Sejak saat itu, kami sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Natalia adalah satu-satunya orang yang membuatku merasa dimengerti. Namun, beberapa bulan terakhir, aku melihatnya sering murung. Aku bertanya apakah ada yang bisa kubantu.
"Ini soal ibuku. Beliau masuk rumah sakit dan memerlukan biaya besar untuk operasi, tapi aku nggak punya uang," jawabnya sambil mulai menangis.
Melihat itu, aku tanpa berpikir panjang berkata, "Berapa yang dibutuhkan, Nat?" Aku menggenggam tangannya yang lembut.
"Mungkin sekitar 30 juta lebih," katanya sambil menjelaskan. Aku kembali menggenggam tangannya, menatap matanya, dan berkata bahwa aku akan membantu biaya pengobatan ibunya. Natalia menangis tersedu-sedu, mengucapkan terima kasih karena telah mau menolongnya.
Setelah pulang, aku mentransfer semua tabunganku, lebih dari 35 juta, ke rekening yang Natalia berikan. Aku mengabari Natalia bahwa biayanya sudah aku tanggung, agar ia tidak bersedih lagi.Â
Namun, pesanku tidak dibalas. Teleponku juga tidak diangkat. Setelah mencoba berkali-kali, aku bertanya pada temanku tentang nomor Natalia. Ternyata, nomorku telah diblokir.
Beberapa hari kemudian, aku baru mengetahui bahwa Natalia adalah seorang buronan polisi. Ia seorang penipu.
***
Aku tidak menyesali uangku yang hilang. Aku juga tidak menyesali cintaku yang tulus kepada Natalia. Yang aku sadari adalah aku memang sendirian di dunia ini.Â
Tidak ada yang benar-benar mencintaiku, tidak ada yang benar-benar mengerti aku. Aku hanyalah manusia yang bahkan gagal menjadi manusia.
Pada akhirnya, jembatan merah itu tetap menungguku. Tiang-tiangnya yang kokoh bagai saksi bisu dari keraguan dan keputusanku.Â