"Udah, nggak apa-apa, Cos. Aman."
Cosmas pun akhirnya pergi meninggalkanku sendirian di pos ronda, tempat kami biasa nongkrong untuk main judi online. Dalam kesendirian itu, aku sudah bisa membayangkan betapa marah dan kecewanya ayahku nanti setelah tahu kebohonganku selama ini. Aku, yang selama ini menjadi kebanggaannya, pasti akan kehilangan segalanya---seperti sirnanya kepercayaan ayahku kepadaku.
Aku menyesal. Seandainya aku tidak pernah mencoba bermain judi sialan itu, aku tentu tidak akan masuk ke dalam lingkaran setan ini. Tapi apa daya, aku tidak bisa menolak ajakan Cosmas ketika itu. Aku juga sangat butuh uang cepat karena keponakanku yang tidak punya ayah masuk rumah sakit. Ditambah lagi, travel-ku sepi penumpang. Dan aku, yang cuma lulusan SMP, tidak punya pekerjaan lain selain menyopir.
Ketika aku sedang memikirkan itu, tiba-tiba suara motor yang sangat aku kenal berhenti di depanku. Belum sempat aku menyapa, bogem mentah mendarat di wajahku.
"Bajingan! Anak biadab, keparat kau! Dasar anak tidak tahu diuntung! Anak setan!" ucap ayahku sembari memukuliku bertubi-tubi.
Aku hanya diam saja menerima semua amarah ayahku. Aku tahu betul kenapa dia begitu murka kepadaku. Untungnya, ayahku tidak sampai memukulku dengan balok di dekat pos ronda, karena warga segera menghentikannya.
Aku tidak menyalahkan ayahku atas kelakuannya yang hampir membunuhku. Memang aku yang salah. Dulu, aku berhenti sekolah pun demi membantu ayahku yang seorang kuli bangunan. Ayahku sama sekali tidak pernah menentang keinginanku. Bahkan ketika aku meminta mobil untuk menjadi sopir travel, meskipun harus meminjam uang ke bank, dia tetap mengabulkan permintaanku.
Semenjak kejadian itu, hubunganku dan ayahku tidak pernah sama lagi seperti dulu. Aku diusir dari rumah dan terpaksa menumpang di rumah Cosmas.
"Li, maaf ya. Bukannya aku mau ngusir kamu dari rumahku, tapi Mamaku nggak suka kamu di sini. Katanya, nanti aku jadi pecandu judi kayak kamu," kata Cosmas sambil menepuk pundakku.
"Tapi, Cos, kamu kan juga penjudi. Ibumu sombong sekali bicara seperti itu," kataku dengan nada sedikit kesal.
"Iya, Li, aku tahu. Aku juga penjudi sama kayak kamu kecanduannya. Tapi, Mamaku nggak tahu kalau aku juga penjudi. Jadi, maaf ya. Kamu harus pergi. Aku juga nggak mau diusir dari rumah kayak kamu."