Mohon tunggu...
Julie Chou
Julie Chou Mohon Tunggu... Jurnalis - short strory author

aku adalah apa yang kamu baca, yang kamu kira, yang kamu suka, juga yang tidak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Kado Terindah] Potret

13 Oktober 2019   21:02 Diperbarui: 14 Oktober 2019   09:31 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pandu, aku udah kenyang, habisin ya."


Jepret!!


Satu buah fotonya tersimpan di ponselku. Dia yang menyodorkan setengah mangkuk mie ayam, yang sudah diacak-acak isinya. Wajah bulatnya dengan sapuan make-up tipis berwarna coral. Dia selalu terlihat begitu cantik meski sedang memonyongkan bibirnya seperti saat ini.


"Pandu, abisin gih. Mubadzir loh." pintanya untuk yang kedua kali.


"Tau mubadzir, tapi pesen porsi jumbo juga."


"Aku nggak boleh makan banyak, nanti kebayaku nggak muat."


"Biarin aja gendut, biar Erlangga nggak jadi nikahin kamu." aku tertawa terbahak-bahak.


"Kamu kok jahat banget sih, kamu aja yang jomblo sampe lumutan. Kuliah nggak lulus-lulus, kemana-mana sama kamera. Kelarin kuliah kek, nyari kerjaan yang bener, dapet cewek yang tulus sayang sama kamu, nikah, lalu..."


Suaranya menggantung di udara. Percakapan ini, tempat ini, mangkuk mie ayam yang isinya setangah berantakan. Emilia yang memakai kemeja putih favoritnya, rambutnya yang sepunggung dia biarkan tergerai, make-up berwarna coral. Dia yang menceramahiku dengan kecepatan tak hingga dalam hitungan menit. Ini sama, persis. Aku menyentuh ujung bibirnya dengan jariku.


"Pandu, setelah aku nikah kamu nggak boleh pegang-pegang sembarangan." dia menepisku, nyata sekali.


Baiklah, aku tidak sedang bermimpi kali ini.


***


"Selamat malam, Pandu. Tidurlah, matamu butuh diistirahatkan."


"Kamu ngapain di sini? Kalau Erlangga tahu dia akan membunuhku." aku tertawa, entah kenapa setiap menyebut nama Erlangga aku tidak bisa menahan tawa.


"Kamu yang selalu membawaku ke sini, bagaimana aku bisa pergi. Tidurlah." dia mengecup bibirku lembut.


Aku pernah merasakan ini, bibirnya yang manis yang kusesap terus menerus, sampai dia yang mengakhiri ciuman kita. Sakit, katanya. 

Aku pernah merasakan ini, mendekapnya di lengan kiriku, membiarkan dia terlelap dengan wajah teduh yang kupandang terus sampai subuh. Sampai aku lupa bahwa aku sama sekali tidak memejamkan mata semalaman.

 Aku pernah merasakan ini, persis, sama. Aku menyentuh ujung bibirnya dengan jariku, dia diam, tidak memarahiku seperti tadi siang. Aku menciumnya, lagi dan lagi.


* * *


"Bisa bertemu hari ini? Di cafe Terserah dekat kantormu."


Sebuah pesan singkat aku kirim kepadanya, jam diponselku menunjukkan angka 14.45. 

Masih ada waktu untuk mencari alasan ke Erlangga untuk menemuiku, jika Emilia mau.


"Aku sudah janji dengan Erlangga untuk makan malam di rumahnya hari ini. Mamanya ulang tahun, maaf. Mungkin besok kita bisa ketemu."


"Oke, aku di cafe Terserah sampai jam 7an. Datang saja kalo berubah pikiran."


"Traktir ya, cheesecake dan matcha."


"Ingat gaun pengantinmu. Wkwkwkwk"


"Lupa tuh. Hahaha."


"Oke, aku traktir. Datang kalo berubah pikiran."


* * *


Cafe Terserah jam setengah lima sore


Emilia datang, memakai kemeja merah berlengan pendek, dengan rok hitam selutut yang membungkus tubuh indahnya. Sapuan tipis make-up berwarna coral yang hampir pudar.Dia tersenyum ke arahku, melambaikan tangan kanannya.


Jepret!!!


Aku mengambil fotonya lagi dan lagi. Sampai tangan kanannya mengambil kameraku saat ia sampai di meja paling ujung Cafe Terserah.


"Berhentilah mengambil fotoku, model-model yang kamu foto itu jauh lebih cantik dan sexy."


"Nanti juga aku berhenti, setelah aku mengabadikan foto2 pernikahanmu dengan Erlangga." Aku tersenyum kali ini, tidak lagi tertawa.


"Kamu baik-baik aja kan, Ndu?"


"Apa aku terlihat tidak baik-baik saja?"


"Berhentilah mengencani model-model yang berbeda setiap minggunya. Coba nyari cewek yang bener-bener sayang sama kamu, nggak main-main terus."


"Udah coba, tapi ceweknya nggak mau."


"Pandu! Aku serius!." Dia mendelik ke arahku.


"Tenanglah, aku nggak masalah. Mereka yang selalu mau sama aku. Aku maunya cuma sama kamu, kamunya nggak mau. Terus gimana lagi?" aku mengacak rambutnya, dia diam dan menatapku, tatapan kosong yang tak bisa kutebak.


"Sudah." katanya, ketika aku mulai mengambil kameraku lagi. Aku menurut, tatapannya seolah membekukan waktu, membekukan aku.


"Minggu depan hari pernikahanku, tolong jangan membuatku sulit melangkah ke lembaran baru dalam hidupku." senja yang menembus jendela, jatuh tepat di sisi kiri wajahnya, rona jingga membuat wajahnya terlihat lebih hangat, barangkali begini rupa malaikat. Aku mengambil kameraku lagi, kali ini dia tidak mencegah.


"Pandu, bagaimana bisa aku melangkah dan meninggalkanmu seperti ini? Aku nggak mungkin... Nggak...." dia tertunduk, aku menangkap air mata yang meluncur dari kedua matanya.


"Jangan menangis di sini. Jangan membuat semua orang melihatku seperti bajingan." aku tersenyum kecut. "Aku duduk dan merokok di teras rumahmu saja aku sudah terlihat seperti bajingan, apalagi sampai membuatmu menangis." lanjutku lagi sambil menepuk lembut puncak kepalanya.


"Karena rambutmu gondrong waktu itu, Papa nggak percaya kamu teman kampusku." dia tertawa kecil, "Saat aku kecil aku selalu ditakut-takuti kalau penculik itu berambut gondrong dan pakai Jeep. Pokoknya kesanmu pertama datang ke rumah itu seperti penculik."


"Hmmmm, makanya Erlangga datang kesana dengan baju rapi dan Camry. Kesannya gimana kata Papamu?"


"Jangan mulai deh, aku ngambek nih."


"Udah mau jam 6, sana cuci muka, rapiin make-up. Habis gini Erlangga jemput kan!?"


"Hemh, Oke." dia melangkah dengan berat.


Jam 6 tepat, mobil Erlangga sudah memasuki parkiran. Dia memang lelaki yang luar biasa. Tepat waktu, selalu menunjukkan sisi yang baik, lembut, itu juga yang membuatku khawatir. Lelaki yang selalu menunjukkan sisi baiknya, tanpa pernah menunjukkan celanya lebih berbahaya daripada lelaki yang terang-terangan terlihat seperti bajingan.


Percayalah, aku pernah melihat kilatan gelap dan sisi lain dari Erlangga. Aku hanya belum cukup yakin untuk meyakinkan Emilia tentang itu.


"Pandu, aku pergi dulu. Minggu depan hari pernikahanku. Tolong kita tidak usah ketemu dulu."


"Lima hari lagi ulang tahunku, kalau kamu belum lupa."


"Aku tahu..."


***
"Kenapa kau datang kesini tanpa mengganti baju?"


"Aku sempatkan ke sini sebentar, aku rindu."


Kemeja merah berlengan pendek yang sama, lipstik dan blush-on berwarna jingga, bekas pantulan senja dari jendela. Dia persis sama dengan yang kutemui kemarin sore.


"Erlangga benar-benar akan membunuhku, kali ini."


"Kau takut?"


"Tidak, aku lebih mengkhawatirkanmu."


"Itulah kenapa aku mencintaimu. Kau mencintaiku lebih dari nyawamu. Dia tidak."


"Aku tahu, tidurlah Emilia, dadaku selalu bisa kau sebut rumah."


Dia terlelap dengan cara yang sama, aku menyentuh ujung bibirnya, nyata.


***


"Sejak kapan?" tanyanya.


"Sejak kamu jadi mahasiswa baru, dengan baju hitam putih dan kuncir lima."


"Kenapa?"


"Awalnya aku menyukaimu hanya sebagai objek pasif yang paling dicari kameraku. Pertama kali aku mencetak fotomu dan menempelkan di dinding kamar apartemenku. Aku kecanduan. Aku terus ingin mendekatimu, dan entah kapan aku sadar aku jatuh cinta."


"Kau gila." dia mengedarkan pandangan ke sekeliling.


"Tapi kau menyukainya, kan!? Kalau kau tidak suka, kau tidak akan datang berkali-kali."


"Aku mau mengantarkan ini." dia menyerahkan sebuah kotak kecil. "Bukalah, hanya ini yang bisa kuberikan di hari ulang tahunmu."


"Jam tangan?" Aku mengeluarkan jam tangan berwarna hitam, mengamatinya, membolak-baliknya, "Jam ini mati?" tanyaku lagi.


"Nggak, Ndu. Jam tangan itu nggak mati. Jarum penunjuk waktu ada padaku. Kamu memenjarakan waktu dalam setiap potret-potretku. Aku mohon, berbahagialah untukku. Anggap itu permintaan untuk hadiah pernikahanku."


"Emilia... Tinggallah malam ini."


"Nggak bisa ndu, aku lusa nikah. Banyak hal yang aku siapkan."


"Emilia..." aku menyentuh ujung bibirnya dengan jariku, dia tidak menepis, tetapi menangis.


"Aku nyata kali ini. Aku minta ijin untuk menjalani babak baru dalam hidupku. Berjanjilah kau akan melakukan hal yang sama."


Aku tersenyum, aku tidak bisa dan tidak biasa menangis. Tidak di depannya, entah nyata atau delusiku. Aku hanya ingin tetap tersenyum di depannya.


"Terimakasih kadonya, aku suka." aku menciumnya, dingin, barangkali AC di kamarku terlalu dingin, dia memucat.


***


Aku melihat hasil fotoku hari ini, perempuan manisku dengan baju pengantin putih, tanpa pengantin prianya tentu saja. 

Dari dulu, hanya Emilia yang menghuni setiap sudut dinding apartemenku, setiap folderku, setiap memoryku, isi kepalaku dan tentu saja isi hatiku.


Aku melihat seorang perempuan berkulit putih dengan rambut pirang setengah basah keluar dari kamar mandi. Handuknya ia ikat asal saja, hampir terjatuh setiap dia melangkah, mendekat. Tangan kanannya berusaha menjaga handuknya agar tidak jatuh, aku pernah melihat ini sebelumnya. Entah dimana, aku lupa, kepalaku terasa begitu berat.


"Kamu siapa?" tanyaku entah sadar atau tidak.


"Aku Amelia."


"Bisakah kau menjadi Emilia saja malam ini."


Pertanyaan ini, tempat ini, keadaan ini, rasanya aku pernah mendapati yang persis sama sebelumnya. Dengan Luna, Tiara, Erica, Veronica dan entah siapa lagi model-model yang memaksa masuk ke apartemenku.


"Siapa Emilia?"


"Kekasihku, yang hidup dalam potret-potret itu. Kemarilah, akan kuceritakan tentang dia."


Semangkuk mie ayam yang isinya tinggal setengah, sudut-sudut cafe Terserah, setiap sisi kampus, senyumnya, aroma parfumnya. Bagian mana dulu yang harus aku mulai. Dia memberiku kado penunjuk waktu, tetapi jarumnya lupa ia kembalikan ke tempat semestinya. Waktu di tempatku mati. Tapi dia selalu hidup dalam setiap potret-potretku. Nyata, di sana,abadi.

Kau tahu Emilia, tidak ada hal yang lebih berharga yang pernah kau berikan kepadaku selain waktu. Waktu yang kau curi dari siapa saja, hanya untuk menemuiku. Waktu yang kau manipulasi sedemikian rupa hanya untuk bersamaku. Detik, menit, jam, hari hingga menjadi tahun yang kubekukan dalam setiap potret-potretmu. Tidak ada yang lebih berharga dari itu. Hanya ini caraku untuk tetap memilikimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun