Mohon tunggu...
Julita Hasanah
Julita Hasanah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Masih Mahasiswa

A Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anjay! Ini Makna Baru Resepsi Pasca Pandemi

1 September 2020   13:44 Diperbarui: 2 September 2020   01:24 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernikahan tanpa resepsi mewah bagai sayur tanpa garam. Digelar di gedung bernuansa tradisional hingga modern. Dihiasi ragam makanan nusantara atau menu kebarat-baratan. Agar lebih meriah, diundang pula penyanyi yang sudah punya nama. Semua hadirin bersuka cita kecuali sepasang pengantin yang dibayang-bayangi berbagai tagihan.

Begitulah kira-kira resepsi pernikahan sebelum dilanda pandemi. Resepsi memang tak mengikat.Tak ada aturan tertulis yang mewajibkan sepasang pengantin untuk melaksanakannya di gedung megah, ataupun harus menyediakan sajian bergengsi yang mampu menggoyang lidah.  

Tapi kenyataanya "mulut tetangga" dan lingkungan sosial membelenggu kita untuk menyiapkan resepsi pernikahan layak sesuai standar mereka.

Saya pernah menemani Ibu ke resepsi pernikahan bersama para Ibu-ibu lainnya. Di tengah mempelai yang sedang berbahagia di pelaminan, ibu-ibu ini sibuk mengomentari menu bakso yang disuguhkan hanya karena dirasa kurang layak. Meski saat itu saya masih berumur 10 tahun, apa yang terjadi kala itu masih melekat sempurna. Ditambah di sepanjang perjalanan pulang, nyinyiran dan gunjingan soal bakso tak kunjung usai.

Jadi saat saya menyaksikan sosok Bu Tedjo yang kini tengah viral, sosok tersebut sangat familiar karena banyak Bu Tedjo-tedjo lainnya di sekitar kita. Mungkin kita temui saat ke pasar, saat rapat kantor, atau ketika datang pengajian mingguan.

Resepsi antara "Si Miskin dan Si Kaya"

Satu hal yang saya benci mengenai resepsi adalah bagaimana perayaan pernikahan ini menjadi sebuah identitas kelas sosial. Misalnya jika resepsi meriah, orang akan menggolongkan keluarga yang menikah kaum terpandang. Begitu juga sebaliknya, resepsi yang sederhana akan dimaklumi karena yang menikah hanya dari kalangan biasa.

Budaya mencap dan memberi stempel kaya dan miskin memang sudah mendarah daging ya ?

Tahun 2019 lalu kita sama-sama tahu bagaimana sosial media sangat memengaruhi keputusan masyarakat dalam menjalani kehidupan. 

Terlebih dengan berjamurnya tayangan-tayangan kehidupan artis yang glamor, mewabahnya pamer kemewahan hingga resepsi pernikahan selebgram atau selebritis yang disiarkan langsung di layar kaca seolah menjadi justifikasi yang membenarkan bahwa merayakan momen penting dalam hidup, seperti pernikahan tak boleh biasa saja.

Masalahnya fenomena ini tak hanya menimpa kota metropolitan, saya yang kebetulan tinggal di kota kecil mulai merasakan perubahan standar perayaan pernikahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun