Mohon tunggu...
Julius Russel
Julius Russel Mohon Tunggu... Human Resources - Humanis

Makhluk Pemuja Simbol Bernama Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meneropong Kemampuan Adaptasi Lingkungan Ras Melanesia di Maluku Menghadapi Climate Change dan Global Warming

13 April 2023   17:51 Diperbarui: 13 April 2023   18:00 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu kita melihat, mendengar dan membaca berita di berbagai social media tentang badai siklon tropis, gelombang laut yang tinggi, banjir dan longsor yang terjadi di Maluku. Tentunya, kita semua turut prihatin karena masalah-masalah ini memberikan kerugian yang sangat besar bagi anak cucu ras Melanesia di Maluku saat ini.

Penekanan ras Melanesia di sini tidak bermaksud untuk mengabaikan mereka kaum pendatang yang mengalami kerugian bahkan mungkin juga korban jiwa di Maluku. 

Tulisan ini ingin mengulas tentang kritik Theodor W. Ardono dan Max Horkheimer terhadap modernitas dan sejauh mana kritik itu memengaruhi kemampuan adaptasi lingkungan (baca: menyesuaikan diri dengan hukum-hukum alam) anak cucu ras Melanesia di Maluku. Mengingat leluhur Melanesia yang mendiami Maluku memiliki pengetahuan yang luar biasa tentang cara kerja alam semesta.

Buku Dialectic of Enlightenment terbitan tahun 1944 karya kedua pemikir Jerman yang merupakan salah satu masterpiece dalam disiplin ilmu sosial dapat dijadikan acuan berpikir untuk menjelaskan ulasan itu. Mengapa? karena karya ini memuat kritik terhadap modernitas. 

Salah satu kritik yang disampaikan kedua pemikir ini tentang hubungan manusia dengan alam --  yang memiliki kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Sama dengan kondisi Maluku saat ini yang sedang mengejar pertumbuhan ekonomi.

Dua point penting dalam karya itu adalah rasio instrumental (instrumentelle vernunft) dan pemisahan (distance) antara manusia dengan alam. Menurut kedua pemikir di atas, pendekatan instrumentelle vernunft  dan distance antara manusia dengan alam yang dikembangkan melalui ilmu-ilmu positif (terutama ilmu alam dan teknologi modern) menjadi penyebab utama munculnya krisis ekologis.

Manusia memandang alam sebagai sesuatu yang asing. Alam pun diselidiki, dimanipulasi, dikendalikan dan diekploitasi secara masif untuk meningkatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya - sebagaimana semangat gerakan modernisasi.

Gerakan modernisasi yang dimulai sejak revolusi industri lebih dari dua abad lampau pelan-pelan telah mengubah cara hidup banyak masyarakat nelayan - agraris tradisional di berbagai belahan dunia menjadi masyarakat industri. 

Perubahan cara hidup dengan menempatkan manusia sebagai penguasa atas alam yang  pada awalnya terlihat baik dan teratur -- tinggal mengikuti prosedur dan sistem yang sudah dibuat ternyata membuat bumi kehilangan hutan dengan beberapa spesies, terjadinya pencemaran lingkungan  di laut, darat, udara serta persoalan lainnya pasca revolusi industri.

Terkait dengan krisis ekologis, para saintis modern pun memberikan tanggapan. Katanya, pembakaran dari hasil fosil untuk memenuhi kebutuhan industri dan penyusutan hutan mempercepat terjadi perubahan iklim dan pemanasan global. 

Dampak perubahan  iklim dan pemanasan global yang terjadi saat ini membuat negara-negara di dunia dilanda berbagai bencana seperti badai, gelombang laut yang tinggi, banjir, longsor, dan lain sebagainya. 

Masalah-masalah ini juga menimpa anak cucu ras Melanesia di Maluku beberapa waktu yang lalu dan mungkin akan terjadi di kemudian hari. Untuk lebih jelasnya silahkan baca link di bawah ini:

 

 

Maluku Dulu dan Saat Ini

Berbeda dengan cara pandang modernitas yang menempatkan instrumentelle vernunft dan membuat distance antara manusia dengan alam melalui ilmu-ilmu positif sebagai upaya untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia modern. Sejak berabad-abad yang lalu ras Melanesia yang mendiami Maluku sudah mengembangkan ilmu alam.

Ilmu alam yang tidak mengkalkulasikan alam dengan angka-angka untuk mencari keuntungan yang besar atau mengejar kepentingan ekonomis sebagaimana pendekatan instrumentelle vernunft.  

Tidak adanya juga distance antara manusia dan alam yang bisa dijumpai dalam unsur-unsur kebudayaan seperti sistem ekonomi, sistem peralatan hidup dan teknologi, kesenian dan lain sebagainya.

Contoh konkretnya, sistem ekonomi subsisten seperti sasi lalu dan darat. Sistem ekonomi ini tidak mengeksploitasi alam secara masif. Selain itu juga, sistem teknologi ramah lingkungan seperti: bubu, lavlai dan lain sebagainya. 

Tradisi lisan dalam kesenian seperti nyanyian adat bergaya free meter dengan pukulan tiva berpola repetitif saat mengiringi tarian tradisional pun menyampaikan pesan tentang pentingnya menyesuaikan diri mengikuti hukum alam -- menyatu bersama  irama alam.

Sejumlah data empirik itu menjelaskan dengan sangat jelas bahwa ras Melanesia yang hidup di Maluku berabad-abad lalu sadar betul bahwa selain dirinya ada juga hewan, tumbuh-tumbuhan, serta benda-benda alam lainnya yang merupakan bagian dari dirinya yang tak terpisahkan. 

Artinya, tidak ada instrumentelle vernunft dan distance antara manusia dengan alam sebagaimana yang diusung dalam modernitas. Mereka percaya jika alam dieksploitasi secara masif akan memberikan dampak yang buruk bagi keselamatan makhluk hidup di bumi -- karena semuanya berkaitan satu dengan yang lain.

Kalau demikian, bagaimana dengan kondisi yang terjadi di Maluku saat ini ? Menurut salah satu anggota DPR RI komisi VII dapil Maluku Mercy Barends kerusakan hutan di Maluku tinggi. Belum lagi sampah akibat limbah industri dan limbah rumah tangga yang mengotori laut di Maluku. Untuk lebih jelasnya baca link ini:

Jika kita meneropong perkembangan kemampuan adaptasi lingkungan (baca: menyesuaikan diri dengan hukum-hukum alam) saat ini dengan bersandar pada ilmu-ilmu positif yang dikritik Ardono dan Horkheimer dalam modernitas serta  kenyataan di Maluku sebagaimana pernyataan Barends dan berita di berbagai social media  maka kesimpulannya setelah masuk modernisasi konsep adaptasi lingkungan yang terdapat dalam budaya ras Melanesia di Maluku mulai "ditinggalkan" lalu mengambil jalan baru "pergi" mengikuti cara hidup budaya modern. 

Artinya, kemampuan adaptasi mengikuti hukum-hukam alam mengalami penurunan disebabkan karena terjadinya peningkatan adaptasi pada budaya modern yang justru mengabaikan hukum-hukum alam itu.

Mengacu pada kenyataan ini maka para pembuat kebijakan di Maluku perlu melakukan tindakan-tindakan nyata guna menekan pendekatan instrumentelle vernunft  dan distance antara manusia dengan alam yang kini telah merasuki kehidupan di Maluku agar dampak buruk dari climate change dan global warming segera diatasi.

Ini penting dilakukan karena kalau tidak segera dilakukan bersama maka tentunya masalah-masalah yang muncul akibat climate change dan global warming seperti badai siklon tropis, gelombang laut yang tinggi, banjir, longsor, kekeringan, kesusahan air bersih, naiknya permukaan air laut dan lain sebagainya akan terus mengintai anak cucu ras Melanesia dan saudara setanah air kita di Maluku.

Catatan: Tulian ini pernah diterbitkan media online Maluku pertengahan tahun 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun