Tidak ada suasana qurota a'yun. Tidak ada kesejukan dalam rumah tangga. Tidak ada ukhuwah disana, adanya api ketemu api. Tidak ada yang bisa berpikir rasional.
Mari kita mengevaluasi perjalanan organisasi ini, perjalanan dakwah ini, perjalanan rumah ini, perjalanan keluarga ini.Â
Bagaimana kader instansi ini, setelah semua penerapan emosional itu terimplementasi ? Akankah ia langgeng hingga menjadi alumni ? Akankah ia merindukan rumahnya yang sakinah?
Atau jangan-jangan kenangan pahit yang terekam hanya karena kita menyikapi teknis prosedural dengan ego, dengan emosional? Dengan kata-kata kasar ? Justru menjadi rumah yang enggan untuk dirindukan, apalagi diulangi.
Saya hanya ingin merefleksikan untuk kembali pada panutan kita, bagaimana Ia (Rasulullah SAW) sabar berdakwah secara sembunyi-sembunyi 13 tahun lamanya, kemudian  sosok syekh Hasan Al Banna menjadikan partner berjuangnya melebihi seorang saudara, saling memahami, saling menanggung beban, bahkan saling mendahulukan kepentingan saudaranya sebagaimana rasul dan sahabatnya.
Lalu kita ? Jangankan menanggung beban, bahkan kita tidak mengerti kondisi kader dakwah lain. Baru belajarkah ia ? Sudah fahamkah ia dalam menjalankan tugasnya? Sudah terpenuhikah kebutuhan dari supporting systemnya dalam dakwahnya. Jangan-jangan kostnya saja letaknya tidak tau, jangan-jangan kader sekitar kita tidak kita ketahui bahwa dia adalah orang yang tidak mampu. Yang hanya menuntut antum/na kader, atau antum/na qiyadah jadi harus faham, harus perfeksionis.
Kemudian pertanyaan saya, apakah seorang qiyadah tidak pantas mendapatkan perlakuan sebagai suatu kelompok yang berukhuwah ? Mengapa tidak tidak kita terapkan kepada semuanya ? Apakah semua qiyadah sama pemahamannya ? Dan yang terakhir, apakah hanya Jundi yang dapat diperlakukan value ukhuwah?
Jika pembaca mengatakan bahwa, iya hanya Jundi saja. Qiyadah tidak perlu, qiyadah harus menanggung faham segalanya, tidak perlu ditunaikan ukhuwah untuknya. Bahwa qiyadah haruslah menanggung semua beban. Bahwa qiyadah haruslah dikerasi, ditegasi.Â
Lalu, mereka batu ? Tidak layak untuk dimanusiakan ? Letak kecelakaan berpikir, pola pikir semacam yang telah saya tuliskan diatas harus diubah.Â
Jika labelingnya Aktivis Dakwah kampus, ya layak untuk dimanusiakan. Tak memandang qiyadah ataupun Jundi. Mengapa kita tidak keras kepada mereka yang terang-terangan memusuhi kita ? Mengapa kita malah sebaliknya, yang keras kepada saudara, dan lembut kepada musuh ? Kita bukanlah preman di internal dakwah. Dan hello Kitty didepan musuh, yang terang-terangan menolak dakwah yang notabenenya yang dipikul adalah kebenaran yang berlandaskan  Allah dan RasulNya kita berjuang. Mengapa takut ? Tidak keras dan cenderung untuk meditasi. Kalaupu  tidak keras, jika bermeditasi dengan musuh kita bisa, kenapa dengan sesama kader tidak mengambil islah?
Adab sesama kader yang hilang apalagi ditataran qiyadah sudah semestinya kita recovery untuk kebaikan dakwah. Tidak ada yang merasa lebih baik. Setiap ADK berproses, justru seharusnya husnudzon-nya kita dalam konteks sama-sama belajar, bukan husnudzon dalam hal superior dari label qiyadah, yang harus dituntut untuk bisa, paham segala hal, hebat, dll.