Â
Dalam Kamus Hukum Inggris-Indonesia yang dikarang oleh S. Wojowasito, WJS. Poerwadarminta, SAM. Gaastra, JC. Tan (Mich), arti istilah corrupt ialah busuk, buruk, bejat, lancung, salah tulis, dan sebagainya, dapat disuap, suka disogok. Corruption, artinya korupsi, kebusukan, penyuapan. Jika kata perbuatan korupsi dianalisis maka dalam kalimat tersebut terkandung makna tentang suatu usaha untuk menggerakkan orang lain agar supaya melakukan sesuatu dan/atau tidak melakukan sesuatu perbuatan (serta akibat yang berupa sesuatu kejadian). Dalam perbuatan penyuapan tersebut mungkin terdapat unsur memberi janji yang dalam perkataan lain sering disebut "dengan menjanjikan sesuatu", seperti yang termuat dalam Pasal 209 KUHP, yang berbunyi "diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus juta rupiah (=15 kali)".
Teori strukturasi bermula dari kritik Giddens terhadap cara kerja strukturalisme, post-strukturalisme dan fungsionalisme dalam melihat struktur. Salah satunya adalah, apa yang dilakukan oleh tokoh strukturalis Claude Levi Strauss telah berimplikasi jauh terhadap terapan analisis ilmu-ilmu sosial. Giddens mengkritik perspektif strukturalis merupakan "penolakan yang penuh skandal terhadap subjek".
Sebagai contoh dalam memahami gejala dalam masyarakat kapitalis, perhatian strukturalis tidak terpusat pada perilaku para pemodal atau konsumen, tetapi justru pada logika-internal kinerja modal; dengan kata lain, strukturalisme adalah bentuk dualisme.[1] Dualisme ini juga ada pada perspektif post-strukturalis.[2] Pemikir penting post-strukturalis, Jasques Derrida misalnya, melihat perbedaan bukan hanya menunjuk sesuatu, melainkan sebagai pembentuk identitas yang bahkan merupakan hakikat sesuatu tersebut; atau dualisme yang ada pada fungsionalisme Talcott Parsons. Fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens, sistem sosial tidak punya kebutuhan apapun, yang punya kebutuhan adalah para pelaku. Fungsionalisme memberangus fakta bahwa manusia sebagai pelaku, bukan orang-orang dungu, dan bukan robot yang bertindak berdasar "naskah" (peran yang sudah ditentukan). Fungsionalisme menafikan dimensi ruang dan waktu dalam menjelaskan gejala sosial, akibatnya terjadi pertentangan antara yang 'statis' dan 'dinamis', atau antara 'stabilitas' dan 'perubahan'.Â
Â
Pada intinya teori strukturasi menekankan kembali pada prioritas logis dari struktur.[3] Anggapan struktur sebagai "batasan" bagi perilaku tidak lebih merupakan strategi alternatif yang dipergunakan para praktisi dalam usahanya memberikan rasionalitas teoritis. Para sosiologi interpretatif dan fenomenologis melihat permasalahan batasan ini terfokus pada 'prosedur' yang dipergunakan oleh aktor-aktor sosial dalam usaha menghasilkan dunia yang terstruktur. Struktur sosial tidak memiliki eksistensi yang riil kecuali dalam benak para pelaku yang memberinya arti.Â
Â
Sudut pandang ini menunjukkan penjelasan struktural hanya akan memiliki validitas sejauh hal itu dialami secara subjektif. Struktur dengan demikian adalah sesuatu yang dikatakan oleh para pelakunya. Apabila struktur mempengaruhi praktik, maka hal ini terjadi karena struktur dipandang memiliki semacam realitas, tetapi sebuah realita yang tergantung pada "konstruksi" individual.[4] Teori strukturasi bermaksud untuk mempermudah melihat dunia yang terstruktur dengan mengedepankan konsep agensi manusia. Caranya adalah dengan mengenali perbedaan antara konsep 'struktur' dengan 'sistem'. Sistem sosial tidak memiliki struktur namun memperlihatkan 'sifat-sifat struktural'. Sifat-sifat struktural ini hanya muncul di dalam berbagai tindakan instant serta menjadi jejak-jejak memori yang memberi petunjuk akan agen-agen manusia yang telah banyak memiliki pengetahuan. Sifat-sifat struktural yang muncul dalam sebuah totalitas reproduksi sosial, oleh Giddens disebut sebagai prinsip-prinsip struktural (structural principles). Praktik-praktik sosial yang memiliki perluasan ruang dan waktu terbesar dalam totalitas disebut sebagai 'institusi' (institution). Strukturasi adalah kondisi untuk menjelaskan bagaimana sebuah tatanan relasi-relasi sosial terstruktur dalam hubungan dualitas (timbal balik) antara sang pelaku dengan struktur.[5] Hubungan dualitas struktur dalam reproduksi sosial dapat dipahami dengan adanya tiga tingkatan kesadaran atau tiga dimensi internal dalam diri manusia, yaitu; kesadaran diskursif, kesadaran praktis, dan kognisi/motivasi tak sadar. Giddens menawarkan konsep-konsep ini sebagai pengganti triad psikoanalitis Sigmund Freud yakni ego, super-ego, dan id (Giddens, 1984: 7). 'Motivasi tak sadar' mengacu pada keinginan atau kebutuhan manusia yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukan tindakan itu sendiri. 'Kesadaran diskursif' mengacu pada pengetahuan tindakan manusia yang bisa direfleksikan dan dijelaskan secara rinci serta eksplisit. Adapun 'kesadaran praktis' ialah pengetahuan tindakan manusia yang tidak selalu bisa diurai atau dipertanyakan kembali. Fenomenologi melihat wilayah ini masuk pada gugus pengetahuan yang sudah diandaikan (taken for granted knowledge) dan merupakan sumber 'rasa aman ontologis' (Ontological security). Keamanan ontologis ialah 140 Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 1, Februari 2015 kepercayaan atau keyakinan bahwa alam da n sosial itu kondisinya seperti yang tampak, termasuk parameter eksistensial dasar diri dan identitas sosial (Giddens, 1984: 375). Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial masyarakat lambat laun menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/praktik sosial masyarakat. Giddens menyebut tindakan dan praktik sosial itu sebagai 'dunia yang sudah ditafisirkan' (Giddens, 1976: 166). Reproduksi sosial berlangsung lewat keterulangan praktik sosial yang jarang dipertanyakan lagi. Sebagai sebuah aturan dan sumberdaya, struktur memiliki tiga gugus dimensi yaitu: Pertama, struktur penandaan (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum.Â
Â
Pertama; bahwa untuk melakukan komunikasi, seseorang membutuhkan sistem tanda dan bingkai interpretasi (tata simbol, wacana/ lembaga bahasa), sehingga struktur signifikasi itu ada. Aktor-aktor sosial, dalam perilaku kehidupan sehari-harinya, secara aktif menghasilkan makna dalam tataran yang telah mereka beri makna; secara bersamaan mereka dipengaruhi oleh cara dimana makna-makna tersebut telah menjadi dirutinkan dan direproduksi. Hal yang dilakukan dan dikatakan masyarakat memiliki konsekuensi bagi struktur sosial. Individu-individu menggerakkan sumber daya, ketrampilan dan pengetahuan yang telah didapatkan dari interaksi sebelumnya. Praktik-praktik struktur sosial, sebagian selalu berakar pada pertemuan tatap muka, tetapi perjumpaan ini tidak pernah terjadi dalam ruang hampa yang tidak berstruktur, dunia sosial ditengahi dan dipengaruhi oleh sumber daya yang telah memiliki signifikasi sosial dan budaya. Struktur adalah 'proses dialektika' dimana hal yang dilakukan oleh individu adalah juga hal yang mereka bangun. Inilah essensi dari strukturasi. Strukturasi juga melibatkan interfusion (penggabungan) konsekuensi yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan, hal yang dimaui dan dilakukan agen bisa menghasilkan konsolidasi atas apa yang tidak diinginkan agen. Gagasan inilah yang menunjukkan bahwa struktur adalah sumberdaya yang memberdayakan sekaligus membatasi masyarakat.
Â