Â
Sejumlah media nasional dihebohkan dengan pemberitaan penemuan hampir 6.000 ton beras busuk di gudang Bulog OKU Sumsel. Dikutip dari halaman republika.com, Tim Sergap (serap gabah petani) Mabes TNI dalam pemeriksaan yang langsung didampingi oleh Dandim 0403 mendapati ada ribuan ton beras rusak dan bahkan sudah berbau busuk di lokasi gudang tersebut.
Versi Bulog
Secara resmi Bulog memberikan pers release yang menyatakan bahwa beras busuk di Bulog Divre Sumsel dan Babel merupakan beras turun mutu yang tidak untuk disalurkan. Beras tersebut merupakan hasil pengadaan dalam negeri yang berusia lebih dari satu tahun dan perlu disortasi.
Pengadaan yang cukup besar dan tidak diimbangi dengan penyaluran, mengakibatkan terjadinya penumpukan stok beras di gudang Bulog. Selain itu, kebijakan pemerintah yang terus mengurangi pagu Rastra setiap tahun secara bertahap ke Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) yang tidak mewajibkan komoditasnya (beras) berasal dari Bulog, ikut mempengaruhi perputaran barang.
Pernyataan senada diperkuat Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Tri Wahyudi Saleh yang mengatakan bahwa kesulitan penyaluran disebabkan karena saat ini, pemerintah mengalihkan sebagian besar bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra) menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT).
"Kalau BULOG sudah membeli untuk kemudian disimpan di gudang Bulog, untuk apa kalau tidak disalurkan. Makanya Pak Buwas (Dirut Bulog Budi Waseso) sedang sibuk mencari pasar di luar negeri untuk ekspor. Apakah bisa diterima dari sana atau tidak nanti kita lihat kualitasnya," kata dia di menara Kadin, Jakarta, Kamis 14 Februari 2019.
Ia juga menggaris bawahi bahwa penugasan penyerapan beras petani dari Kementerian Pertanian yang terus dimintakan hingga saat ini, tidak akan ada gunanya jika hal tersebut tidak dapat disalurkan dan hanya menumpuk di gudang Bulog.
Lalu yang jadi pertanyaan sekarang adalah apa itu sebenarnya BPNT? lalu mengapa BPNT menimbulkan efek Domino terhadap beras di gudang Bulog?
Oleh karena itulah, tulisan ini akan mengulas apakah ada keterkaitan antara BPNT dengan busuknya beras di gudang BULOG, serta melihat pemahaman pihak Kementerian terkait selaku pengelola terhadap program BPNT.
Sewaktu BPNT pertama kali diwacanakan pada tahun 2015, penulis sudah memprediksi sejumlah risiko yang dapat ditimbulkan. Namun, pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Pertanian dan Kementerian Sosial selaku pihak terkait belum menyadari efek domino yang ditimbulkan.
Kementerian Pertanian selaku penanggung jawab produksi gabah beras selalu memberikan target penyerapan beras petani kepada Bulog. Target yang ditetapkan untuk dibeli Bulog kepada petani berkisar antara 3-4 juta ton, atau sekitar 6-8% dari total produksi beras tanah air.
Beras sebanyak itu akan disimpan di gudang Bulog dan segera disalurkan kepada masyarakat miskin melalui program Raskin atau Rastra. Sebelum tahun 2018, Bulog tidak kesulitan menyimpan beras dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan karena penyaluran beras Bulog baik untuk rastra maupun operasi pasar berkisar di atas 3 juta ton. Dengan jumlah penyaluran beras yang besar, maka akan terjadi perputaran stock di gudang Bulog.
Namun semuanya sekarang menjadi masalah, ketika program rastra mulai digantikan dengan BPNT. Bisa kita bayangkan jika beras sebanyak 3 juta ton mengendap di gudang Bulog dalam waktu lama karena tidak adanya tempat untuk disalurkan. Sudah bisa dipastikan beras yang merupakan makhluk hidup mengalami penurunan mutu, bahkan bisa rusak. Efek itu sudah kelihatan terhadap stok beras Bulog sekarang.Â
Seharusnya pemerintah cepat menyadari akan efek domino penerapan BPNT. Namun justru aneh, Kementerian Pertanian yang dalam hal ini pihak berkepentingan malah mewacanakan penghapusan program beras rastra pada bulan April 2017 untuk segera digantikan oleh BPNT.
Lalu bagaimana pandangan pihak Kementerian Sosial selaku pihak penanggung jawab program BPNT?
Â
Dirjen Penanganan Fakir Miskin Kemensos, Andi Dulung saat lokakarya "Pemanfaatan Teknologi untuk bantuan sosial" di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (24/8/2017) membeberkan beberapa keunggulan dari bantuan pangan non tunai (BPNT).
Dia menjelaskan, "sasaran target penerima bantuan pangan non tunai itu juga agar ada peningkatan inklusi keuangan, dimana penerima kartu otomatis punya rekening bank. Kita salah satu terendah di Asia inklusi keuangannya baru sekitar 60%. Berkaca dari India, penerima manfaat ada 300 juta dari 1,2 miliar penduduk bisa dilakukan secara cepat sambungnya, target 10 juta penerima bantuan pangan non tunai pada 2018 tersebut bukanlah hal yang muluk-muluk. Nanti oktober ini baru kita tentukan mau start dari 6 juta dulu atau 7 juta penerima" (24/8/2017).
Selain itu, dia juga tidak lupa menyebutkan kelemahan BPNTÂ " Pemerintah tidak bisa mengontrol harga pada agen, itu kelemahannya (BPNT), jadi harga beras misalnya, itu terserah dari agen. Pokoknya satu bulan penerima dapat Rp 110.000, dia bisa beli beras harga berapapun. Kalau dia mau beli yang lebih mahal juga silahkan. Karena dengan kartu itu, warga miskin bisa membeli beras yang lebih mahal dan kualitasnya lebih bagus dari beras standar Bulog untuk rastra". Kecenderungannya, malah orang lebih suka beli beras yang kualitasnya lebih bagus, harganya lebih mahal tak masalah. Mau beras Rp. 8.000/kg tak masalah, Rp 10.000/kg tak masalah".
Dari pernyataan di atas, sepertinya pemahaman konsep swasembada pangan secara utuh yang digaungkan Presiden Jokowi tidak mampu dipahami secara utuh di jajaran pejabat teras Kementerian. Seharusnya pemerintah menyadari akan pentingnya peran beras dalam perekonomian bangsa.
Jika kita cermati, peningkatan inklusi keuangan adalah alasan kuat dibalik kengototan pemerintah untuk menggantikan program rastra menjadi BPNT. Â Pengurangan jumlah uang yang beredar di masyarakat merupakan bagian dari tujuan utama penerapan BPNT. Pemerintah berpikir, dengan berkurangnya uang yang beredar di masyarakat laju inflasi bisa lebih dikendalikan sesuai dengan yang diharapkan.
Padahal, sejatinya ketika penyaluran beras Bulog dalam rastra berjalan lancar maka kestabilan harga akan terjadi dengan sendirinya. Hal ini disebabkan karena beras merupakan komponen terbesar dalam mempengaruhi laju inflasi. Namun jika beras tidak tersalurkan di masyarakat maka pemerintah tidak akan bisa mengontrol harga beras di pasaran. Akibatnya malahan justru menggerek kenaikan harga yang lain tidak hanya pangan.
Sehingga semakin aneh lagi, ketika pemerintah sudah mengetahui kelemahan BPNT yang tidak mampu mengontrol harga, namun tetap saja melaksanakannya. Program BPNT bisa dikatakan adopsi dari model subsidi pangan di Amerika Serikat yang bernama food stamp. Namun keberhasilan program food stamp di Amerika didukung dengan system dan kultur masyarakat yang telah maju baik dari sisi pendapatan dan pendidikan. Selain itu dukungan penyedia, infrasturuktur seperti jalan dan teknologi IT, juga menambah keberhasilan pelaksanaan food stamp.
Bagaimana dengan Indonesia? Semuanya berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi di lapangan sehingga dalam penerapannya kerap menimbulkan masalah besar. Namun sampai dengan sekarang pelaksanaannya tetap dilakukan. Padahal efek domino penerapan BPNT sangatlah besar terutama terhadap stock dan kualitas beras negara yang dikelola Bulog.
Efek Domino pertama adalah terganggunya swasembada pangan. Dengan masih tingginya stock beras yang dikuasai Bulog, tentu membuat turunnya target serapan beras. Proses pengadaan untuk membeli gabah/beras petani, pasti tidak akan berjalan efektif jika dibandingkan sebelum-sebelumnya. Pertimbangannya adalah hilangya captive market sebagai tempat penyaluran hasil pengadaan dalam negeri selama ini.
Harus kita ingat, bahwa beras merupakan komoditas yang sangat rentan mengalami kerusakan. Jika disimpan dalam waktu yang lama dan mengalami kerusakan tentu kerugian akan ditanggung oleh BULOG.
Tetapi harus kita sadari bersama, Bulog hanyalah sebuah lembaga dimana ada orang-orang di dalamnya yang menggerakan lembaga ini. Artinya, ketika beras tersebut mengalami kerusakan di gudang, bukan tidak mungkin akan menjadi tanggung jawab pegawai yang bersangkutan. Kerusakan beras dalam jumlah besar tanpa disadari akan menciptakan trauma serta mengganggu efek psikologis pegawai Bulog. Oleh sebab itulah, pengalihan rastra menjadi BPNT akan membuat pegawai Bulog secara tidak langsung untuk berpikir berulang kali dalam menyimpan beras petani dalam jumlah besar.
Â
Dampak lanjutan yang sangat fatal dari penyerapan gabah/beras petani yang berkurang adalah kejatuhan harga gabah beras petani sendiri. Penyerapan yang berkurang di tingkat petani akan membuat para spekulan beras lebih besar memainkan perannya. Mereka akan semaunya menentukan harga gabah maupun beras dikarenakan tidak adanya pesaing dari pihak pemerintah. Peran yang sangat besar dari para mafia pangan tentu saja akan sangat sulit untuk diawasi oleh pemerintah.
Jika sudah seperti itu, anjloknya harga gabah beras pada tingkat petani sudah dapat dipastikan. Fenomena tersebut akan sulit untuk diatasi dan ini muaranya akan berimbas kepada kesejahteraan petani yang berujung kemiskinan merajalela di perdesaan.
Selanjutnya, dengan sedikitnya stock beras yang dikuasai Bulog, maka intervensi pasar untuk stabilisasi harga oleh pemerintah menjadi tidak leluasa. Harga yang tidak terkendali akan mengakibatkan aktivitas perekonomian menjadi terganggu. Dampak paling parah yang merasakan tentu masyarakat miskin yang memiliki daya beli rendah. Pada akhirnya justru akan menambah jumlah masyarakat miskin di tanah air.
Oleh sebab itulah, sebelum efek domino dari penerapan BPNT benar-benar terjadi sebaiknya pemerintah mencari jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi BULOG sekarang. Â Cukuplah beras busuk di gudang BULOG menjadi korbannya.
Sebenarnya ada beberapa opsi yang bisa diambil oleh pemerintah seperti mewajibkan kembali Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan Polri untuk mengambil jatah berasnya ke Bulog. Opsi lainnya adalah dengan mewajibkan seluruh pegawai BUMN yang berada di bawah pembinaan Kementerian BUMN untuk juga ambil bagian dalam membeli beras Bulog.
Namun, opsi yang paling masuk akal adalah memodifikasi sedikit program BPNT. Di mana beras yang diberikan dalam program BPNT harus wajib beras dari pengadaan Bulog dari petani lokal. Dengan menerapkan opsi diatas, maka pemerintah sudah benar dalam konteks mendudukan dan memahami peran pangan secara utuh sebagai penggerak roda perekonomian.
Koordinator Jaringan Masyarakat Pangan Indonesia (JAMPI)
Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H