Pendidikan yang berorientasi praktis dan pragmatis tampak dengan jelas dari orientasi yang dikembangkan. Isu pendidikan lebih banyak terkait dengan lapangan pekerjaan. Kemudian, muncullah konsep-konsep yang terkait dengan lulusan siap pakai, siap kerja, siap latih, dan sejenisnya.Â
Selain itu, orang mengukur hasil pendidikan dengan ukuran-ukuran yang sederhana, seperti misalnya berapa lama kuliah dapat diselesaikan, berapa indeks prestasi yang dapat dicapai, berapaa NEM, dan sejenisnya.Â
Pendidikan disebut berhasil jika lulusannya cepat di terima dilapangan kerja, dan bergaji tinggi. Padahal, bukankah ukuran-ukuran seperti ini, sesungguhnya adalah jauh dari konsep yang lebih luhur, misalnya agar bertaqwa, beriman, berbudi luhur, berpengetahuan luas, terampil, dan seterusnya.Â
Oleh karenanya, jika ukuran-ukuran yang selama ini dikembangkan masih bersifat sederhana seperti yang disebutkan, maka maka pendidikan belum menyentuh aspek yang lebih substansi atau yang lebih bersifat hakiki.
Manusia Seutuhnya
Konsep manusia seutuhnya pernah dijadikan jargon pembangunan. Misalnya pendidikan, yang harus mampu mengantarkan anak manusia menjadi manusia seutuhnya. Begitu pula pembangunan nasional diarahkan agar mampu meningkatkan kualitas manusia seutuhnya. Tetapi, yang patut dipertanyakkan adalah, apakah yang dimaksud dengan manusia seutuhnya itu. Benarkan konsep itu telah dipahami sepenuhnya?
Manusia utuh berarti parsial, frakmental, apalagi split personality. Utuh artinya lengkap meliputi semua hal yang ada pada diri manusia. Manusia memerlukan pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, akal dan juga pengembangan keterampila. Manusia membutuhkan saluran pengembangan intelektualnya agar memiliki kepintaran dan kecerdasan.Â
Manusia membutuhkan jasmani yang sehat, oleh karena itu, diperlukan gizi, olahraga, dan zat lain untuk menyegarkan tubuh. Selain itu, manusia juga memerlukan pemenuhan kebutuhan spiritual, yakni berkomunikasi atau berdialog dengan Dzat yang Maha Kuasa.Â
Manusia memerlukan keindahan atau estetika. Lebih dari itu semua, manusia juga memerlukan penguasaan keterampilan tertentu agar ia dapat berkarya baik untuk memenuhi kepentingan diri maupun orang lain.
Semua kebutuhan itu harus dapat dipenuhi secara seimbang. Tidak dapat sebagian saja dipenuhi dengan meninggalkan kebutuhan yang lain. Orang tidak cukup hanya sekadar cerdas dan terampil, tetapi dangkap spiritualitasnya. Begitu pula sebaliknya, tidak cukup seseorang memiliki kedalaman spiritual, tetapi tidak memiliki kecerdasan dan keterampilan. Dengan demikian, istilah manusia yang utuh ialah manusia yang dapat mengembangkan berbagai potensi positif yang ada pada dirinya.
Ketika pemahaman terhadap manusia seutuhnya seperti itu yang dijadikan pegangan maka pendidikan harus mengembangkan berbagai aspek. Pendidikan tidak dibolehkan hanya mengembangkan satu aspek, namun melupakan aspek lainnya.Â