Mohon tunggu...
Julius Situmorang
Julius Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Buku Jendela Dunia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Bayi yang Gugur Itu Lebih Beruntung daripada Kita yang Hidup Ini? (Menggugat Nada Negatif akan Kehidupan: Sebuah Tafsir Pengkhotbah 6:1-12)

14 Juli 2022   21:16 Diperbarui: 14 Juli 2022   21:38 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayat 11 sendiri hanya membahas tentang kesia-siaan banyak kata yang telah dibahas diperikop-perikop sebelumnya, seperti di pasal 5: 1, yang mencela banjir kata-kata, dalam konteks harus takut akan Allah.[42] Di sini saya berasumsi bahwa kata-kata yang sia-sai tersebut maksudnya adalah kata-kata yang tidak layak disampaikan untuk berargumentasi dengan Allah di ayat 10, hal ini sepemikiran dengan pemahaman EGS.

 Ayat 12 sendiri memang menarik untuk secara sederhana ditarik kesimpulannya menjadi hidup manusia seperti bayangan, yang akan sirna ketika pemilik bayangan berjalan ke tempat yang gelap. Kata seperti bayangan sendiri berasal dari kata Ibrani katsel. Menurut C. L. Seow kata Bahasa Ibrani tidak membutuhkan preposisi kedua untuk mengatakan “seperti dalam” (“as in”),

[43] Tetapi menjadi susah untuk menjelaskan kehidupan di dalam bayangan, dan lebih cocok jika mengartikan katsel seperti sebuah bayangan. Ketika kecil saya sering menyalakan lilin untuk bermain bayang-bayang tangan tembok. Dari permaianan ini saya dapat membuat sebuah bayang-bayang kupu-kupu atau pun bayang-bayang binatang lainnya di tembok. 

Dengan leluasa saya dapat mengatur bentuk bayangan yang ada di tembok tersebut. Jadi jika manusia hidupnya seperti bayangan (di tembok), maka sang pencipta adalah saya yang dengan leluasa bisa membentuk ataupun melenyapkan bayangan di tembok tersebut dengan menutupi cahaya yang membuat bayangan tersebut muncul. Ini lah kehidupan manusia. 

Dari sini manusia hanya terkesan bisa nrimo saja terhadap keputusan pemilik atau pencipta bayangan tersebut. Apakah ini yang ingin ditegaskan oleh Kohelet? 

Tentu tidak sesederhana itu, karena hidup seperti sebuah bayangan tersebut dikaitkan dengan pertanyaan etis tentang “siapa yang mengetahui apa yang baik bagi manusia?” dan “siapa yang akan menceritakan masa depan pada manusia?”. 

Tentu jawabannya si pembuat bayangan tersebut. Ini adalah keputusasaan dari Kohelet, dengan mengetahui hal tersebut, ia mungkin berpikir tidak memiliki kuasa akan dirinya sendiri, seperti bayangan itu sendiri.

 

Kesimpulan

 

Kohelet tentu orang yang telah menyadari bagaimana kehidupan ini akan berjalan, tetapi ia hanya memberi perhatian lebih pada kesia-siaan hidup ini saja. Itu adalah benar jika dikaitkan dengan hidup di bawah bayang-bayang maut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun