulamat tafsir, masalah ibadah seperti rumah tangga atau pernikahan tanyakan pada ulama fikih, persoalan hati kepada orang yang sufi dan selanjutnya.

Hal ini disarankan agar mendapatkan jawaban yang tepat, bukan berarti kita meragukan keilmuan ulama lainya. Namun ini hanya opsi saja. Sebab dahulu banyak ulama yang fasih, cerdas serta ingatanya kuat dalam memahami beberapa bidang ilmu. Seperti Ibnu Sinna (980-1037) yang dikenal sebagai bapaknya dokter dunia, juga seorang Astronomer serta dikenal seorang filsuf. Kemudian ada Al-Kawarizmi (780-850) ia merupakan seorang ahli Matematika juga Astronomi dan masih banyak lagi ilmuan muslim yang memiliki pengetahuan ganda mumpuni yang sangat mempengaruhi dunia.

Sebagai Muslim yang cerdas, dalam mengikuti pengajian suatu ustadz janganlah menutup hati akan ustadz lainya. Seperti mengikuti ustadz A, lantas apapun pendapat dari ustadz B salah di matanya. Namun di waktu yang lain dengan ucapan yang sama sebagaimana pernah diucapkan ustadz B sebelumnya, kemudian spontan saja pendapat itu dibenarkan karena baru diucapakan oleh ustadz yang saat ini diikutinya. Anehnya terkadang ada saja mereka yang fanatik itu, sudah jelas pendapat ustadz yang ia ikuti itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi malah mendukungnya. Ini jelas keliru atau menyimpang di atas kesengajaan!.

Penulis sendiri yang saat ini sebagai santri dengan amaliah NU tidak menutup mata dan telingah untuk mendengar nasihat para kyai, ulama serta habib lainya. Baik itu di Indonesia maupun di luar Indonesia. Selagi pendakwah tersebut dalam menyampaikan nasihatnya sebagaimana Nabi pesankan, walaupun pendapatnya akan suatu perkara itu berbeda-beda, asalkan perbedaan pendapat itu memang sebelumnya lahir di atas pendapat jumhur ulama seperti Imam Syafi'I, Hambali, Maliki dan Hanafi.

Itu artinya perbedaan itu memang ada dalil atau riwayatnya, sikap kita adalah ikuti saja pendapat Ustadz yang mengambil riwayat atau dalil ulama yang kita cenderungi, seperti halnya penulis cenderung kepada ulama Syafi'iyah, namun penulis tidak perluh mensalahkan pendapat Ustadz dari ulama yang tidak menjadi pilihan penulis. Bahkan penulis sendiri terkadang pada suatu kondisi atau keadaan tertentu terkait suatu ibadah tertentu pula beralih pada pendapat ulama selain Syafi'iyah.

Terkait sikap dan sifat pendakwah yang jauh serta bertentangan dengan pesan Nabi Muhammad SAW di atas, Menurut Habib Ja'far sebagaimana ditegaskan dalam bukunya, "atas nama Nabi Muhammad SAW, silahkan tinggalkan saja dan beralihlah kepada pendakwah yang lainya. Mungkin pesan yang disampaikannya benar namun kita berhak mendengar dan mendapatkannya dari mulut yang baik". Wa Allahu A'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun