Aku cuma bisa diam mendengar perkataan Cosmas. Perasaanku saat itu bahkan lebih sedih daripada ketika diusir dari rumah. Aku merasa sangat sakit hati---dikhianati dan diusir oleh sahabatku sendiri.
Setelah meninggalkan rumah Cosmas, aku tinggal beberapa hari di musala hingga pengurus musala pun mengusirku. Aku tidak tahu lagi harus ke mana dan ke tempat siapa. Aku sendirian, tidak punya tempat mengadu atau kembali. Bahkan rumah Tuhan, yang katanya menerima pendosa, pun menolak dan mengusirku. Sebegitu rendahkah aku sebagai seorang penjudi?
Aku sendirian, kesepian, dan tidak ada yang memahami penderitaanku. Sudah berminggu-minggu aku hidup di jalanan setelah diusir dari rumah. Salahkan aku menjadi seorang penjudi? Salahkan aku mencoba hidup lebih baik dengan cara instan seperti berjudi?
Mengapa aku yang hanya berjudi dengan uangku sendiri dihukum lebih keras daripada mereka yang memakan uang rakyat? Pelaku korupsi itu saja dihukum ringan, sedangkan aku---aku dihukum dengan diasingkan bahkan dianggap lebih hina dari manusia lain.
Tidak ada yang memahami perasaanku. Siapa yang mau kecanduan judi? Siapa yang mau dibenci orang satu kampung? Siapa yang mau diusir dari rumah? Seandainya aku terlahir kaya, tentu aku tidak berjudi.
Hidup ini begitu berat menghukum aku yang tidak punya apa-apa sehingga aku harus berjudi. Dan sekarang, dunia ini bahkan menganggapku tidak layak berada di dalamnya. Ah, mungkin kematian adalah tempatku pulang. Sepertinya tali ikat pinggang ini akan dengan sukarela menemaniku ke sana.
Baiklah. Selamat tinggal, Ayah. Ali, anakmu yang seorang pecandu ini, akan pulang ke rumah sahabatnya, yaitu kematian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H