Perempuan itu kembali menapakkan kaki-kaki telanjangnya di atas rumput yang baru saja dibangunkan hujan awal Desember. Hujan, selalu punya daya hipnotis sendiri, ketika ia turun menjadi gerimis, ketika ia menguarkan aroma tanah basah yang menenangkan. Tetapi, yang menyihir perempuan itu bukan tentang hujan, bukan tentang aroma tanah basah, ada yang lebih ia rindukan dari itu, aroma musk.
“Aku bersusah payah sampai ke tempat ini.” Suaranya riang ketika ia yakin yang sedang berdiri di hadapannya adalah orang yang sedang ia cari.
“Sesulit apa menemukanku di saat hujan?”
“Lebih sulit daripada saat kau pertama menemuiku lewat angin kering pertengahan Agustus kemarin.” Perempuan itu tersenyum, berjalan mendekat, lalu mendekap, menghirup dan mengisi paru-parunya dengan aroma musk. Aroma yang paling disenanginya akhir-akhir ini.
“Duduklah, aku akan membuatkan teh kesukaanmu.” Lelaki itu melonggarkan dekapan dari perempuan itu, membimbingnya ke sebuah tempat duduk dari kayu yang dipahat kasar.
Beberapa menit lamanya, lelaki itu berdiri menatap perempuan di depannya. Perempuan cantik berkulit seperti pualam, dengan bibir seperti kelopak mawar, rambutnya setengah basah karena ia baru saja berjalan di bawah hujan, kakinya agak kotor terkena cipratan lumpur.
“Aku akan membersihkan dirimu.” Kata si lelaki mendekat, meletakkan dua cangkir teh dengan aroma cengkeh yang masih mengepulkan asap putih tipis ke udara.
Lelaki itu kembali, membawa handuk dan air bersih, mengeringkan rambut perempuan itu, lalu membersihkan kakinya.
“Terimakasih.” Perempuan itu tersenyum, kedua tangannya memegang erat cangkir teh beraroma cengkeh, berusaha memindahkan rasa hangat ke tubuhnya.
Sementara di luar, hujan masih berdenting-denting di atas genting. Lelaki itu membuka masing-masing jendela dan pintu rumahnya. Membiarkan aroma tanah basah, rumput, bunga, juga bangkai berebut meniup cuping hidung perempuan itu. Mencoba mengalihkannya dari aroma musk dan cengkeh yang telah memenuhi paru-parunya.
***