Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kisruh Impor Beras, Siapa yang Salah?

22 September 2018   08:45 Diperbarui: 22 September 2018   10:24 2929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Silang pendapat impor beras kembali menghangatkan pemberitaan publik. Direktur Utama Perum BULOG Budi Waseso terang-terangan menolak impor beras dengan alasan gudang penuh. 

Seperti dikutip dari www.cnn.com, Budi Waseso mengatakan tak perlu impor karena jumlah pasokan beras di gudang Bulog hingga awal September masih sekitar 2.4 juta ton. Bahkan, ia mengestimasi jumlah pasokan akan bertambah menjadi 3 juta ton pada akhir tahun yang berasal dari dalam negeri.

"Perintah kemarin dari Menteri Koordinator Perekonomian (Darmin Nasution) dan Menteri Perdagangan (Enggartiasto Lukita) bahwa kami harus impor 1 juta ton, tapi kami mau taruh di mana beras itu? Kecuali Menteri Perdagangan menyiapkan gudang atau kantornya beliau mau dipakai jadi gudang beras," ungkap dia. (cnnindonesia.com)

Disisi yang lain, Menteri Perdagangan (Enggartiasto Lukita)   memiliki argumentasi tersendiri. Ia menyebut, jika tanpa impor beras kondisi Indonesia dapat mengalami kekacauan.

Impor dinilai penting karena Indonesia terancam defisit beras. Apalagi jika berkaca pada akhir tahun lalu, dimana stok beras di tanah air turun tajam dan stok beras pemerintah di gudang Bulog bahkan sempat minus.

"Ada dua pilihan. Kalau impor pasti di bully, kalau tidak impor siapa pun pemerintahnya akan jatuh dengan chaos. Itu konsekuensi politik yang ada," ujar Enggar saat berkunjung ke kantor Transmedia, Kamis (14/9). (cnnindonesia.com)

Untuk meluruskan silang pendapat ini, mari kita kupas satu-persatu agar ditemukan titik terang apa yang menjadi pangkal dari permasalahan tersebut.

(konfrontasi.com)
(konfrontasi.com)
Sudut Pandang Buwas

Sangat bisa dipahami argumentasi Dirut BULOG Budi Waseso menolak impor tambahan sebanyak 1 juta ton. Ada dua argumentasi yang dilontarkan yaitu pertama, menurut Buwas kapasitas gudang BULOG hanya 2,4 juta ton sedangkan stock yang ada sekarang 2,2 juta ton, sehingga jika tambahan beras impor masuk lagi sebanyak 1 juta ton maka akan disimpan dimana. Bahkan sekarang saja BULOG sudah mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk menyewa gudang-gudang milik swasta.

Kedua, adalah ketidak efektifan operasi pasar yang dilakukan. Dari target yang diperintahkan Mendag kepada BULOG untuk menggelontorkan beras operasi pasar sebanyak 15 ribu ton per hari, namun nyatanya yang terserap hanyalah 1 ribu ton per hari atau jauh dari target. Sehingga alasan inilah yang menjadi dasar kuat bahwa impor beras tidak diperlukan lagi karena persediaan beras baik di masyarakat dan pemerintah sudah mencukupi.

Seperti kita ketahui bersama, bahwa BULOG hari ini merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk Perusahaan Umum (Perum). Selain harus melaksanakan kegiatan pelayanan publik, BULOG juga dituntut untuk mencari keuntungan dari setiap bisnis yang dijalankan.

Hal ini sangat wajar, karena setiap kegiatan operasional yang dilakukan menggunakan pinjaman bank dengan tingkat bunga komersial. Sehingga jika perhitungan bisnis yang dilakukan tidaklah cermat, maka sudah bisa dipastikan perusahaan akan menanggung kerugian.

Buwas selaku Dirut BULOG sadar betul, bahwa kesuksesan memimpin sebuah BUMN bisa diukur dari dua kacamata yaitu kacamata pemerintah dan BUMN. Sudut pandang pemerintah dikatakan sukses jika setiap penugasan pelayanan publik dari pemerintah berhasil dilakukan.

Namun dari sudut pandang BUMN, bisa dikatakan berhasil jika setiap kegiatan yang dilakukan baik pelayanan publik maupun bisnis tidak merugikan perusahaan, mampu membiayai kegiatan operasional perusahaan serta memberikan laba. (kompasiana.com)   

Oleh karena itu, balik lagi ke kisruh impor beras yang menuai prahara tadi. Andaikan beras tersebut lama disimpan dan menumpuk di gudang, maka sudah bisa dipastikan memerlukan biaya penyimpanan dan perawatan yang tinggi. Sehingga bisa dibayangkan beban bunga bank yang harus ditanggung BULOG, jika beras tersebut tidak segera tersalurkan.

Ditambah lagi beras merupakan komoditas pertanian yang apabila disimpan lebih dari 6 bulan sangat rentan terhadap penurunan kualitas dan kesusutan fisik.

Sudut Pandang Mendag

Disudut yang lain, alasan Mendag Enggar memberikan izin impor beras juga bisa dipahami. Krisis ekonomi akan membuat kenaikan harga tidak terkendali atau yang biasa kita kenal dengan Inflasi.

Panic buying terjadi, masyarakat memborong semua kebutuhan pokok tapa harus tahu buat apa, kelangkaan dimana-mana, sehingga ujung-ujungnya chaos. Hal yang paling ditakutkan disemua belahan Negara manapun.

Orang banyak bertanya-tanya, mengapa ketika krisis pangan melanda, akan sangat mudah terjadinya chaos atau kekacauan. Secara logika, orang yang sedang lapar tentu tidak bisa berpikir dengan jernih, bersumbu pendek dan akan dengan mudah tersulut untuk melakukan tindakan anarkhis. Sehingga berujung kepada kekacauan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.

Mendag Enggar, bukanlah orang baru di dunia bisnis tanah air dan tentu memiliki sense of crisys yang dalam. Enggar adalah pengusaha penuh pengalaman yang sudah merasakan pahitnya krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 dan 2008. Ia melihat betul bagaimana kacaunya negeri ini ketika krisis ekonomi melanda.

Barang kebutuhan pokok menjadi langka, harga tinggi, tindakan anarkhis terjadi di setiap kota, para pengusaha banyak yang gulung tikar serta banyak orang yang kena PHK. Tentu, dalam situasi yang seperti ini yang paling rentan terkena dampaknya adalah masyarakat miskin yang memiliki daya beli rendah.

Alasan kuat yang dilontarkan Enggar, juga bisa diterima ketika indicator ekonomi pada tahun ini hampir menyerupai keadaan pada tahun 1998. Situasi perang dagang AS vs China yang membuat situasi perekonomian tidak menentu, telah membuat Dollar AS sudah menembus angka Rp 15.000. 

Belum lagi pada tahun depan Bank Sentral AS akan menaikkan suku bunganya sebanyak tiga kali, sehingga diprediksi membuat aliran modal asing dari Indonesia kembali ke Negara asalnya dan ujung-ujungnya kembali akan membuat nilai rupiah semakin terpuruk.

Selain itu ditambah lagi prediksi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang mengatakan akan terjadi kemarau panjang yang pasti akan mengganggu produksi beras tanah air. Walaupun data di atas kertas terus menunjukkan surplus atau produksi melimpah, namun nyatanya dilapangan jauh berbeda.

Hal ini terbukti pada awal tahun 2018 tadi. Serta ditambah lagi pada tahun depan mendekati pemilihan presiden (pilpres) dengan tensi politik yang tinggi (kompasiana.com)

Sebagai informasi tambahan, kesepakatan tambahan impor satu juta ton, bukanlah keputusan sepihak dari Mendag Enggar. Namun diputuskan dalam rapat koordinasi antar Kementerian di kantor Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution.

Kesepakatan tambahan impor dilatarbelakangi akan terjadinya kemarau panjang yang akan mengganggu produksi nasional. Rapat dilakukan pada 12 April 2018 lalu, juga dihadiri Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Dirut Bulog yang saat itu dijabat Djarot Kusumayakti.

(beritasatu.com)
(beritasatu.com)
Yang patut mejadi sorotan sebenarnya adalah kehadiran Menteri Pertanian dalam rakortas tersebut. Hal ini sudah menyiratkan bahwa Mentan tidak optimis akan ketersediaan produksi beras tanah air, apalagi disaat kemarau panjang melanda negeri ini.

Akibat tidak ada jaminan produksi inilah yang sejatinya menjadi pangkal polemik impor beras yang tidak berkesudahan. Logika sederhananya, jika Mentan yakin bahwa produksi beras akan meningkat walaupun sudah diprediksi kemarau panjang, tentu dia tidak akan setuju dengan tambahan impor sebanyak 1 juta ton.

Solusi Jalan Tengah

Berdasarkan bahasan diatas, setelah kita kupas satu persatu ternyata argumentasi antara Mendag Enggar dan Dirut BULOG Buwas tidak ada yang salah. Namun, inilah sebenarnya potret kebijakan perberasan tanah air yang carut-marut dan tidak terintegrasi dari hulu ke hilir. Memang pada tahun 2018 ini, terjadi revolusi kebijakan perberasan secara besar-besaran akibat imbas dari kontraproduktifnya kebijakan yang lain.

Penulis dan pengamat kebijakan pertanian sudah berkali-kali mengingatkan dari tahun 2015 sampai dengan sekarang. Namun para pemegang kepentingan tidak mengindahkan dan menyadari dampak bahaya yang akan ditimbulkan.

Andaikan saran tersebut diikuti, maka kisruh impor beras yang semakin panas sekarang ini sebenarnya tidak akan terjadi. Mudah-mudahan polemik Buwas vs Enggar membukakan mata banyak pihak bahwa ada yang salah dengan kebijakan perberasan tanah air dan lebih melihatnya secara utuh.

Kebijakan tersebut adalah penggantian program raskin/rastra(beras sejahtera) menjadi voucher pangan atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) pada tahun 2018. Biasanya, pada tahun-tahun sebelumnya, beras yang disimpan di gudang BULOG disalurkan untuk masyarakat miskin sebanyak 15 kg per rumah tangga. Sehingga jika ditotal kebutuhan untuk 15,5 juta rumah tangga miskin di seluruh Indonesia, jumlah beras yang disalurkan sekitar 2,75 juta ton.

Namun ketika program BPNT dijalankan, masyarakat bebas membeli kebutuhan pokok ditempat yang telah ditunjuk atau sesuai harga pasar. BULOG bukan satu-satunya penyedia dan harus bersaing dengan penyedia yang lain.

Dampaknya adalah beras yang selama ini memiliki outlet untuk disalurkan, nasibnya tidak menentu dan menumpuk di gudang-gudang BULOG. Sehingga dikhawatirkan, jika beras impor sebanyak 1 juta ton kembali masuk ke gudang BULOG, maka stok akhir tahun akan mencapai 3 juta ton.

Stok sebanyak 3 juta ton, akan menambah masalah baru bagi BULOG. Butuh biaya perawatan yang besar dan pasti membuat keuangan perusahaan menjadi terbebani. Jika tidak ditemukan solusi konkret, maka akan dipastikan keuangan BULOG merugi.

Dampak fatalnya adalah kinerja Budi Waseso dalam memimpin BUMN BULOG akan dipertanyakan publik. Sudah pasti ini akan merusak citra seorang Buwas yang terkenal mampu membawa lembaga yang dipimpinnya (POLRI dan BNN) selalu menuai prestasi. 

Oleh sebab itu, pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Sosial seharusnya cepat menyadari akar masalah kisruh impor beras. Sebenarnya dengan hilangnya program rastra yang digantikan dengan BPNT, praktis pemerintah hanya memiliki satu opsi untuk menstabilkan harga beras di pasaran. 

Opsi itu adalah operasi pasar yang dilakukan secara massif dan besar-besaran. Itulah mengapa BULOG ditarget menggelontorkan 15 ribu ton per hari. Namun faktanya, beras yang terserap cuma seribu ton jauh dari sasaran.

Dalam operasi pasar murni, harga beras yang ditawarkan hanya sedikit berada dibawah harga pasar. Bahkan terkadang harga beras di pasar hampir mendekati dengan harga yang ditawarkan oleh pemerintah.

Sehingga masyarakat miskin yang lekat dengan daya beli yang rendah, merasa agak berat membeli dan melakukan penundaan.  Dalam arti kata lain, ketidak efektifan operasi pasar lebih dikarenakan factor daya beli yang lemah.

Jika pemerintah belajar dari tahun sebelumnya, sejatinya operasi pasar itu ada dua bentuk. Pertama operasi pasar murni yang dilakukan buwas sekarang dan kedua adalah rastra (beras sejahtera) yang sudah digantikan oleh Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Idealnya jiika kedua bentuk operasi pasar itu dilakukan bersamaan maka stabilisasi harga akan mudah tercapai. Operasi pasar dan rastra merupakan kombinasi penstabil harga yang mempengaruhi dua sisi yaitu sisi penawaran dan permintaan (llink rastra penstabil harga).

Sehingga sudah sangat tepat jika, DPR RI ingin mengembalikan anggaran subsidi yang selama ini dialihkan ke program BPNT untuk kembali ke rastra. DPR menyadari bahwa program BPNT yang selama ini dijalankan banyak kendala di lapangan dan tidak mempunyai sumbangsih terhadapa stabilisasi harga bahan pangan di pasaran.

Selain itu, BPNT merupakan program subsisidi pangan adopsi dari Negara penganut pasar bebas yang tidak cocok dengan kultur bangsa yang mengutamakan ekonomi kerakyatan.

https://www.kompasiana.com/julkhaidar/5aef17f2cf01b46160663062/mekanisme-pasar-kartel-pangan-dan-bantuan-pangan-non-tunai

https://www.kompasiana.com/julkhaidar/5ace1f4916835f40e909d163/rastra-senjata-penstabil-harga-yang-terlupakan

*) Koordinator Jaringan Masyarakat Pangan Indonesia (JAMPI)

    Kandidat Doktor Universitas Sriwijaya

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun