Mari belajar dari larinya keadaan dimana kader memilih ke harokah lain karena ketidaknyamanan, ketidakayoman para pengurusnya.
Mari belajar dari kondisi dimana kader yang memilih untuk mundur tanpa berita, berhenti dari peredaran yang katanya kumpulan para perindu surga.
Mari belajar dari qiyadah yang pergi tanpa mengingat prioritas tanggungjawab karena ketidakharmonisan para partner membersamainya.
Dan mari belajar dari mereka yang pasca kepengurusan tak merindukan perjuangan ini, yang jangankan merindu mengingatnya saja pun tak mau.
Karena ego, emosi, tendensi ketidaknyamanan bisa jadi membuat kita tak bersama meraih surga, justru malah menyesatkan karena menurut hawa nafsu amarah. Dan bisa jadi karena hal krusial inilah yang menjadi asbab dari pepatahÂ
"berteman akrab didunia, dan bermusuhan diakhirat"Â Â
dan jika dispesifikasi lagi pada ayat berikut:Â
"Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya (yakni: sangat menyesal), seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku." Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia." (QS. Al-Furqan: 27-29).
Tulisan ini bagian dari efek keresahan dengan  kondisi yang ada. Diharapkan berhujung kepada cinta akan Allah, Rasulullah dan dakwah. Sehingga dapat menjadikan pengingat untuk saya, dan pembaca semata-mata karena rasa cinta dan mengharap ridhoNya dan memperbaiki apa yang semestinya untuk diperbaiki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H