Mohon tunggu...
Julian Sunan
Julian Sunan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Thoughts lead on to purposes; purposes go forth in action; actions form habits; habits decide character; and character fixes our destiny. Check my blog http://juliansunan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy

"Bahaya Imunisasi?" Telaah Tahap II

13 Mei 2012   08:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:22 6629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maaf bila ternyata isinya kurang humor bagi anda, saya memang bukan Raditya Dika, tapi bagi saya, sumpah isinya ini lelucon. "Bahaya Imunisasi? telaah tahap II" ini sedikit lebih 'berat' dari artikel tahap 1 lalu. Dimaksudkan untuk menunjukkan berbagai variasi 'data-data' invalid yang sering digunakan oleh pegiat anti-vaksin di Amerika, yang kemudian dengan latah dicopy-paste oleh blogger/facebooker/kompasioner (juga penulis buku, semacam ibu Ummu Salamah) di Indonesia, tanpa pandang bulu (emang ada bulunya?), mulai dari yang mudah dibuktikan rekayasa keterlaluannya, hingga yang harus dilawan dengan mengadakan penelitian-penelitian. Juga menunjukkan bagaimana kami, praktisi medis, tidak semudah itu percaya pada sajian data. Menutup telaah tahap ke -2 ini, mari kita lihat dulu paparan hasil penelitian berikut ini:

Berdasarkan penelitian Prof. Dr. dr. Arian, PhD, peneliti ternama di Universitas Gaul Mahal, yang dipublikasikan di Indonesian Journal of Extremely Handsome Practitioners pada tahun 2011, sebanyak 76,3% dari 7632 responden wanita berusia 11-35 tahun di kecamatan Godeang mengakui bahwa dokter Julian Sunan adalah seorang dokter yang tampan


Spesies manusia modern dengan IQ normal yang membaca paragraf pasti langsung percaya bahwa penelitian tersebut adalah rekayasa. Kesan pertama membaca: penelitiannya norak, ngga mungkin banget lah ada penelitian kaya gitu. Tapi apakah yang norak selalu merupakan rekayasa? dan apakah yang rekayasa selalu norak? tentu saja tidak, norak dan rekayasa tidak selalu berkorelasi positif.

Bagaimana bila Prof. Arian ternyata memang merupakan ahli di bidang penelitian kegantengan di UGM? bagaimana bila Indonesian Journal of Extremely Handsome Practitioners memang ada dan diakui secara internasional? bagaimana bila tahun 2011 memang ada penelitian tersebut, yang benar dan sesuai standar di Godeang? bagaimana bila data dan analisis hasil data penelitian memang dipaparkan secara jujur dan benar?

Yang saya tulis pada paragraf di atas jelas lelucon norak. Namun, untuk mengatakan suatu paparan hasil penelitian valid dan reliabel, rekayasa atau, tentu saja tidak hanya melihat dari tingkat kenorakannya. Apalagi untuk menjadikannya dasar penentuan keputusan. Ada prosedur review sistematis (http://en.wikipedia.org/wiki/Systematic_review) tersendiri yang selalu diikuti oleh para akademisi, termasuk kami, para dokter.

Ya, kami juga selalu melakukan prosedur telaah tersebut, tidak hanya melihat suatu paparan hasil penelitian yang cool, keren dan tampak meyakinkan, kemudian kami ikuti sebagai pedoman. Setidaknya itu yang diajarkan pada kami dokter-dokter lulusan universitas negeri yang ndeso di Jogja (jaman saya kuliah dulu sih masih ndeso, tapi sekarang sudah sangat gaul dan mahal). Profesi kedokteran saat ini berlandaskan asas Evidence Based Medicine, harus ada bukti, penelitian, metaanalisis (http://en.wikipedia.org/wiki/Meta-analysis), review sistematis dan diikuti kemudian keputusan kolegium profesi yang harus benar-benar valid dan reliabel untuk melakukan suatu prosedur medis, bukan berdasar sembarang hasil penelitian tampak keren yang dipajang di situs internet. Apalagi mendasarkan diri pada sekedar hasil testimoni alias curhatan, baik korban maupun pelaku, baik pasien ataupun profesor.

Prosedur tersebut memposisikan dokter, perawat, bidan untuk wajib bersikap netral, tidak berpihak kepada yang kontra, maupun yang pro terhadap imunisasi, untuk menghindari bias analisis & pengambilan keputusan. Banyak vaksin yang telah diciptakan di dunia, banyak penelitian yang mendalaminya, dan sejauh yang sudah saya pelajari, hasilnya tidak semua vaksin tersebut aman dan efektif, namun juga tidak semua vaksin berbahaya dan tidak efektif. Anda tentu dapat memakai logika, bagaimana mungkin seorang dokter bisa dikatakan obyektif untuk menilai suatu vaksin aman atau berbahaya, efektif atau tidak, bila sudah memposisikan diri dalam komunitas anti imunisasi?

Silakan diverifikasi data penelitian di atas mengenai ketampanan saya, validkah? akan saya rangsang lagi hasrat muntah anda pada telaah tahap ke III, tentu saja bila mood menulis saya tiba-tiba muncul kembali... ;)

Best regards

Julian Sunan

PS:Posting pertama saya "Bahaya Imunisasi?" Telaah Tahap I sepertinya telah didelete oleh admin; katanya isinya copy paste; yang saya tahu konten copy paste tersebut memang digunakan untuk suplemen artikel dan telah dicantumkan keterangan sumber asal. Mungkin juga ada kompasioner yang tidak suka dengan tulisan saya (pendukung anti-imunisasi mungkin, karena dianggap membuka kedok mereka) kemudian melaporkannya ke admin. BTW, tulisan kontroversial tersebut tetap dapat anda baca di FB (http://www.facebook.com/note.php?saved&&note_id=10150743774312795) dan blog saya (http://juliansunan.blogspot.com/). Terimakasih sudah mampir dan ikut berkontroversi, hidup kontroversi!. Salam..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun