Mohon tunggu...
Julia Riyani Novia Ningsih
Julia Riyani Novia Ningsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Makan, shopping

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

pencegahan korupsi dan kejahatan model Anthony Giddens

13 November 2022   19:30 Diperbarui: 13 November 2022   19:42 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://assets.kompasiana.com/items/album/2022/11/11/whatsapp-image-2022-11-11-at-12-04-45-636ddc6b08a8b521360322b2.jpeg?t=o&v=770

oip-6370e3064addee3a8f594343.jpeg
oip-6370e3064addee3a8f594343.jpeg
https://www.eda.admin.ch/content/dam/deza/Images/4-Themen-DEZA/Korruption.jpg

Nama : Julia Riyani Novia Ningsih

NIM: 43221010007

Jurusan: Akuntansi

Ruang: 404

Kampus: Mercu Buana(Meruya)

Dosen: Apollo, Prof.Dr,M.Si.Ak

TB 2 Pendidikan anti korupsi dan etik umb

Sebagai negara hukum, Indonesia memilih Pancasila sebagai ideologi negaranya. Ideologi yang sempurna tetap saja memiliki beberapa bagian celah di dalamnya. Salah satu penopang negara hukum ini ialah Undang-Undang Dasar. Sebagai landasan dan pertimbangan dalam melakukan keputusan, Indonesia tentu membutuhkan bebrapa aturan demi terciptanya kehidupan yang adil. Di Indonesia, kasus korupsi seakan tidak pernah ada habisnya. Adapun lembaga yang berwenang dalam menangani kasus ini ialah lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga ini bertugas untuk menyelidiki bagaimana seseorang tersebut dapat melakukan tindak pidana korupsi. Indonesia merupakan negara hukum. Hukum yang berlaku di Indonesia sudah sepantasnya diikuti dan ditaati oleh seluaruh masyarakat Indonesia. Hukum ini berisi mengenai segala aturan dan juga bentuk proteksi kepada masyarakat Indonesia. Adanya hukum salah satunya ialah sebagai bentuk perlindungan diri. Dalam hukum dikenal mengenai perlindungan hukum dan kepastian hukum. Kepastian hukum inilah yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia dengan menggunakan aturan-aturan hukum dalam pelaksanaannya. Hukum juga dibuat untuk memberikan sanksi kepada siapapun yang melakukan pelanggaran yang merenggut hak orang lain. Salah satu kasus pidana yang sampai saat ini masih belum menemukan titik terang ialah kasus pidana korupsi. Tindak pidana korupsi di Indonesia termasuk dalam tindak kejahatan luar biasa. Bagaimana tidak? Kasus ini dianggap kasus yang tidak pernah terselesaikan dan tidak pernah berenti.

Tiap tahun ada saja pejabat pemerintahan yang terdekteksi melakukan tindakan korupsi besar-besaran. Sanksi bagi terpidana korupsi atau yang biasa disebut sebagai koruptor ialah tahanan dengan masa kurungan selama 20 (dua puluh) tahun atau tindak pidana kurungan seumur hidup. Namun sanksi tersebut dianggap tidak memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Tidak sedikit masyarakat yang meminta agar sanksi bagi para koruptor lebih diberatkan lagi, bahkan sampai dengan hukuman pidana mati. Namun, mengenai pidana hukuman mati ini masih menuai pro dan kontra karena dianggap menyalahi aturan Hak Asasi Manusia. Hingga saat ini masyarakat masih bergantung dengan lembaga KPK atau Komisi Pemberantas Korupsi dalam mengupas tuntas kasus korupsi tersebut, Korupsi sebagai kejahatan struktural melibatkan sarana material salah satunya adalah uang. Konsepsi Giddens dijelaskan, uang merupakan alat perentangan waktu dan ruang. Uang merupakan alat simbolis atau sarana pertukaran yang bisa diedarkan terlepas dari siapa atau kelompok mana yang memegangnya pada waktu dan tempat tertentu. Ekonomi uang (money economy) telah menjadi sedemikian abstrak dalam kondisi dewasa ini. "Money bracket time and space".

Awal tahun 2020, seluruh dunia dihebohkan dengan virus mematikan yang kemudian dikenal dengan nama corona. Tidak terkecuali di Indonesia. Dampak dari adanya virus ini sangat  terlihat jelas, terutama dibidang ekonomi. Perekonomian Indonesia mengalami banyak sekali guncangan. Banyak resto yang harus tutup selamanya karena virus ini. Hal ini disebabkan karena, saat virus ini masuk ke Indonesia, pihak pemerintah memgambil langkah "Lock Down" yang artinya tidak ada aktifitas lagi diluar ruangan kecuali dengan surat izin  tugas atau dengan melampirkan keterangan hasil swab. Banyak yang merasa kekurangan, karena dengan adanya pandemi ini masyafakat tidak lagi bebas membeli bahan pangan untuk menopah hidupnya sehari-hari. Pemerintah juga menghimbau agar tidak terjadi aktivitas penimbunan alat kesehatan seperti APD, Masker hingga handsanitizwe agar produk tersebut tidak langka. Pemerintah juga memberikan pelayanan yang terbaik, salah satunya dengan memberikan beberapa dana bantuan kepada  masyarakat agar tidak kesusahan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun dana bantuan yang di canangkan sebagai dana bantuan masyarakat tidak sesuai nominalnya dengan yang diterima oleh masyarakat. Hal ini kemudian yang menjadi topik hangat. Apakah benar ada  kegiatan korupsi pada saat negara sedang tidak baik seperti sekarang? Akhirnya dengan arahan dari kepala Kepresidenan maka lembaga KPK digerakkan untuk membantu mencari tindak pidana korupsi yang terdadi di ranah kesehatan ini.

KPK sebagai lembaga anti rasuah berperan sebagai penyidik dan penunut atas kasus korupsi termasuk kasus korupsi pada lingkungan Menteri Sosial. Setelah mengumpulkan bukti yang cukup. KPK melakukan Oparasi Tangkap Tangan terhadap Juliari Batubara pada tanggal 5 Desember 2020 kemudian Pada 6 Desember 2020, KPK menetapkan Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dalam kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 wilayah Jabodetabek tahun 2020. Terdakwa ditahan dirumah tahanan demi kelancara persidangan mulai dari 6 Desember 2020 sampai 10 Septerber 2021. 

 

Dalam persidangannya Juliari Batubata Juliari dituntut dengan dasar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang berisi mengnai pidana kurungan seumur hidup dan denda paling banyak 1 Milyar. Namun dalam putusannya hakim hanya memberikan tuntutan pidana kurungan selama 11 tahun dan sanksi administrasi 500 juta. Padahal tingkat kerugian negara ditafsirkan mencapai 5,9 Triliun.

Hukum sebagai seperangkat aturan (tata cara dan larangan) yang mengatur tatanan sosial harus dipatuhi oleh semua peserta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Larangan dan perintah dimasukkan ke dalam undang-undang, memberikan panduan tentang bagaimana menerapkannya pada setiap orang atau badan hukum. Kepatuhan adalah standar utama yang mendefinisikan citra hukum di masyarakat, termasuk mereka yang berkuasa dan hukum itu sendiri. Dengan demikian, hukum akan terus memberikan ketertiban dalam hubungan manusia di mana ada untuk menjamin keamanan dan ketertiban menurut keadilan, yang merupakan tujuan paling mendasar dari hukum.

 Jika bangsa itu telah memantapkan dirinya sebagai negara hukum (rechtstaat), maka produk hukum menjadi ukuran pengaturan di tengah-tengah kehidupan mereka yang berbicara tentang isi norma-normanya. . larangan, perintah, kepatuhan, dan sanksi yang mengikat. Ini berarti menjadikan hukum sebagai pedoman yang tidak dapat dikalahkan oleh keadaan atau keadaan apa pun.

 Hukum juga berisi mengenai aturan-aturan untuk melindungi kepentingan setiap orang, seperti keadilan, kebebasan memilih, perlakuan yang adil, perlakuan yang manusiawi, hak atas kesejahteraan dan pekerjaan yang layak, dan Aturan ini mencakup penegakan hukum. Jika penyelenggara kekuasaan menjalankan tugas-tugas yang diatur dalam undang-undang ini sesuai dengan kehendak undang-undang, maka ini berarti tujuan dari negara serta aturan yang ada sudah terimplementasikan dengan baik.

Secara etimologis, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang itu berasal pula dari kata corrumpere, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, corruption, corrupt, Perancis, corruption, dan Belanda, corruptie (korruptie). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata "korupsi" dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Belanda.[1]

 

Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:

 

  • Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran.
  • Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
  • Dapat pula berupa:
  • Korup (busuk; suka menerima uang suap uang/sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya);
  • Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya);
  • Koruptor (orang yang korupsi).

 

Dalam Kamus Hukum Inggris-Indonesia yang dikarang oleh S. Wojowasito, WJS. Poerwadarminta, SAM. Gaastra, JC. Tan (Mich), arti istilah corrupt ialah busuk, buruk, bejat, lancung, salah tulis, dan sebagainya, dapat disuap, suka disogok. Corruption, artinya korupsi, kebusukan, penyuapan. Jika kata perbuatan korupsi dianalisis maka dalam kalimat tersebut terkandung makna tentang suatu usaha untuk menggerakkan orang lain agar supaya melakukan sesuatu dan/atau tidak melakukan sesuatu perbuatan (serta akibat yang berupa sesuatu kejadian). Dalam perbuatan penyuapan tersebut mungkin terdapat unsur memberi janji yang dalam perkataan lain sering disebut "dengan menjanjikan sesuatu", seperti yang termuat dalam Pasal 209 KUHP, yang berbunyi "diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus juta rupiah (=15 kali)".

Teori strukturasi bermula dari kritik Giddens terhadap cara kerja strukturalisme, post-strukturalisme dan fungsionalisme dalam melihat struktur. Salah satunya adalah, apa yang dilakukan oleh tokoh strukturalis Claude Levi Strauss telah berimplikasi jauh terhadap terapan analisis ilmu-ilmu sosial. Giddens mengkritik perspektif strukturalis merupakan "penolakan yang penuh skandal terhadap subjek".

Sebagai contoh dalam memahami gejala dalam masyarakat kapitalis, perhatian strukturalis tidak terpusat pada perilaku para pemodal atau konsumen, tetapi justru pada logika-internal kinerja modal; dengan kata lain, strukturalisme adalah bentuk dualisme.[1] Dualisme ini juga ada pada perspektif post-strukturalis.[2] Pemikir penting post-strukturalis, Jasques Derrida misalnya, melihat perbedaan bukan hanya menunjuk sesuatu, melainkan sebagai pembentuk identitas yang bahkan merupakan hakikat sesuatu tersebut; atau dualisme yang ada pada fungsionalisme Talcott Parsons. Fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens, sistem sosial tidak punya kebutuhan apapun, yang punya kebutuhan adalah para pelaku. Fungsionalisme memberangus fakta bahwa manusia sebagai pelaku, bukan orang-orang dungu, dan bukan robot yang bertindak berdasar "naskah" (peran yang sudah ditentukan). Fungsionalisme menafikan dimensi ruang dan waktu dalam menjelaskan gejala sosial, akibatnya terjadi pertentangan antara yang 'statis' dan 'dinamis', atau antara 'stabilitas' dan 'perubahan'. 

 

Pada intinya teori strukturasi menekankan kembali pada prioritas logis dari struktur.[3] Anggapan struktur sebagai "batasan" bagi perilaku tidak lebih merupakan strategi alternatif yang dipergunakan para praktisi dalam usahanya memberikan rasionalitas teoritis. Para sosiologi interpretatif dan fenomenologis melihat permasalahan batasan ini terfokus pada 'prosedur' yang dipergunakan oleh aktor-aktor sosial dalam usaha menghasilkan dunia yang terstruktur. Struktur sosial tidak memiliki eksistensi yang riil kecuali dalam benak para pelaku yang memberinya arti. 

 

Sudut pandang ini menunjukkan penjelasan struktural hanya akan memiliki validitas sejauh hal itu dialami secara subjektif. Struktur dengan demikian adalah sesuatu yang dikatakan oleh para pelakunya. Apabila struktur mempengaruhi praktik, maka hal ini terjadi karena struktur dipandang memiliki semacam realitas, tetapi sebuah realita yang tergantung pada "konstruksi" individual.[4] Teori strukturasi bermaksud untuk mempermudah melihat dunia yang terstruktur dengan mengedepankan konsep agensi manusia. Caranya adalah dengan mengenali perbedaan antara konsep 'struktur' dengan 'sistem'. Sistem sosial tidak memiliki struktur namun memperlihatkan 'sifat-sifat struktural'. Sifat-sifat struktural ini hanya muncul di dalam berbagai tindakan instant serta menjadi jejak-jejak memori yang memberi petunjuk akan agen-agen manusia yang telah banyak memiliki pengetahuan. Sifat-sifat struktural yang muncul dalam sebuah totalitas reproduksi sosial, oleh Giddens disebut sebagai prinsip-prinsip struktural (structural principles). Praktik-praktik sosial yang memiliki perluasan ruang dan waktu terbesar dalam totalitas disebut sebagai 'institusi' (institution). Strukturasi adalah kondisi untuk menjelaskan bagaimana sebuah tatanan relasi-relasi sosial terstruktur dalam hubungan dualitas (timbal balik) antara sang pelaku dengan struktur.[5] Hubungan dualitas struktur dalam reproduksi sosial dapat dipahami dengan adanya tiga tingkatan kesadaran atau tiga dimensi internal dalam diri manusia, yaitu; kesadaran diskursif, kesadaran praktis, dan kognisi/motivasi tak sadar. Giddens menawarkan konsep-konsep ini sebagai pengganti triad psikoanalitis Sigmund Freud yakni ego, super-ego, dan id (Giddens, 1984: 7). 'Motivasi tak sadar' mengacu pada keinginan atau kebutuhan manusia yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukan tindakan itu sendiri. 'Kesadaran diskursif' mengacu pada pengetahuan tindakan manusia yang bisa direfleksikan dan dijelaskan secara rinci serta eksplisit. Adapun 'kesadaran praktis' ialah pengetahuan tindakan manusia yang tidak selalu bisa diurai atau dipertanyakan kembali. Fenomenologi melihat wilayah ini masuk pada gugus pengetahuan yang sudah diandaikan (taken for granted knowledge) dan merupakan sumber 'rasa aman ontologis' (Ontological security). Keamanan ontologis ialah 140 Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 1, Februari 2015 kepercayaan atau keyakinan bahwa alam da n sosial itu kondisinya seperti yang tampak, termasuk parameter eksistensial dasar diri dan identitas sosial (Giddens, 1984: 375). Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial masyarakat lambat laun menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/praktik sosial masyarakat. Giddens menyebut tindakan dan praktik sosial itu sebagai 'dunia yang sudah ditafisirkan' (Giddens, 1976: 166). Reproduksi sosial berlangsung lewat keterulangan praktik sosial yang jarang dipertanyakan lagi. Sebagai sebuah aturan dan sumberdaya, struktur memiliki tiga gugus dimensi yaitu: Pertama, struktur penandaan (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum. 

 

Pertama; bahwa untuk melakukan komunikasi, seseorang membutuhkan sistem tanda dan bingkai interpretasi (tata simbol, wacana/ lembaga bahasa), sehingga struktur signifikasi itu ada. Aktor-aktor sosial, dalam perilaku kehidupan sehari-harinya, secara aktif menghasilkan makna dalam tataran yang telah mereka beri makna; secara bersamaan mereka dipengaruhi oleh cara dimana makna-makna tersebut telah menjadi dirutinkan dan direproduksi. Hal yang dilakukan dan dikatakan masyarakat memiliki konsekuensi bagi struktur sosial. Individu-individu menggerakkan sumber daya, ketrampilan dan pengetahuan yang telah didapatkan dari interaksi sebelumnya. Praktik-praktik struktur sosial, sebagian selalu berakar pada pertemuan tatap muka, tetapi perjumpaan ini tidak pernah terjadi dalam ruang hampa yang tidak berstruktur, dunia sosial ditengahi dan dipengaruhi oleh sumber daya yang telah memiliki signifikasi sosial dan budaya. Struktur adalah 'proses dialektika' dimana hal yang dilakukan oleh individu adalah juga hal yang mereka bangun. Inilah essensi dari strukturasi. Strukturasi juga melibatkan interfusion (penggabungan) konsekuensi yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan, hal yang dimaui dan dilakukan agen bisa menghasilkan konsolidasi atas apa yang tidak diinginkan agen. Gagasan inilah yang menunjukkan bahwa struktur adalah sumberdaya yang memberdayakan sekaligus membatasi masyarakat.

 

Kedua; untuk mendapatkan atau mempraktikkan kekuasaan, seseorang membutuhkan mobilisasi dua struktur dominasi sebagai fasilitas. Pada dimensi penguasaan, fasilitas ini terdiri dari sumberdaya alokatif (ekonomi) dan otoritatif (politik). Sumberdaya alokatif mengacu pada kemampuan-kemampuan atau bentuk-bentuk kapasitas transformatif yang memberikan komando atas barang-barang, objekobjek atau fenomena material. Adapun sumberdaya otoritatif mengacu pada jenis-jenis kapasitas transformatif yang menghasilkan perintah atas orang-orang atau aktor-aktor. Istilah 'kekuasaan' harus dibedakan dengan istilah dominasi. Dominasi mengacu pada asimetri hubungan pada dataran struktur, sedang kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada dataran pelaku (interaksi sosial). Karena itu kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif, sebagaimana tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada struktur dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung diantara pelaku yang kongkret. Kekuasaan terbentuk dalam dan melalui reproduksi dua struktur/ sumberdaya dominasi (alokatif dan otoritatif). Meski demikian, menurut Giddens tidak pernah mungkin terjadi penguasaan total atas orang entah dalam sistem totaliter, otoriter, ataupun penjara karena adanya dialektika kontrol (the dialectic of control). Artinya dalam penguasaan selalu terlibat relasi otonomi dan ketergantungan, baik pada yang menguasai maupun pada yang dikuasai sekalipun dalam kadar yang minimal.

 

Ketiga; untuk memberlakukan sebuah sanksi, orang membutuhkan sarana legitimasi berupa norma atau peraturan (tata hukum/lembaga hukum). Aspek legal (normatif) dibutuhkan untuk memberikan rasa aman (ontological security) dan keabsahan atas interaksi yang dila kukan oleh agen-agen sosial. Perubahan sosial tidak bisa ditempuh dengan kontradiksi sistem, tetapi perubahan dapat ditempuh melalui koordinasi praktik yang dilembagakan dalam sistem dan struktur sosial yang mengatasi ruang dan waktu. Perubahan sosial dalam dimensi ketiga gugus strukturasi hanya bisa dirubah melalui 'derutinisasi' dalam kapasitas 'monitoring refleksif' atau mengambil jarak terhadap unsurunsur yang melingkupinya baik secara personal maupun institusional.

 

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat, dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas:

 

  • Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
  • Korupsi: busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Istilah "korupsi" seringkali selalu diikuti dengan istilah kolusi dan nepotisme yang selalu dikenal dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

 

KKN saat ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas dan dijadikan agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak, sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Transparency International memberikan definisi tentang korupsi sebagai perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.[2]

 

Dalam definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi, yaitu:[3]

 

  • Menyalahgunakan kekuasaan;
  • Kekuasaan yang dipercayakan(yaitu baik di sektor publik maupun di sektor swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi;
  • Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dan teman-temannya).

 

Perbuatan korupsi pada dasarnya merupakan perbuatan yang anti sosial, bertentangan dengan moral dan aturan hukum, maka apabila perbuatan tersebut tidak dicegah atau ditanggulangi, akibatnya sistem hubungan masyarakat akan tidak harmonis dan akan berproses ke arah sistem individualisme, main suap dan yang semacamnya. Pada gilirannya mentalitas individu, kelompok atau sebagian masyarakat bangsa kita diwarnai oleh sikap culas, nafsu saling menguntungkan diri sendiri yang hal itu akan selalu dilakukan dengan segala macam cara.

Teori strukturasi bermula dari kritik Giddens terhadap cara kerja strukturalisme, post-strukturalisme dan fungsionalisme dalam melihat struktur. Salah satunya adalah, apa yang dilakukan oleh tokoh strukturalis Claude Levi Strauss telah berimplikasi jauh terhadap terapan analisis ilmu-ilmu sosial. Giddens mengkritik perspektif strukturalis merupakan "penolakan yang penuh skandal terhadap subjek".

Sebagai contoh dalam memahami gejala dalam masyarakat kapitalis, perhatian strukturalis tidak terpusat pada perilaku para pemodal atau konsumen, tetapi justru pada logika-internal kinerja modal; dengan kata lain, strukturalisme adalah bentuk dualisme.[1] Dualisme ini juga ada pada perspektif post-strukturalis.[2] Pemikir penting post-strukturalis, Jasques Derrida misalnya, melihat perbedaan bukan hanya menunjuk sesuatu, melainkan sebagai pembentuk identitas yang bahkan merupakan hakikat sesuatu tersebut; atau dualisme yang ada pada fungsionalisme Talcott Parsons. Fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens, sistem sosial tidak punya kebutuhan apapun, yang punya kebutuhan adalah para pelaku. Fungsionalisme memberangus fakta bahwa manusia sebagai pelaku, bukan orang-orang dungu, dan bukan robot yang bertindak berdasar "naskah" (peran yang sudah ditentukan). Fungsionalisme menafikan dimensi ruang dan waktu dalam menjelaskan gejala sosial, akibatnya terjadi pertentangan antara yang 'statis' dan 'dinamis', atau antara 'stabilitas' dan 'perubahan'. 

 

Pada intinya teori strukturasi menekankan kembali pada prioritas logis dari struktur.[3] Anggapan struktur sebagai "batasan" bagi perilaku tidak lebih merupakan strategi alternatif yang dipergunakan para praktisi dalam usahanya memberikan rasionalitas teoritis. Para sosiologi interpretatif dan fenomenologis melihat permasalahan batasan ini terfokus pada 'prosedur' yang dipergunakan oleh aktor-aktor sosial dalam usaha menghasilkan dunia yang terstruktur. Struktur sosial tidak memiliki eksistensi yang riil kecuali dalam benak para pelaku yang memberinya arti. 

 

Sudut pandang ini menunjukkan penjelasan struktural hanya akan memiliki validitas sejauh hal itu dialami secara subjektif. Struktur dengan demikian adalah sesuatu yang dikatakan oleh para pelakunya. Apabila struktur mempengaruhi praktik, maka hal ini terjadi karena struktur dipandang memiliki semacam realitas, tetapi sebuah realita yang tergantung pada "konstruksi" individual.[4] Teori strukturasi bermaksud untuk mempermudah melihat dunia yang terstruktur dengan mengedepankan konsep agensi manusia. Caranya adalah dengan mengenali perbedaan antara konsep 'struktur' dengan 'sistem'. Sistem sosial tidak memiliki struktur namun memperlihatkan 'sifat-sifat struktural'. Sifat-sifat struktural ini hanya muncul di dalam berbagai tindakan instant serta menjadi jejak-jejak memori yang memberi petunjuk akan agen-agen manusia yang telah banyak memiliki pengetahuan. Sifat-sifat struktural yang muncul dalam sebuah totalitas reproduksi sosial, oleh Giddens disebut sebagai prinsip-prinsip struktural (structural principles). Praktik-praktik sosial yang memiliki perluasan ruang dan waktu terbesar dalam totalitas disebut sebagai 'institusi' (institution). Strukturasi adalah kondisi untuk menjelaskan bagaimana sebuah tatanan relasi-relasi sosial terstruktur dalam hubungan dualitas (timbal balik) antara sang pelaku dengan struktur.[5] Hubungan dualitas struktur dalam reproduksi sosial dapat dipahami dengan adanya tiga tingkatan kesadaran atau tiga dimensi internal dalam diri manusia, yaitu; kesadaran diskursif, kesadaran praktis, dan kognisi/motivasi tak sadar. Giddens menawarkan konsep-konsep ini sebagai pengganti triad psikoanalitis Sigmund Freud yakni ego, super-ego, dan id (Giddens, 1984: 7). 'Motivasi tak sadar' mengacu pada keinginan atau kebutuhan manusia yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukan tindakan itu sendiri. 'Kesadaran diskursif' mengacu pada pengetahuan tindakan manusia yang bisa direfleksikan dan dijelaskan secara rinci serta eksplisit. Adapun 'kesadaran praktis' ialah pengetahuan tindakan manusia yang tidak selalu bisa diurai atau dipertanyakan kembali. Fenomenologi melihat wilayah ini masuk pada gugus pengetahuan yang sudah diandaikan (taken for granted knowledge) dan merupakan sumber 'rasa aman ontologis' (Ontological security). Keamanan ontologis ialah 140 Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 1, Februari 2015 kepercayaan atau keyakinan bahwa alam da n sosial itu kondisinya seperti yang tampak, termasuk parameter eksistensial dasar diri dan identitas sosial (Giddens, 1984: 375). Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial masyarakat lambat laun menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/praktik sosial masyarakat. Giddens menyebut tindakan dan praktik sosial itu sebagai 'dunia yang sudah ditafisirkan' (Giddens, 1976: 166). Reproduksi sosial berlangsung lewat keterulangan praktik sosial yang jarang dipertanyakan lagi. Sebagai sebuah aturan dan sumberdaya, struktur memiliki tiga gugus dimensi yaitu: Pertama, struktur penandaan (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum. 

 

Pertama; bahwa untuk melakukan komunikasi, seseorang membutuhkan sistem tanda dan bingkai interpretasi (tata simbol, wacana/ lembaga bahasa), sehingga struktur signifikasi itu ada. Aktor-aktor sosial, dalam perilaku kehidupan sehari-harinya, secara aktif menghasilkan makna dalam tataran yang telah mereka beri makna; secara bersamaan mereka dipengaruhi oleh cara dimana makna-makna tersebut telah menjadi dirutinkan dan direproduksi. Hal yang dilakukan dan dikatakan masyarakat memiliki konsekuensi bagi struktur sosial. Individu-individu menggerakkan sumber daya, ketrampilan dan pengetahuan yang telah didapatkan dari interaksi sebelumnya. Praktik-praktik struktur sosial, sebagian selalu berakar pada pertemuan tatap muka, tetapi perjumpaan ini tidak pernah terjadi dalam ruang hampa yang tidak berstruktur, dunia sosial ditengahi dan dipengaruhi oleh sumber daya yang telah memiliki signifikasi sosial dan budaya. Struktur adalah 'proses dialektika' dimana hal yang dilakukan oleh individu adalah juga hal yang mereka bangun. Inilah essensi dari strukturasi. Strukturasi juga melibatkan interfusion (penggabungan) konsekuensi yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan, hal yang dimaui dan dilakukan agen bisa menghasilkan konsolidasi atas apa yang tidak diinginkan agen. Gagasan inilah yang menunjukkan bahwa struktur adalah sumberdaya yang memberdayakan sekaligus membatasi masyarakat.

 

Kedua; untuk mendapatkan atau mempraktikkan kekuasaan, seseorang membutuhkan mobilisasi dua struktur dominasi sebagai fasilitas. Pada dimensi penguasaan, fasilitas ini terdiri dari sumberdaya alokatif (ekonomi) dan otoritatif (politik). Sumberdaya alokatif mengacu pada kemampuan-kemampuan atau bentuk-bentuk kapasitas transformatif yang memberikan komando atas barang-barang, objekobjek atau fenomena material. Adapun sumberdaya otoritatif mengacu pada jenis-jenis kapasitas transformatif yang menghasilkan perintah atas orang-orang atau aktor-aktor. Istilah 'kekuasaan' harus dibedakan dengan istilah dominasi. Dominasi mengacu pada asimetri hubungan pada dataran struktur, sedang kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada dataran pelaku (interaksi sosial). Karena itu kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif, sebagaimana tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada struktur dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung diantara pelaku yang kongkret. Kekuasaan terbentuk dalam dan melalui reproduksi dua struktur/ sumberdaya dominasi (alokatif dan otoritatif). Meski demikian, menurut Giddens tidak pernah mungkin terjadi penguasaan total atas orang entah dalam sistem totaliter, otoriter, ataupun penjara karena adanya dialektika kontrol (the dialectic of control). Artinya dalam penguasaan selalu terlibat relasi otonomi dan ketergantungan, baik pada yang menguasai maupun pada yang dikuasai sekalipun dalam kadar yang minimal.

 

Ketiga; untuk memberlakukan sebuah sanksi, orang membutuhkan sarana legitimasi berupa norma atau peraturan (tata hukum/lembaga hukum). Aspek legal (normatif) dibutuhkan untuk memberikan rasa aman (ontological security) dan keabsahan atas interaksi yang dila kukan oleh agen-agen sosial. Perubahan sosial tidak bisa ditempuh dengan kontradiksi sistem, tetapi perubahan dapat ditempuh melalui koordinasi praktik yang dilembagakan dalam sistem dan struktur sosial yang mengatasi ruang dan waktu. Perubahan sosial dalam dimensi ketiga gugus strukturasi hanya bisa dirubah melalui 'derutinisasi' dalam kapasitas 'monitoring refleksif' atau mengambil jarak terhadap unsurunsur yang melingkupinya baik secara personal maupun institusional.

Korupsi adalah sebuah tindakan yang melanggar hukum. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan tindakan yang mengambil apapun yang bukan halnya demi memperkaya diri sendiri. Jika hal ini berkaitan dengan negara maka pelaku tersebut harus diadili sesuai dengan peraturan yang telah diterapkan oleh Negara masing-masing. Di Indonesia sendiri telah memiliki lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga ini di hadirkan demi tercapainya segala cita-cita yang diidamkan bangsa Indonesia. Salahsatunya bebas dari maladministrasi, pungli yang merupakan tindak pidana korupsi.

Indonesia memiliki lembaga khusus dalam menangani kasus pidana korupsi. Lembaga ini bernama Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang lebih dikenal dengan singkatan KPK. Lembaga ini bertugas Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Komisi Pemberantasan Korupsi sejak awal memang didesain dengan kewenangan luarbiasa (superbodi) agar mampu mengungkap praktik licik-kotor serta menembus benteng pertahanan koruptor yang paling kuat sekalipun. Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara harafiah, Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga yang bergerak dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun berdasarkan Pasal 6 UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tugas KPK tidak hanya dalam hal pemeberantasan saja, tetapi juga melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberanatasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.[1]

 

Lembaga ini dibentuk untuk membantu negara dalam menangkap pelaku tindak pidana korupsi. Namun, tak sedikit pula bagian dari KPK tersebut yang malah tersandung kasus korupsi. Tahun lalu, lembaga KPK sempat ramai lantaran memecat beberapa anggota staff KPK. Padahal para staff tersebut sedang menangani dan menyelidiki kasus korupsi yang cukup berat. Hal ini tentu menimbulkan konflik dan pertanyaan di masyarakat. Ada apa dengan kinerja KPK di Indonesia?

 

Dari hal ini maka bisa disimpulkan bahwa kredibilitas pejabat negara dalam kasus ini lembaga negara KPK masih dianggap kurang mempuni dalam menyelidiki kasus korupsi tersebut. Maka dari itu, kasus korupsi seakan tidak pernah lepas dari wilayah Indonesia.

Kredibilitas KPK sebagai lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi dianggap kurang mempuni. Hal ini langaran tidak adanya transparansi dalam kinerja KPK selama ini. Kasus korupsi di Indonesia juga dianggap tidak menurun bahkan melonjak naik lantaran tidak adanya langkah tepat yang dilakukan oleh pihak KPK tersebut. Maka dari itu, tidak sedikit yang beranggapan bahwa KPK tidak berguna dan sudah selayaknya di bubarkan. Dalam model pencegahan yang dipaparkan oleh Anthony Giddens disebutkan bahwa korupsi ialah sebuah tindakan yang dipengaruhi oleh perilaku. Maka dari iru, dapat diterik kesimpuan, apabila seseorang ingin menghentikan tindak pidana korupsi maka hal yang harus diubah ialah perbuatan serta karakternya. Maka dari itu penting dikukan sosialisasi yang berkaitan dengan norma-norma kehidupan, agar kelak para negerasi bangsa tidak berminat untuk melakukan suatu tindak korupsi

Citasi : 

 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007).

  Bona P. Purba, Fraud dan Korupsi Pencegahan, Pendeteksian, dan Lestari Pemberantasannya, Lestari liranatama, (2015).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun