Pernikahan tanpa resepsi mewah bagai sayur tanpa garam. Digelar di gedung bernuansa tradisional hingga modern. Dihiasi ragam makanan nusantara atau menu kebarat-baratan. Agar lebih meriah, diundang pula penyanyi yang sudah punya nama. Semua hadirin bersuka cita kecuali sepasang pengantin yang dibayang-bayangi berbagai tagihan.
Begitulah kira-kira resepsi pernikahan sebelum dilanda pandemi. Resepsi memang tak mengikat.Tak ada aturan tertulis yang mewajibkan sepasang pengantin untuk melaksanakannya di gedung megah, ataupun harus menyediakan sajian bergengsi yang mampu menggoyang lidah. Â
Tapi kenyataanya "mulut tetangga" dan lingkungan sosial membelenggu kita untuk menyiapkan resepsi pernikahan layak sesuai standar mereka.
Saya pernah menemani Ibu ke resepsi pernikahan bersama para Ibu-ibu lainnya. Di tengah mempelai yang sedang berbahagia di pelaminan, ibu-ibu ini sibuk mengomentari menu bakso yang disuguhkan hanya karena dirasa kurang layak. Meski saat itu saya masih berumur 10 tahun, apa yang terjadi kala itu masih melekat sempurna. Ditambah di sepanjang perjalanan pulang, nyinyiran dan gunjingan soal bakso tak kunjung usai.
Jadi saat saya menyaksikan sosok Bu Tedjo yang kini tengah viral, sosok tersebut sangat familiar karena banyak Bu Tedjo-tedjo lainnya di sekitar kita. Mungkin kita temui saat ke pasar, saat rapat kantor, atau ketika datang pengajian mingguan.
Resepsi antara "Si Miskin dan Si Kaya"
Satu hal yang saya benci mengenai resepsi adalah bagaimana perayaan pernikahan ini menjadi sebuah identitas kelas sosial. Misalnya jika resepsi meriah, orang akan menggolongkan keluarga yang menikah kaum terpandang. Begitu juga sebaliknya, resepsi yang sederhana akan dimaklumi karena yang menikah hanya dari kalangan biasa.
Budaya mencap dan memberi stempel kaya dan miskin memang sudah mendarah daging ya ?
Tahun 2019 lalu kita sama-sama tahu bagaimana sosial media sangat memengaruhi keputusan masyarakat dalam menjalani kehidupan.Â
Terlebih dengan berjamurnya tayangan-tayangan kehidupan artis yang glamor, mewabahnya pamer kemewahan hingga resepsi pernikahan selebgram atau selebritis yang disiarkan langsung di layar kaca seolah menjadi justifikasi yang membenarkan bahwa merayakan momen penting dalam hidup, seperti pernikahan tak boleh biasa saja.
Masalahnya fenomena ini tak hanya menimpa kota metropolitan, saya yang kebetulan tinggal di kota kecil mulai merasakan perubahan standar perayaan pernikahan.Â
Bagi yang memang berasal dari kalangan atas, ini bukan masalah serius. Tapi bolehkah kita melihat dari sudut pandang kalangan menengah ke bawah, mungkin bagi mereka ini sebuah desakan yang meneror hari-hari mereka.
Pandemi dan Makna Lain dari Resepsi
Bukannya bermaksud bersyukur atas kehadiran covid-19 dan melecehkan perjuangan tenaga medis. Tapi kenyataannya terpaan pandemi juga membawa perubahan bermakna. Imbauan social distancing dan pelarangan kegiatan yang melibatkan orang banyak, seperti pernikahan mau tak mau membuat masyarakat menyederhanakan resepsi.
Karena menyangkut persoalan hidup dan mati, masyarakat patuh dan legowo melaksanakan pernikahan secara sederhana. Bukan tanpa perayaan sama sekali, namun pembatasan jumlah undangan, Wedding From Home (WFH) menyederhanakan gengsi.
Semua sepakat, tak perlu gedung megah, yang penting sah.
Tak perlu penyanyi papan atas, yang penting khidmat.
Tak perlu merogoh kocek ratusan juta, yang penting berbahagia.
Pemaknaan baru akan resepsi ini perlu kita rayakan bersama. Meskipun hingga saat ini kita semua masih berjibaku melawan pandemi dan dapat dikatakan belum bisa mengalahkannya. Paling tidak di tengah pandemi ini, kita sama-sama mengalahkan rasa egoisme dan hedonisme.
Doa saya dan semoga juga doa Kompasianer, semoga prinsip kesederhaan dalam hal merayakan pernikahan menjadi langgeng dan tahan lama.
Tak memudar meskipun nanti pandemi usai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI