Pagi itu, aku terbangun karena suara ketukan keras dari arah pintu kamarku. Dengan sedikit malas, aku melangkah gontai menuju pintu tersebut. Ketika pintu itu terbuka, tiba-tiba aku ditarik keluar oleh seseorang yang aku kenal.
"Diri, kamu nggak papa kan?" tanya seorang gadis manis bernama Bu, yang aku kenal di lapangan balai kota ketika kami melakukan aksi massa kemarin.
"Kenapa emangnya, Bu?"
"Itu, Dir, tadi anak-anak yang ikut aksi massa kemarin katanya mau dihabisin semua."
"Apa???" teriakku kaget. "Lalu Nuh di mana sekarang?"
"Aku nggak tahu, aku pikir Nuh sama kamu," jawab Bu sambil menatap cemas ke arahku.
"Loh, kemarin dia bilang sama aku dia mau pergi rapat sama anak-anak HMI buat lanjutin aksi massa di istana."
"Enggak ada, Dir. Dari kemarin aku sama anak-anak nggak ada ketemu sama Nuh," tegas Bu, matanya mulai berair karena cemas.
"Yaudah, aku ganti pakaian dulu, baru kita cari Nuh sama-sama."
Setelah berganti pakaian, aku dan Bu mulai mencari Nuh. Kami mulai dari kafe tempat kami biasa berdiskusi, hingga ke kos tempat Nuh biasa menginap. Semua tempat itu kami datangi, namun Nuh tetap tak kami temukan. Aku semakin was-was, karena memang beberapa demonstran seperti Bu, Nuh, dan aku menjadi incaran perusahaan yang kami tuntut kebijakannya.
Setelah hampir satu malam mencari, kami masih belum menemukan titik terang tentang di mana Nuh berada.
"Dir, gimana ini? Nuh masih belum ketemu, nomor HP-nya juga nggak aktif. Aku takut, Dir, kalau-kalau dia dibu..." Bu terisak.
"Hus, jangan ngomong sembarangan, kamu. Aku yakin Nuh nggak apa-apa," jawabku, berusaha tetap tenang meskipun dalam hati cemas.
"Dir, gimana kalau kita lapor polisi aja?" kata Bu sambil menatapku dalam-dalam, berharap aku menyetujuinya. Aku hanya diam, berurusan dengan aparat bagi aku sama saja seperti berurusan dengan teka-teki yang sulit diselesaikan.
"Dir, gimana? Aku khawatir sama Nuh."
Aku menarik napas dalam-dalam, menyalakan rokok yang sejak tadi aku pegang. "Lo bisa diam nggak sih, Bu? Gue juga masih mikir, tuh anak kemana," jawabku mulai kasar. Sebenarnya, aku sangat khawatir tentang di mana Nuh berada, tapi aku mencoba tetap tenang, karena selain masalah Nuh, kami juga punya permasalahan lain yang harus diurusi. Tuntutan kami kepada pemerintah dan perusahaan untuk membebaskan tiga petani yang dituduh mencuri belum dikabulkan. Dan sekarang, muncul masalah baru: Nuh, yang menjadi pimpinan aksi massa ini, menghilang.
"Dir, kita lapor polisi aja, ya?" kata Bu, memecahkan lamunanku.
"Yaudah, Bu. Kayaknya memang nggak ada jalan lain selain lapor polisi."
Kami memutuskan untuk pergi ke kantor polisi terdekat untuk melaporkan hilangnya Nuh. Dalam perjalanan ke kantor polisi dengan kecepatan tinggi, aku dan Bu tidak sengaja menabrak sebuah karung pasir yang membuat kami terjatuh dan terpental cukup jauh. Dengan sedikit kesakitan, aku bangkit untuk menolong Bu. Dari kejauhan, aku melihat Bu sedang menangis sejadi-jadinya sambil menunjuk-nunjuk ke arah karung yang kami tabrak tadi.
Aku mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Bu, namun masih belum jelas yang aku dengar selain tangisannya yang semakin menjadi-jadi. Setelah cukup dekat, aku akhirnya bisa melihat apa yang terjadi. Tanpa kuasa menahan perutku yang mendadak mual, aku melihat kepala Nuh sedikit menonjol keluar dari karung yang kami tabrak tadi.
"Diri, Nuh sudah mati sekarang," kata Bu dengan suara terisak.
"Aku juga nggak tahu, Bu," jawabku lemas.
Aku merasa hampa. Semua yang menimpa diriku dan teman-temanku terasa begitu kejam. Aku baru menyadari bahwa kebenaran yang kami cari telah meninggal bersama Bu, Nuh, dan diriku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI