Mohon tunggu...
Julie Chou
Julie Chou Mohon Tunggu... Jurnalis - short strory author

aku adalah apa yang kamu baca, yang kamu kira, yang kamu suka, juga yang tidak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Rose RTC] Morpheus (Lelaki Beraroma Musk dan Cengkeh)

17 September 2016   23:16 Diperbarui: 18 September 2016   00:01 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan itu kembali menapakkan kaki-kaki telanjangnya di atas rumput yang baru saja dibangunkan hujan awal Desember. Hujan, selalu punya daya hipnotis sendiri, ketika ia turun menjadi gerimis, ketika ia menguarkan aroma tanah basah yang menenangkan. Tetapi, yang menyihir perempuan itu bukan tentang hujan, bukan tentang aroma tanah basah, ada yang lebih ia rindukan dari itu, aroma musk.

“Aku bersusah payah sampai ke tempat ini.” Suaranya riang ketika ia yakin yang sedang berdiri di hadapannya adalah orang yang sedang ia cari.

“Sesulit apa menemukanku di saat hujan?”

“Lebih sulit daripada saat kau pertama menemuiku lewat angin kering pertengahan Agustus kemarin.” Perempuan itu tersenyum, berjalan mendekat, lalu mendekap, menghirup dan mengisi paru-parunya dengan aroma musk. Aroma yang paling disenanginya akhir-akhir ini.

“Duduklah, aku akan membuatkan teh kesukaanmu.” Lelaki itu melonggarkan dekapan dari perempuan itu, membimbingnya ke sebuah tempat duduk dari kayu yang dipahat kasar.

Beberapa menit lamanya, lelaki itu berdiri menatap perempuan di depannya. Perempuan cantik berkulit seperti pualam, dengan bibir seperti kelopak mawar, rambutnya setengah basah karena ia baru saja berjalan di bawah hujan, kakinya agak kotor terkena cipratan lumpur.

“Aku akan membersihkan dirimu.” Kata si lelaki mendekat, meletakkan dua cangkir teh dengan aroma cengkeh yang masih mengepulkan asap putih tipis ke udara.

Lelaki itu kembali, membawa handuk dan air bersih, mengeringkan rambut perempuan itu, lalu membersihkan kakinya.

“Terimakasih.” Perempuan itu tersenyum, kedua tangannya memegang erat cangkir teh beraroma cengkeh, berusaha memindahkan rasa hangat ke tubuhnya.

Sementara di luar, hujan masih berdenting-denting di atas genting. Lelaki itu membuka masing-masing jendela dan pintu rumahnya. Membiarkan aroma tanah basah, rumput, bunga, juga bangkai berebut meniup cuping hidung perempuan itu. Mencoba mengalihkannya dari aroma musk dan cengkeh yang telah memenuhi paru-parunya.

***

September, entah kenapa angin-angin kering kadang berselisih dengan gerimis. Entah kenapa, musim menjadi sekacau itu. Perempuan itu juga masih berselisih dengan hatinya, berselisih dengan pandangan orang-orang di luar sana.

“Dia bukan lelaki itu.” Kalimat itu meluncur ketika suaminya duduk di sebelahnya.

Meski suaminya telah menyiram sekujur tubuhnya dengan aroma musk, juga membawa secangkir teh beraroma cengkeh. Tetapi yang ia butuhkan bukan sekedar aroma, ia butuh sosok itu, sosok yang mengaku bernama Morpheus, sosok yang menamai dirinya sebagai Dewa Mimpi.

“Keluargaku berpikir bisa menipuku, Mbok. Dengan menghadirkan laki-laki itu di sini. Aku memang tidak bisa melihat dengan mataku, tetapi aku punya cara untuk mengenali. Aku mau ke kamar, Mbok, tolong bawakan tehku.” Perempuan itu berdiri, berjalan ke kamarnya, meninggalkan Mbok Darmi yang memandanginya dengan sedih.

Perempuan itu lebih senang menikmati aroma musk sendirian, juga menyesap teh cengkeh sendirian. Dia tak lagi berharap banyak, tidak pada hujan, tidak pada angin, tidak pada bulan dan musim apa pun.

Tetapi ia tidak pernah membenci Morpheus, dewa mimpinya. Ia selalu memenuhi hatinya dengan cinta, cinta yang sama besar setiap harinya. Ia juga selalu memenuhi rongga dadanya dengan aroma musk, aroma yang membuatnya merasa hidup, membuatnya merasa bahwa ia masih mendekap Morpheus, merasakan denyut jantung lelaki itu dan jantungnya sendiri bersatu.

Ia juga selalu meminta Mbok Darmi menambahkan cengkeh pada teh dan masakannya. Perempuan itu sangat menyukai cengkeh ketika bersanding dengan aroma musk. Aroma yang membuatnya tenang, aroma yang membuatnya menangis juga tersenyum. Aroma yang membuatnya melayang, ke dunia mimpi, dalam tidur yang ia ninabobokkan sendiri.

***

Namaku Morpheus, bukan nama asliku, tetapi aku suka nama itu. Seperti Dewa Mimpi, yang mampu berubah menjadi manusia apa saja. Aku pernah menjadi lelaki yang sangat ia cintai, pemilik bibir kelopak mawar. Perempuan yang membuka kelopak matanya, tanpa bisa melihat warna apa pun. Perempuan yang telah menjadikanku seperti morfin, yang terus menerus ia suntikkan ke dalam dirinya sendiri.

Kata orang, cinta itu buta, aku ingin tahu bagaimana cinta bekerja pada gadis buta. Lalu, aku berubah menjadi lelaki paling brengsek untuknya. Aku telah menuliskan sebuah prolog padanya, yang aku tinggalkan begitu saja. Cerita itu ia lanjutkan sendiri, keluarganya bingung menemukan epilog yang tepat. Epilog untuk sebuah cerita yang pernah aku mulai.

Keluarganya mengambil sosok acak begitu saja, mencelupkan ke dalam minyak musk, berharap bisa menipu perempuan itu. Tetapi cinta tidak buta, kali ini aku percaya cinta tidak buta, dia bisa melihat dan membedakan.

Dulu, dia menemukanku karena wangi musk, dia duduk di sampingku karena aroma cengkeh. Aku berusaha meninggalkan keduanya, menanggalkan aroma apa pun agar tidak tercium, agar tidak ia temukan. Sebab aku hanya ingin menjadi mimpinya. Tetapi, aku salah, merasa bersalah, aku tidak hanya ingin menjadi mimpinya. Aku ingin kembali, tanpa aroma apa pun, tanpa tanda apa pun, membenarkan masing-masing cerita, dan menuntaskan epilognya.

Aku ingin berhenti menjadi dewa mimpi

Yang menyapamu dalam wujud apa saja

Berhenti menjadi aroma yang membuat

dadamu sesak oleh rindu

Meski mungkin aku belum benar

Aku hanya ingin mencintaimu dengan benar

logo RTC
logo RTC
Karya ini diikutsertakan untuk mengikuti Event Romansa September RTC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun