"Rasanya kita tidak usah berhubungan sama sekali. Kau tahu... Aku...."
"Aku rasa itu lebih baik. Kita tidak perlu saling menyalahkan soal yang kemarin. Mungkin, kita sengaja dipertemukan lagi dengan segala sesuatu yang berbeda dengan sebuah tujuan." Aku tetap memandang lurus-lurus ke depan. Di depan buram. Itukah masa depan?
"Tidak semuanya yang berbeda, masih banyak yang sama."
"Tapi tidak cukup untuk membuat bersama."
Hening. Bahkan aku tidak tahu, apakah detik sudah berhenti? Tidak ada suara musik, tidak ada suara rintik.
"Apa kautahu? Aku sering mendengar lagu ini dalam setiap percakapan-percakapan kosong yang memenuhi kotak pesan kita. Lagu yang kau putar dalam alunan paling senyap, sampai aku hafal liriknya, lalu aku mulai mencarinya, menyimpannya, dan mendengarkannya hanya denganmu?" Kalimatnya lirih, lebih lirih dari gema lirik-lirik lagu yang menyelimuti kami.
I hate myself for loving you
Can't break free from the things that you do
I wanna walk but I run back to you, that's why
I hate myself for loving you
Lagu itu ia putar lagi dan lagi, detik bergerak pelan, pelan sekali, tetapi bergerak maju, normal.
Terkadang, Tuhan memberikan kesempatan lagi di waktu yang berbeda, agar kita belajar, agar lebih memahami, agar kita mengerti. Dan mungkin Tuhan memberikan satu kesempatan lagi untuk bermimpi, bukan memiliki. Karena terkadang, ada beberapa hal yang hanya menjadi mimpi, dan harus selesai saat kita terbangun.
* * *
Januari, hujan mengguyur sepanjang hari, aku duduk membelakangi jendela buram, membolak-balik halaman buku yang kuperolah sebagai hadiah untuk karangan-karanganku. Jendela kamarku basah, mengembun, buram, itukah masa depan? Tidak. Itu masa lalu.