Tetapi tidak bisa semudah itu memparalelkan ra’ah rabbah yang ada pada pengkhotbah 6: 1 ini dengan kondisi pandemi covid-19 saat ini, untuk itu akan saya gali sedikit bagaimana ra’ah rabbah ini bisa diandaikan pada konteks jaman sekarang. Ra’ah rabbah yang dimaksudkan oleh Kohelet pada ayat 1 ini berkaitan dengan ayat 2 yang merujuk pada seseorang yang telah mendapatkan kekayaan, harta benda dan kelimpahan dari Allah.
Menurut Mark R. Sneed yang menyitir pendapat Lauha, konteks ayat 1 dan 2 ini ada kaitannya dengan orang-orang yang diperas oleh rezim pemerintahan Ptolemaik, orang-orang yang diperas itu adalah orang-orang kaya yang harta bendanya disita dan diberikan kepada orang asing.
[6] Tentu saja Sneed di sini mengandaikan bahwa kohelet adalah orang yang hidup di zaman rezim tersebut, dan dengan mata kepalanya sendiri melihat bagaimana orang-orang yang hidup pada masa rezim tersebut mendapatkan perlakuan yang semena-mena dari penguasa rezim tersebut.
Alhasil Kohelet yang melihat hal tersebut kemudian merenungkannya dengan seksama bahwa ra’ah rabbah yang dia lihat mungkin adalah sitausi di mana rezim Ptolemaik berkuasa.
Di lain pihak, teolog Algeria, Jacques B. Doukhan menganggap ungkapan situasi yang tertuang dalam Pengkhotbah 6: 1-2 ini merupakan sindiran terhadap Raja Salomo yang mendapatkan kekayaan, harta benda dan kelimpahan dari Allah,
tetapi tidak dapat menikmati hal-hal tersebut, melainkan orang asinglah yang menikmati hal-hal tersebut, orang asing tersebut menjadi raja atas Israel, yaitu Raja Yerobeam.[7] Jika mengikuti Doukhan, konteks penulis kitab Pengkhotbah ini belum terkuak kondisinya, oleh karena itu saya mengikuti Sneed dalam menggambarkan konteks penulisan di pasal 6: 1 ini.
Setelah mencoba merujuk pada konteks sosial penulisan di pasal 6: 1-2 ini, sekarang saya berangkat lebih jauh dalam mengidentifikasi siapakah orang yang dimaksud dalam ungkapan situasi tersebut. Sebelumnya perlu dicermati bahwa ayat 2 menurut Michael Fox adalah kalimat anacoluthon, yang berarti kalimat tersebut tidak mengikuti tata bahasa yang semestinya.
[8] Melengkapi Fox saya meminjam pemahaman C. L. Seow yang berpendapat bahwa kata isy pada ayat 2a tidak bisa menjadi rujukan hanya pada laki-laki saja, melainkan merujuk pada siapa pun orang tersebut, entah itu perempuan atau laki-laki, hitam atau putih, yang jelas kata isy merujuk pada segala jenis orang (a person).
[9] Kalau saya tidak salah mengerti penekanan yang dimaksud oleh C. L. Seow dan Fox mungkin adalah tentang makna kata isy yang berarti; siapa saja orang tersebut. Jadi jika dikaitkan dengan kalimat lengkapnya berarti ayat 2a dapat diartikan: “siapapun orangnya dapat menerima kekayaan, harta benda dan kelimpahan yang diberikan oleh sang Allah”.
Selain itu siapa pun orangnya itu tidak diberi kuasa oleh Allah untuk menikmati hal-hal tersebut (ayat 2b). Kembali ke konteks jaman sekarang orang-orang yang sedang was-was sembari merasa cemas akan wabah covid-19 saat ini sangat menyadari bahwa siapa pun diri mereka bisa saja terinfeksi covid-19 ini.
Baik tenaga medis, orang beriman atau pun yang tidak beriman, orang kaya atau pun yang misikin, semuanya dapat terinfeksi virus covid-19 ini. Kurang lebih orang-orang yang diamati oleh Kohelet pada saat itu adalah orang-orang yang dalam kondisi seperti itu.