Sekretaris daerah (Sekda) merupakan jabatan penting dan strategis dalam sebuah pemerintahan di daerah, baik untuk level kabupaten, kota, maupun provinsi.
Tidak aneh kalau jabatan ini menjadi incaran bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) - sebelumnya biasa dikenal dengan sebutan Pegawai Negeri Sipil (PNS) - yang berkarier di lingkungan pemerintahan daerah.
Sekda Jabatan Karier, Bukan Politik
Sayangnya jabatan Sekda ini sering sekali dikaitkan dengan kepentingan politik. Bahkan, tidak jarang para politikus ikut bermain dalam menentukan calon sekda.
Mereka melakukan lobi-lobi politik demi melampiaskan syahwat politiknya untuk kepentingan partai yang diusungnya. Dalam posisi ini terkadang posisi ASN yang digadang-gadang oleh politikus sebagai kandidat Sekda menjadi tidak nyaman dan serba salah. Bahkan, tidak jarang ada juga ASN yang akhirnya ikut terjebak dan terjerumus dalam permainan kotor yaitu jual-beli jabatan.
Seperti dilansir dari laman tempo.co (30-01-2017), menurut Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi, jual-beli jabatan marak terjadi untuk jabatan kepala sekolah baik SD maupun SMP.Â
Selain itu, di tingkat pemerintahan daerah, pada jabatan sekretaris daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Ia menuturkan praktik jual-beli jabatan untuk tingkat sekretaris daerah mencapai Rp 1 miliar. sedangkan kepala SKPD antara Rp 200-400 juta, tergantung dari basah keringnya.
Tidak heran kalau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengungkap kasus jual-beli jabatan di lingkungan pemerintahan daerah. Beberapa kasus yang merebak dan terungkap di antaranya adalah kasus dugaan Praktik jual beli jabatan di Kudus dan Cirebon. KPK periksa Sekda dan sejumlah ASN Kudus terkait dugaan praktik jual beli jabatan yang melibatkan mantan Bupati Kudus HM Tamzil (sumber: detik.com 29-07-2019).
Tahun sebelumnya, ditempat berbeda penyidik KPK memanggil Sekda Cirebon Rahmat Sutrisno untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap terkait praktik jual beli jabatan di lingkungan Pemkab Cirebon dengan tersangka Bupati Cirebon nonaktif, Sunjaya Purwadisastra (sumber: kumparan.com 5-11-2018) .
Menurut pandangan dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Siti Zunariyah, alasan mengapa praktik jual beli jabatan masih langgeng sampai saat ini karena adanya konsep berpikir dan bertindak pragmatis berkaitan dengan mekanisme rekruitmen dan pencalonan pejabat yang cenderung bersifat administratif dan prosedural sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk meraih jabatan tersebut.
"Belum ada alat ukur yang tepat juga untuk menilai kelayakan seseorang untuk menjadi pejabat," ujar Siti saat dihubungi Kompas.com secara terpisah (sumber: kompas.com 29-07-2019).
Sudah saatnya para politikus mengerti peran ASN dalam pemerintahan dan tidak melibatkan mereka dalam permainan politik. Biarkan ASN bekerja secara profesional dalam mengelola pemerintahan, sehingga mereka bisa menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara maksimal. Karier ASN bukan ditentukan oleh kaum politikus, tetapi ditentukan oleh ilmu pengetahuan dan kinerjanya di lapangan. Sudah ada aturan yang jelas mengenai jenjang karier seorang ASN yang tertuang dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No.5 tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN), jelas sekali bahwa ASN itu bukan jabatan politik, melainkan sebuah profesi dan merupakan jabatan karier. Dalam UU tersebut, pada Bab I, Pasal 1, Ayat 1 berbunyi: "Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah".
Sementara itu masih dalam undang-undang yang sama, dalam Pasal 3 dijelaskan, ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip sebagai berikut: a. nilai dasar; b. kode etik dan kode perilaku; c. komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik; d. kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; e. kualifikasi akademik; f. jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas; dan g. profesionalitas jabatan.
Lalu dijelaskan lebih detail dalam Pasal 4 dijelaskan, Nilai dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi: a. memegang teguh ideologi Pancasila; b. setia dan mempertahankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta pemerintahan yang sah; c. mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia; d. menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak; e. membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian; f. menciptakan lingkungan kerja yang nondiskriminatif; g. memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur; h. mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada publik; i. memiliki kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan program pemerintah; j. memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, dan santun; k. mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi; l. menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerja sama; m. mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja pegawai; n. mendorong kesetaraan dalam pekerjaan; dan o. meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan yang demokratis sebagai perangkat sistem karier.
Hal tersebut diperkuat dengan bunyi UU RI No. 5 tahun 2004 tentang ASN pada Bab III, Pasal 9, Ayat 1 dan 2 yang berbunyi: (1) Pegawai ASN melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan Instansi Pemerintah, dan; (2) Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Juga adanya dan Peraturan pemerintah (PP) No 11 tahun 2017 tentang manajemen pegawai negeri sipil (PNS) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan pada sistem prestasi dan sistem karier. Penilaian dilakukan berdasarkan perencanaan kinerja pada tingkat individu dengan memperhatikan target, capaian, hasil, dan manfaat yang dicapai, serta prilaku PNS.
Urusan pengembangan karier seorang ANS jelas tergantung dari upayanya sendiri dalam mengoptimalkan kemampuanya dengan bekerja secara profesional dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Tolak ukurnya sangat jelas, serta tercatat dalam undang-undang dan peraturan pemerintah seperti telah dijelaskan di atas.
Jika terjadi pelanggaran dalam menerapkan aturan tersebut tentu saja sudah ada konsekuensinya yaitu berupa hukuman, mulai dari hukuman disiplin ringan berupa teguran lisan; teguran tertulis; dan pernyataan tidak puas secara tertulis. Lalu hukuman displin sedang berupa penundaaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun; penundaaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; penurunan pangkat seingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun. Terakhir adalah hukuman disiplin berat berupa penuruan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; pembebasan dari jabatan; pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
Lelang Jabatan Sekda
Sekda adalah Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP). Seorang ANS yang ingin menduduki jabatan ini harus mengikuti seleksi terbuka (lelang) yang diadakan oleh panitia pemerintah daerah setempat. Setiap daerah punya kriteria sendiri dalam menentukan kriteria calon yang akan menduduki posisi tersebut. Namun, syarat yang dibuat tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan undang-undang atau peraturan pemerintah.
Adapun dasar hukum kebijakan Jabatan Pimpinan Tinggi melalui seleksi terbuka tercantum dalam: (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yaitu: Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118 dan Pasal 120; (2) Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yaitu: Pasal 205, Pasal 208, Pasal 233, Pasal 234 dan Pasal 235; (3) UU No.10 Tahun 2015 Pasal 71 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang; dan Peraturan Menteri PANRB Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Melalui Seleksi Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah (sumber: https: kasn.go.id).
Semua proses dan tahapan pengisian JPTP termasuk Sekda akan mendapat pengawasan langsung dari KASN. Wewenang KASN dalam seleksi tersebut mulai dari pembentukan panitia seleksi, pengumuman jabatan yang lowong, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan calon, sampai pelantikan JPTP.
Sepanjang tidak bertentang dengan dasar hukum di atas, pemerintah daerah berhak membentuk Panitia Seleksi (Pansel) JPTP sekda secara terbuka. Panitia selanjutnya akan mengumumkannya melalui website resmi pemerintah setempat, misalnya pada pemilihan Sekda Kabupeten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur melalui website Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BPPKP) Bojonegoro. Sementara itu Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) saat melakukan seleksi pemilihan Sekda Jabar dilakukan melalui Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Jabar.
Hendaknya masyarakat umum juga paham terhadap mekanisme seleksi pemilihan Sekda di daerahnya masing-masing. Jangan sampai ada pemaksaan kehendak dari kelompok atau golongan tertentu terhadap salah satu calon Sekda dengan alasan kesukuan, ras, agama, atau golongan/kelompok. Pemilihan dan penetapan seorang Sekda harus netral dari kepentingan pribadi dan golongan, tetapi lebih kepada profesionalisme yang berpijak pada kinerja dengan mengacu kepada undang-undang dan peraturan yang berlaku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI