Mohon tunggu...
Juna Hemadevi
Juna Hemadevi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Seorang manusia yang masih terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Siapa yang Tahu?

9 November 2022   12:00 Diperbarui: 9 November 2022   12:04 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dering alarm berbunyi

Pagiku sudah siap, tapi aku masih membenamkan wajahku dalam selimut karena sinar matahari sudah menembus jendela kamarku. Aku malas memulai hari. Tapi...

"Kadam, bangun nak. Hari ini masuk sekolah baru. Mama sudah siapkan sarapan untukmu. Mama berangkat kerja dulu." Suara mamaku sangat keras, sampai terdengar di lantai dua kamarku.

Dan akhirnya aku teringat... "Oh iya, ini kan hari aku pertama masuk sekolah. Aku lupa, biasanya kan aku sekolah di rumah. Ah, dasar pelupa." Ucapku sambil membereskan selimut dan bantal. Dengan sergap aku mengambil handuk dan langsung mandi. Kebetulan sekolahku dekat, jadi aku cukup mengayuh sepedaku. Meski papaku bisa mengantarku, tapi aku lebih memilih mengayuh sepeda ini. Kebetulan papaku sedang menjenguk nenekku yang sedang sakit, jadi ia tidak bisa menemaniku ke sekolah baru.

SMA Arya Magha, inilah sekolah baruku. Sekolah Buddhis yang paling terkenal di kotaku, tapi tidak semua siswanya beragama Buddha, mereka ada juga yang beragama Kristen, Islam, dan Hindu. Dan sekolah ini terkenal dengan toleransi yang tinggi. Meski berbeda kepercayaan, setiap guru dan siswa saling menghormati. Jadi, aku bersyukur berada di sekolah ini, meski ini hari pertama masuk sekolah, aku percaya, aku akan baik-baik saja di sini. Tanpa berlama lagi, aku langsung menuju ruang kepala sekolah dan aku diantar sampai kelasku.

"Selamat pagi semua. Namaku Kadam." Ucapku dengan penuh semangat, karena ini hari bahagia. Hari di mana aku benar-benar belajar di sekolah yang nyata, karena sebelumnya aku hanya homeschooling saja.

"Pagi, Kadam." Jawab teman-temanku kelas X dengan serentak.

"Silakan Kadam duduk di bangku sebelah Neima." Pinta Miss Vera sambil menunjukkan bangku yang dimaksud.

Aku segera duduk di sebelahnya, tetapi Neima hanya tersenyum padaku, dan pelajaran dimulai dengan penuh semangat. Miss Vera mulai menjelaskan tentang apa itu ketidakkekalan. Sepertinya tidak hanya kami yang belajar, tetapi riuh kicau burung di salah satu pohon di depan kelas juga ikut mendengarkan pelajaran hari ini.

Mana pula langit yang cerah berganti agak hitam sekarang, tandanya hujan akan segera mengeroyok bangunan, pohon, kendaraan, dan orang-orang di luar sana. Peristiwa alam seperti ini yang belum terpecahkan, langit bisa berubah-ubah sesuai kondisi alam, bisa tiba-tiba hujan, bisa juga tiba-tiba cerah, tapi aku dan teman-teman tetap bersemangat mengikuti kelas agama Buddha bersama Miss Vera. 

"Hari ini kita akan belajar tentang bab ketidakkekalan. Ada yang bisa memberi penjelasan apa itu arti ketidakkekalan dan contohnya?" tanya Miss Vera pada kami.

Aku langsung mengangkat tangan kananku dan segera berdiri.

"Ketidakkekalan atau biasa disebut anicca, itu adalah salah satu ajaran Buddha, Miss. Segala hal yang ada di bumi ini, bahkan galaksi kita tidak kekal. Suatu saat akan musnah. Diri kita juga tidak selamanya akan hidup. Kita bisa meninggal kapan saja. Bahkan diri kita saat ini dengan diri kita lima detik yang lalu adalah berbeda. Contoh yang lebih ringan adalah lilin. Lilin tidak akan terus menyala, ia bisa padam sewaktu-waktu, entah karena tertiup angin atau memang sumbunya sudah habis," jawabku.

"Wah, penjelasan yang sangat bagus, Kadam. Ada yang mau memberi pendapat lagi?"

Neima yang dari tadi hanya dia saja kini mulai menampakkan suaranya, ia segera mengangkat tangan dan berdiri.

"Saya mau melanjutkan dari pendapat Kadam, Miss. Ketidakkekalan itu seperti sesuatu yang kita tahu, tapi sebenarnya tidak pernah kita tahu. Kita tahu akan meninggal, tapi tidak tahu kapan waktunya. Kita tahu lilin akan padam, tapi kita tidak tahu kapan waktunya. Yang bisa kita lakukan untuk menghadapi ketidakkekalan adalah berbuat baik, menyucikan hati dan pikiran, serta mengurangi kejahatan, begitulah ajaran para Buddha."

Tepuk tangan riuh setelah Neima memberikan pendapatnya tentang ketidakkekalan. Jawabannya memang bagus. Aku pun sampai tidak kepikiran.

Sayangnya, suara bel tanda istirahat sudah berbunyi, dan Miss Vera segera mengakhiri kelas pagi ini.

"Kita lanjutkan pelajaran ketidakkekalan minggu depan ya, Nak. Miss ada satu tugas untuk kalian, buatlah satu cerita pendek dengan tema ketidakkekalan. Minggu depan kita bahas bersama dan nanti tiga cerpen terpilih akan diterbitkan pada majalah mingguan sekolah." Miss Vera mengakhiri kelas dengan senyuman yang mencurigakan, atau ini hanya perasaanku saja. Sudahlah, lagi pula aku bukan peramal yang bisa mengetahui pikiran dan perasaan orang lain.

*

Hari semakin terik di sekolah, matahari selepas hujan tadi pagi membuat keringatku bercucuran. Beruntung aku membawa seragam cadangan, jadi aku bisa segera ganti baju dan tidak membuat teman-temanku pingsan karena keringatku, hahahaha ucapku sambil tertawa dalam hati.

Saat aku keluar dari kamar mandi, aku berpapasan dengan Neima. Seragamnya berlumuran lumpur dan wajahnya sedikit pucat. "Hei, kamu kenapa Neima?" Tanyaku sambil memegang pundaknya. Tapi Neima hanya diam saja, tidak ada satu patah kata yang muncul dari bibirnya yang mulai memutih. Tatapannya kosong, aku heran dengannya.

Tanpa berlama-lama, Neima masuk kamar mandi dan ia segera menghidupkan keran. Suara air yang menghantam dirinya menandakan ia sedang membersihkan dirinya. Aku tidak langsung pergi ke kelas, aku bersikeras untuk menunggu Neima, aku harus tahu apa yang sedang terjadi dengannya. Aku sengaja tidak bersuara agar Neima tidak curiga kalau aku masih di kamar mandi. Kini suara keran sudah tidak ada. Tapi Neima tidak kunjung keluar dari kamar mandi. 10 menit sudah aku menunggunya, tapi ia tidak keluar juga. Kini sudah 30 menit, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu itu.

Tok tok tok "Neima, kamu tidak apa? Keluarlah! Apa kamu baik-baik saja?" Tetapi Neima tetap diam, tidak ada satu suara pun di kamar mandi itu, hening. Teman-teman yang lain pun sudah masuk kelas.

*

"Siapkan alat tulis kalian dan ulangan kimia akan segera kita mulai." Suruh Mr. Anton, guru kimia dengan watak yang dingin dan perawakan yang cukup menakutkan. Seluruh siswa dan siswi SMA Arya Margha tidak ada yang berani menolak perintahnya.

Hema mengangkat tangannya, "Mr. Anton, tapi Neima dan Kadam belum masuk kelas."

"Siapa Kadam?" Tanya Mr. Anton.

"Siswi baru, Mr." Jawab Gala.

"Kemana mereka?" Tanya Mr. Anton dengan nada agak marah.

"Tidak tahu, Mr." Jawab Gala.

Aku panik, sudah 45 menit Neima tidak keluar juga dari kamar mandi. Aku juga mencium bau amis, aku tidak ingin berpikiran aneh-aneh. Aku segera berlari ke kelas. Aku mengetuk pintu kelas sambil membungkukkan badan dan satu tanganku memegang dinding. Nafasku tersengal-sengal. Mr. Anton yang semula ingin marah padaku, tiba-tiba amarahnya reda, karena ia melihatku dengan sangat aneh, keringat juga membasahi pipiku. Mr. Anton penasaran dengan apa yang terjadi lalu beranjak dari tempat duduknya dan menghampiriku, "Kadam, ada apa?" Tanya Mr. Anton sembari membantuku berdiri.

"Neima, Mr. Neima.. Neima." Nafasku masih belum teratur, jantungku makin berdebar kencang, aku berucap sambil menunjuk kamar mandi yang jaraknya 40 meter dari kelasku.

"Ada apa dengan Neima? Kenapa kamu seperti orang ketakutan begini?"

"Kamar mandi, Mr. Kamar mandi." Jawabku dengan nada terpatah-patah.

Dengan sigap Mr. Anton langsung menuju kamar mandi perempuan. Beberapa siswa dan siswi juga membututinya. Mr. Anton kemudian mendobrak kamar mandi.

"Tidak...." Nela berteriak dan jatuh pingsan setelah pintu itu terbuka. Dua siswi lainnya membawa Nela ke UKS.

Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Baru saja tadi pagi aku berkenalan dengan Neima. Siang ini aku melihatnya sudah tidak bernapas lagi. Wajahnya lebih pucat dari yang aku lihat tadi. Darah mengalir dari lehernya. Ia tergeletak di lantai dengan pisau di tangan kirinya. Tubuhnya basah, tapi kotoran lumpur masih membekas di seragam yang ia kenakan. Miss Vera yang kebetulan lewat depan kamar mandi dan mengetahui apa yang sedang terjadi sontak memanggil ambulance. Setelah 5 menit kemudian Mr. Anton dibantu beberapa guru lainnya memindahkan jenazah Neima ke dalam ambulance.

Kejadian ini sempat menggemparkan satu sekolah. Aku pun bingung, sehari setelah kematian Neima aku  mengunjungi salah satu guru Bimbingan Konseling di sekolah.

"Permisi. Pagi, Miss Ajeng." Ucapku dengan nada sedang sembari mengetuk pintu ruangan guru BP.

"Iya, silakan masuk, Kadam. Silakan duduk." Jawab Miss Ajeng sambil tersenyum dengan kedua tangannya yang sedang sibuk membenahi puluhan lembar kertas ke sebuah stopmap.

"Miss, saya mau curhat. Rasanya ada yang aneh dengan kematian Neima."

"Miss juga turut prihatin, pasalnya Neima meninggal dengan membunuh dirinya sendiri. Entah karma apa yang membuat ia seperti ini. Polisi juga sampai beberapa hari ke depan masih menyegel kamar mandi. Dokter juga sedang melakukan visum, karena polisi kemarin menemukan luka lebam di jari dan punggung Neima." Miss Ajeng juga begitu terpukul dengan kepergian Neima.

"Oh iya Miss. Neima itu anak yang gimana ya, maksudnya sifatnya begitu?" Tanyaku mulai penasaran.

"Sebenarnya semua guru di sini tidak ada yang tahu menahu dengan Neima, termasuk Miss sendiri. Yang Miss tahu hanya ia siswi yang pendiam. Dia juga tidak punya masalah selama di sekolah. Intinya Neima itu siswi yang tertutup."

Beberapa detik belum sempat aku membalas ucapan Miss Ajeng, tiba-tiba Miss Ajeng membuka laci mejanya dan mengeluarkan satu buku berwarna hijau. Ada nama Neima di sana.

"Miss hampir lupa, ada buku diary Neima. Kan di pelajaran BP Miss selalu menyuruh anak-anak untuk menuliskan apa saja kesulitan dan kendala mereka dalam belajar selama ini. Setiap seminggu sekali selalu Miss baca. Tapi, punya Neima belum sempat Miss baca."

"Coba Miss buka dan baca, siapa tahu ada jawaban kenapa Neima begitu pendiam dan sampai-sampai ia meninggal dengan cara yang tidak baik." Pintaku dengan rasa memohon, aku begitu kehilangan Neima, meski baru sebentar.

**

Hingga satu tahun aku belajar di SMA ini, misteri kematian Neima belum juga terungkap, aku takut. Aku juga tidak bisa menaruh kecurigaan pada sembarang orang. Pada intinya jangan sampai dalam waktu dekat ada kejadian yang sama seperti yang Neima alami. 

Bunyi bel pulang sekolah

"Akhirnya, pulang juga." Ucapku bahagia sambil menaruh buku ke dalam tasku.

"Hahaha, iya, Kadam. Next week jangan lupa ngerjain tugas bareng ya." Ajak Gala. Sekarang aku duduk di samping Gala semenjak kepergian Neima.

"Hati-hati Ya, Gal. Aku pulang duluan."

"Iya, hati-hati juga, Kadam."

Aku hanya menjawab dengan senyuman dan segera pergi mengambil sepedaku. Rasanya aku ingin segera pulang. Aku kayuh pedal sepedaku dengan sekuat tenaga, jarak 1 km dari sekolah aku melihat kerumunan orang di jalan raya. Kerumunan itu membuatku penasaran, aku memarkir sepedaku di tepi jalan dan berjalan dengan perlahan untuk melihat ada apa di sana. 

"Ada apa, Pak?" Tanyaku pada salah satu warga.

"Ada kecelakaan neng, anak sekolah ditabrak lari sama mobil."

Aku langsung melihat jasad itu, air mataku tak terbendung. Belum usai permasalahan temanku, kini timbul satu masalah lagi. Gala, semoga kamu bahagia di alam sana. Aku semakin merenung, siapa yang tahu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun