"Rungkad, Cok... rungkad lagi, anjinggg! Gimana ini, Cos? Uang angsuran mobilku sudah aku pakai semua!" teriakku kepada teman tongkronganku yang bernama Cosmas.
"Kamu sih, Li. Aku sudah bilang dari tadi, sudah di-WD aja. Kamu ngotot! Itu sekarang rungkad, baru kamu nyesal," kata Cosmas menimpali teriakanku.
"Tapi kan kamu, Cos, yang bilang situs ini gacor... Mati aku, Cos! Mana sudah tiga bulan mobil itu belum aku bayar angsurannya... Habis aku, Cos! Bisa dibunuh bapakku aku!" kataku dengan suara bergetar, membayangkan murka ayahku yang akan tahu kalau uang yang selama ini dia percayakan padaku telah aku pakai untuk judi online.
"Ini bukan salahku, Li! Dari tadi aku sudah bilang, sudah di-WD aja. Kamu masih ngotot mau kaya dari judi," kata Cosmas, tidak ingin disalahkan.
"Lalu aku harus gimana, Cos? Besok debt collector mau datang ke rumah buat nagih angsuran mobil itu. Mati aku, Cos! Dibunuh bapakku!" kataku dengan suara yang sudah setengah menangis karena ketakutan.
"Haduuuh, gimana ya... Aku juga bingung nih, Li, mau nolong kamu. Aku juga nggak punya uang... Atau kamu pinjol aja gimana, pinjol?" kata Cosmas memberi saran.
"Udah nggak bisa, Mas. Aku udah sering pakai pinjol buat depo. Sekarang aku udah nggak bisa pinjol lagi," kataku mulai pasrah dengan keadaan.
Setelah memberi saran ini dan itu, tidak terasa aku dan Cosmas sudah berbincang sampai jam enam pagi. Tapi masih saja tidak ada jalan keluar.
"Li, aku balik dulu ya, mau kerja. Nanti kalau aku dapat pinjaman dari bosku, aku langsung hubungi kamu," kata Cosmas sembari bersiap-siap untuk pergi bekerja.
"Yaudah, Cos, hati-hati. Sekali lagi, tolong ya," kataku dengan nada letih.
"Kamu nggak apa-apa kan, Li, kalau aku tinggal?" kata Cosmas memastikan, karena takut aku tiba-tiba gantung diri karena permasalahan ini.
"Udah, nggak apa-apa, Cos. Aman."
Cosmas pun akhirnya pergi meninggalkanku sendirian di pos ronda, tempat kami biasa nongkrong untuk main judi online. Dalam kesendirian itu, aku sudah bisa membayangkan betapa marah dan kecewanya ayahku nanti setelah tahu kebohonganku selama ini. Aku, yang selama ini menjadi kebanggaannya, pasti akan kehilangan segalanya---seperti sirnanya kepercayaan ayahku kepadaku.
Aku menyesal. Seandainya aku tidak pernah mencoba bermain judi sialan itu, aku tentu tidak akan masuk ke dalam lingkaran setan ini. Tapi apa daya, aku tidak bisa menolak ajakan Cosmas ketika itu. Aku juga sangat butuh uang cepat karena keponakanku yang tidak punya ayah masuk rumah sakit. Ditambah lagi, travel-ku sepi penumpang. Dan aku, yang cuma lulusan SMP, tidak punya pekerjaan lain selain menyopir.
Ketika aku sedang memikirkan itu, tiba-tiba suara motor yang sangat aku kenal berhenti di depanku. Belum sempat aku menyapa, bogem mentah mendarat di wajahku.
"Bajingan! Anak biadab, keparat kau! Dasar anak tidak tahu diuntung! Anak setan!" ucap ayahku sembari memukuliku bertubi-tubi.
Aku hanya diam saja menerima semua amarah ayahku. Aku tahu betul kenapa dia begitu murka kepadaku. Untungnya, ayahku tidak sampai memukulku dengan balok di dekat pos ronda, karena warga segera menghentikannya.
Aku tidak menyalahkan ayahku atas kelakuannya yang hampir membunuhku. Memang aku yang salah. Dulu, aku berhenti sekolah pun demi membantu ayahku yang seorang kuli bangunan. Ayahku sama sekali tidak pernah menentang keinginanku. Bahkan ketika aku meminta mobil untuk menjadi sopir travel, meskipun harus meminjam uang ke bank, dia tetap mengabulkan permintaanku.
Semenjak kejadian itu, hubunganku dan ayahku tidak pernah sama lagi seperti dulu. Aku diusir dari rumah dan terpaksa menumpang di rumah Cosmas.
"Li, maaf ya. Bukannya aku mau ngusir kamu dari rumahku, tapi Mamaku nggak suka kamu di sini. Katanya, nanti aku jadi pecandu judi kayak kamu," kata Cosmas sambil menepuk pundakku.
"Tapi, Cos, kamu kan juga penjudi. Ibumu sombong sekali bicara seperti itu," kataku dengan nada sedikit kesal.
"Iya, Li, aku tahu. Aku juga penjudi sama kayak kamu kecanduannya. Tapi, Mamaku nggak tahu kalau aku juga penjudi. Jadi, maaf ya. Kamu harus pergi. Aku juga nggak mau diusir dari rumah kayak kamu."
Aku cuma bisa diam mendengar perkataan Cosmas. Perasaanku saat itu bahkan lebih sedih daripada ketika diusir dari rumah. Aku merasa sangat sakit hati---dikhianati dan diusir oleh sahabatku sendiri.
Setelah meninggalkan rumah Cosmas, aku tinggal beberapa hari di musala hingga pengurus musala pun mengusirku. Aku tidak tahu lagi harus ke mana dan ke tempat siapa. Aku sendirian, tidak punya tempat mengadu atau kembali. Bahkan rumah Tuhan, yang katanya menerima pendosa, pun menolak dan mengusirku. Sebegitu rendahkah aku sebagai seorang penjudi?
Aku sendirian, kesepian, dan tidak ada yang memahami penderitaanku. Sudah berminggu-minggu aku hidup di jalanan setelah diusir dari rumah. Salahkan aku menjadi seorang penjudi? Salahkan aku mencoba hidup lebih baik dengan cara instan seperti berjudi?
Mengapa aku yang hanya berjudi dengan uangku sendiri dihukum lebih keras daripada mereka yang memakan uang rakyat? Pelaku korupsi itu saja dihukum ringan, sedangkan aku---aku dihukum dengan diasingkan bahkan dianggap lebih hina dari manusia lain.
Tidak ada yang memahami perasaanku. Siapa yang mau kecanduan judi? Siapa yang mau dibenci orang satu kampung? Siapa yang mau diusir dari rumah? Seandainya aku terlahir kaya, tentu aku tidak berjudi.
Hidup ini begitu berat menghukum aku yang tidak punya apa-apa sehingga aku harus berjudi. Dan sekarang, dunia ini bahkan menganggapku tidak layak berada di dalamnya. Ah, mungkin kematian adalah tempatku pulang. Sepertinya tali ikat pinggang ini akan dengan sukarela menemaniku ke sana.
Baiklah. Selamat tinggal, Ayah. Ali, anakmu yang seorang pecandu ini, akan pulang ke rumah sahabatnya, yaitu kematian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H