Media atau alat komunikasi memang sudah menjadi budaya muslim indonesia dalam menyebarkan kebaikan bagi sesama, seiring dengan semakin muda dan cepatnya pesan itu tersebar tak ayal hal itu menjadi sebuah konten yang viral, kemudian banyak dibaca oleh sepasang mata dan tidak sedikit juga bagi mereka yang membutuhkan pesan itu menjadi bagian dari semangat untuk beribadah dan berbuat lebih baik.
Namun demikian, begitu banyaknya konten yang terdapat di dunia maya itu, bisa saja membingunkan kita sebagai pembaca. Terkadang banyaknya konten yang telah disampaikan oleh seorang ustad ada beberapa konten yang keliru. Bahkan ada saja konten yang lahir dari sebuah emosi (terpancing).
Memang kita sebagai pembaca tentu tidak mengetahui niat awal lahirnya konten tersebut, apakah murni sebagai jalan ibadah bagi mereka untuk menjadi penyampai kebaikan, yakni berita gembira atau ada latar belakang tertentu yang ingin memecah belah umat melalui pandangan mereka dengan mengatasnamakan agama, di atas kelemahan kita sebagai masyarakat awam yang haus akan petunjuk itu. Tentu ini seharusnya menjadi kekhawatiran kita bersama.
Seorang pendakwah dalam hal ini seorang ustadz sebagaimana mudah dicupakan oleh mereka di madrasah. Itu bukan sembarangan gelar yang mudah disematkan, tidak semua orang pantas mendapatkan label itu. Sebut saja penulis tidak berani berkata dan mengakui "bahwa penulis seorang ustad." Walaupun saat ini penulis sebagai guru di bidang agama.
Namun hal ini sudah menjadi kebiasaan, sebab kata ustadzun menurutnya memiliki makna guru atau pengajar. Sehingga itu dikait-kaitkan saja, mungkin niatnya baik untuk menghormati guru tersebut, maka jangan heran bagi guru yang mengajarkan bidang keagamaan, baik itu di madrasah maupun di sekolah lain jika sering dipangil ustadz, sekalipun sebelumnya kita tidak pernah nyantri. Padahal kata ustadzun memiliki makna tidak sesederhana itu, karena tidak sesedarhana itulah sebagian santri jebolan pondok pesantren enggan dipanggil atau digelari ustadz.
Pengajar dalam sebutannya ada beberapa tingkatan istilah yang dapat digunakan di dunia pendidikan misalnya kata Guru biasa digunakan untuk menyapa pengajar di sekolah, istilah lainnya yakni Dosen bagi mereka yang mengajar di lingkungan Perguruan Tinggi. Kedua kata itu memiliki makna yang sama yakni pengajar namun berbeda pada tingkatannya. Begitu juga dengan guru dalam istilah bahasa arab.
Dalam konteks pendidikan Islam banyak sekali kata yang mengacu kepada makna guru, seperti kata Muallim, Murabbi, Mu'addib, Mudarris dan Mursyid. Mu'allim berarti orang yang mengetahui, isim jamaknya adalah Ulama, ini berarti guru yang memiliki keahlian dalam pendidikan yang berkaitan dalam proses melahirkan insan berpengetahuan.
Murabbi lebih berkonsentrasi pada wilayah hati untuk membentuk kepribadian, sikap dan kebiasaan anak didik. Tidak seperti makna Muallim di atas yang lebih banyak ditujukan bagi guru dibidang ilmu pengetahuan yang berfokus pada ilmu akal.
Selanjutnya, guru dengan sebutan Mu'addib, berasal kata dari Ta'dib yang bermakna budi pekerti, itu berarti guru tersebut lebih berkonsentrasi dalam menyiapkan anak didik yang memiliki budi pekerti yang tinggi, tidak hanya membina kecerdasan akal namun juga memupuk jasmani agar menjadi anak didik selain bermoral juga beretika (akhlak).
Kemudian Mudarris juga bermakna guru, namun lebih spesifik kepada guru untuk pelajaran. Ada juga Mursyid, berasal kata irsyada yang memiliki arti memberi petunjuk, secara istilahi berarti guru yang bertanggung jawab memimpin dan membimbing perjalanan murid untuk sampai kepada Allah SWT.