Alasan kuat yang dilontarkan Enggar, juga bisa diterima ketika indicator ekonomi pada tahun ini hampir menyerupai keadaan pada tahun 1998. Situasi perang dagang AS vs China yang membuat situasi perekonomian tidak menentu, telah membuat Dollar AS sudah menembus angka Rp 15.000.Â
Belum lagi pada tahun depan Bank Sentral AS akan menaikkan suku bunganya sebanyak tiga kali, sehingga diprediksi membuat aliran modal asing dari Indonesia kembali ke Negara asalnya dan ujung-ujungnya kembali akan membuat nilai rupiah semakin terpuruk.
Selain itu ditambah lagi prediksi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang mengatakan akan terjadi kemarau panjang yang pasti akan mengganggu produksi beras tanah air. Walaupun data di atas kertas terus menunjukkan surplus atau produksi melimpah, namun nyatanya dilapangan jauh berbeda.
Hal ini terbukti pada awal tahun 2018 tadi. Serta ditambah lagi pada tahun depan mendekati pemilihan presiden (pilpres) dengan tensi politik yang tinggi (kompasiana.com)
Sebagai informasi tambahan, kesepakatan tambahan impor satu juta ton, bukanlah keputusan sepihak dari Mendag Enggar. Namun diputuskan dalam rapat koordinasi antar Kementerian di kantor Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution.
Kesepakatan tambahan impor dilatarbelakangi akan terjadinya kemarau panjang yang akan mengganggu produksi nasional. Rapat dilakukan pada 12 April 2018 lalu, juga dihadiri Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Dirut Bulog yang saat itu dijabat Djarot Kusumayakti.
Akibat tidak ada jaminan produksi inilah yang sejatinya menjadi pangkal polemik impor beras yang tidak berkesudahan. Logika sederhananya, jika Mentan yakin bahwa produksi beras akan meningkat walaupun sudah diprediksi kemarau panjang, tentu dia tidak akan setuju dengan tambahan impor sebanyak 1 juta ton.
Solusi Jalan Tengah
Berdasarkan bahasan diatas, setelah kita kupas satu persatu ternyata argumentasi antara Mendag Enggar dan Dirut BULOG Buwas tidak ada yang salah. Namun, inilah sebenarnya potret kebijakan perberasan tanah air yang carut-marut dan tidak terintegrasi dari hulu ke hilir. Memang pada tahun 2018 ini, terjadi revolusi kebijakan perberasan secara besar-besaran akibat imbas dari kontraproduktifnya kebijakan yang lain.
Penulis dan pengamat kebijakan pertanian sudah berkali-kali mengingatkan dari tahun 2015 sampai dengan sekarang. Namun para pemegang kepentingan tidak mengindahkan dan menyadari dampak bahaya yang akan ditimbulkan.