Ini bukan kisah cinta seperti yang kalian harapkan. Bukan tentang penerimaan apa adanya, bukan pula penolakan dramatis yang sering ditawarkan kisah cinta lainnya.Â
Ini hanyalah sebuah cinta biasa---cinta yang tumbuh, lalu mati begitu saja. Ini adalah kisah seorang pria biasa yang mencoba memetik bunga sempurna bernama Natalia.
Aku adalah seorang pemuda biasa dari pedesaan, tumbuh dalam keluarga yang tidak banyak menawarkan keistimewaan. Ayahku adalah mantan narapidana, dipenjara karena menjadi penadah barang curian.Â
Ibuku, seorang ibu rumah tangga, menjadi wanita yang kuat karena keadaan. Ia bertekad agar anak-anaknya tidak menjadi seperti suaminya. Tentang adikku, itu cerita lain yang mungkin akan kuceritakan nanti.
Sebagai anak pertama di keluarga seperti ini, tuntutan yang kuhadapi sulit kalian bayangkan. Aku selalu dituntut untuk menjadi sempurna, untuk memahami apa yang mereka pikirkan tanpa pernah dipahami oleh siapa pun.Â
Kehidupan seperti ini membentukku menjadi pribadi sederhana dalam penampilan, namun memberontak dalam pola pikir dan hidup. Di kalangan teman-teman, aku pun sering tak dianggap, malah menjadi bahan tertawaan. Tak ada yang benar-benar memahami diriku. Mereka hanya ingin mengejek dan mencemoohku.
Terkadang, aku berpikir seandainya aku bisa kembali ke masa lalu, mungkin aku bisa mengubah semuanya. Namun, ini bukan dunia hayalanku. Ini dunia nyata yang menuntutku untuk terus terjaga.Â
Kadang aku ingin sekali melompat dari jembatan atau menabrakkan diri ke kereta api---seperti orang-orang yang berani mengakhiri hidup mereka demi terbebas dari dunia yang begitu kejam.Â
Bagi orang lain, bunuh diri mungkin hina dan dianggap tindakan orang bodoh. Tapi bagiku, mereka pemberani yang rela meninggalkan kepedihan yang mereka derita.
Aku pernah ingin menjadi pemberani seperti mereka, tapi suatu momen mengubah segalanya.
Hari itu, seperti biasa, aku mencoba mencari waktu yang tepat untuk mengakhiri hidupku. Aku berdiri di atas jembatan, memandang kosong ke bawah, seolah-olah pelukan sungai di bawah sana memanggilku.Â
Namun, saat aku hampir melompat, tiba-tiba terdengar teriakan, "Aaahhh! Tolong!" Suara tajam itu membuatku tersadar dan segera berlari menuju sumber suara.
Di sana, aku melihat seorang wanita dikepung dua pria berbadan gempal. "Jangan mendekat!" teriaknya sambil mengayunkan tas ke arah mereka.Â
"Udah, Mbak. Kita tahu juga Mbak pasti mau, kan?" ejek salah satu pria sambil mencoba menangkapnya. "Jangan dekat-dekat! Tolong!" serunya lagi.
Awalnya, aku hanya ingin melihat dari kejauhan, tapi entah bagaimana aku sudah berlari dan menendang salah satu pria hingga tersungkur. Melihat itu, temannya mencoba memukulku, tapi aku berhasil menghindar dan membuat mereka kabur.
"Mbak nggak apa-apa?" tanyaku sambil memberikan tasnya yang terjatuh.
"Oh, nggak apa-apa. Terima kasih ya, Mas," jawabnya sambil tersenyum.
"Iya, Mbak. Sama-sama."
Kami pun berjalan bersama menuju halte bus terdekat. Dalam perbincangan itu, aku mengetahui namanya Natalia, seorang gadis manis dari Maluku yang merantau ke kota ini demi mengadu nasib. Sayangnya, bukannya membaik, ia malah ditipu oleh temannya sendiri hingga terjebak menjadi seorang gadis malam di tempat karaoke.
"Yah, begitulah dunia ini. Nggak ada baik-baiknya buat pemeran pendukung seperti kita," kataku mencoba menguatkan hatinya. Natalia mengangguk sambil tersenyum.
***
Sejak saat itu, kami sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Natalia adalah satu-satunya orang yang membuatku merasa dimengerti. Namun, beberapa bulan terakhir, aku melihatnya sering murung. Aku bertanya apakah ada yang bisa kubantu.
"Ini soal ibuku. Beliau masuk rumah sakit dan memerlukan biaya besar untuk operasi, tapi aku nggak punya uang," jawabnya sambil mulai menangis.
Melihat itu, aku tanpa berpikir panjang berkata, "Berapa yang dibutuhkan, Nat?" Aku menggenggam tangannya yang lembut.
"Mungkin sekitar 30 juta lebih," katanya sambil menjelaskan. Aku kembali menggenggam tangannya, menatap matanya, dan berkata bahwa aku akan membantu biaya pengobatan ibunya. Natalia menangis tersedu-sedu, mengucapkan terima kasih karena telah mau menolongnya.
Setelah pulang, aku mentransfer semua tabunganku, lebih dari 35 juta, ke rekening yang Natalia berikan. Aku mengabari Natalia bahwa biayanya sudah aku tanggung, agar ia tidak bersedih lagi.Â
Namun, pesanku tidak dibalas. Teleponku juga tidak diangkat. Setelah mencoba berkali-kali, aku bertanya pada temanku tentang nomor Natalia. Ternyata, nomorku telah diblokir.
Beberapa hari kemudian, aku baru mengetahui bahwa Natalia adalah seorang buronan polisi. Ia seorang penipu.
***
Aku tidak menyesali uangku yang hilang. Aku juga tidak menyesali cintaku yang tulus kepada Natalia. Yang aku sadari adalah aku memang sendirian di dunia ini.Â
Tidak ada yang benar-benar mencintaiku, tidak ada yang benar-benar mengerti aku. Aku hanyalah manusia yang bahkan gagal menjadi manusia.
Pada akhirnya, jembatan merah itu tetap menungguku. Tiang-tiangnya yang kokoh bagai saksi bisu dari keraguan dan keputusanku.Â
Angin yang menerpa wajahku terasa seperti panggilan dari dunia yang lebih damai. Aku berdiri di sana, memandang ke bawah, membayangkan air yang melingkupiku, menelan seluruh rasa sakitku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H