Tidak perlu seserius itu membacanya. Saya suka lelucon, itulah kenapa saya kembali menulis tentang “Bahaya Imunisasi?”.
Artikel ini bertujuan untuk mengajak pembaca bersikap kritis dalam memahami salah satu artikel penolakan terhadap program imunisasi berjudul “Mengungkap Konspirasi Imunisasi dan Bahaya Vaksin” yang dimuat di http://un2kmu.wordpress.com/2010/04/19/mengungkap-konspirasi-imunisasi-dan-bahaya-vaksin/ . Telaah sederhana diharapkan dapat dilakukan oleh pembaca ketika membaca paparan data, pernyataan, maupun hipotesis yang diajukan dalam artikel penolakan imunisasi tersebut, maupun artikel-artikel yang lain.
1. Rubella di .. Jerman???
“Dan ternyata faktanya di Jerman para praktisi medis, mulai dokter hingga perawat, menolak adanya imunisasi campak. Penolakan itu diterbitkan dalam “Journal of the American Medical Association” (20 Februari 1981) yang berisi sebuah artikel dengan judul “Rubella Vaccine in Susceptible Hospital Employees, Poor Physician Participation”. Dalam artikel itu disebutkan bahwa jumlah partisipan terendah dalam imunisasi campak terjadi di kalangan praktisi medis di Jerman. Hal ini terjadi pada para pakar obstetrik, dan kadar terendah lain terjadi pada para pakar pediatrik. Kurang lebih 90% pakar obstetrik dan 66% parak pediatrik menolak suntikan vaksin rubella.”
Ya, memang ada penelitian yang memiliki judul penelitian yang sama plek dengan yang tersebut di atas, dipublikasikan di JAMA pada tahun 1981. Namun benarkah penelitian Walter A. Orensteintersebut berisi bahwa para dokter dan perawat menolak imunisasi rubella seperti pernyataan paragraf di atas? mari kita baca sekedar abstrak asli dari penelitian tersebut, yang saya ambil dari http://jama.ama-assn.org/content/245/7/711.short :
Walter A. Orenstein, MD; Peter N. R. Heseltine, MD; Susan J. LeGagnoux, RN, MPH; Bernard Portnoy, MD. Rubella Vaccine and Susceptible Hospital Employees : Poor Physician Participation. JAMA 1981;245:711-713
“A serosurvey of 2,456 high-risk employees of the Los Angeles County-University of Southern California Medical Center showed that 345 (14%) were susceptible to rubella. Of 197 seronegative personnel followed up for participation in a vaccination program, 105 (53.3%) were vaccinated. However, only one of the 11 known susceptible obstetrician-gynecologists was vaccinated. Thirty-eight seronegative employees who were vaccinated with RA 27/3 rubella vaccine were queried four to six weeks after vaccination and compared with 32 unvaccinated seropositive control subjects. Although the reaction rate was 50% among vaccinees and 3% among control subjects, each vaccinee lost only an average of 0.2 workdays compared with 0.1 workdays for control subjects. The high rate of susceptibility to rubella among hospital employees supports the need for screening. Although vaccine reactions are common, they are generally mild. Means must be found to ensure greater employee acceptance of vaccine.
Tentu saja, penelitian aslinya ternyata tidak menyimpulkan sedemikian. Penelitian Orenstein et al. tersebut memaparkan bahwa baru sedikit personel kesehatan di RS. University of Southern California, Los Angeles (ya, Los Angeles kayaknya sih ada di negara bagian California, Amerika, tidak di Jerman) yang melakukan vaksinasi rubella. Sejak Januari 1980 sebenarnya institusi kesehatan di California sudah menyarankan tenaga medis untuk melakukan vaksinasi rubella. Tahun 1982 terjadi outbreak rubella di Los Angeles, ternyata banyak tenaga medis tersebut turut tertular, laporan epidemiologis CDC yang dirilis 28 Januari 1983 dapat dibaca di Epidemiologic Notes and Reports Rubella in Hospitals - California, MMWR, January 28, 1983 / 32(3);37-9 (http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00001229.htm). Tenaga medis, selain mereka sangat rentan tertular dari pasien-pasien rubella yang mereka rawat, juga berpotensi untuk menularkannya kemudian kepada pasien non-rubella yang juga mereka rawat. Itulah susahnya jadi tenaga medis. Tahukah anda, bahwa saya juga belum melakukan vaksinasi rubella? ya, vaksinasi rubella di Indonesia memang belum merupakan program imunisasi wajib bagi tenaga medis. Di Amerika, Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan Hospital Infection Control Practices Advisory Committee (HICPAC) telah mengeluarkan rekomendasi nasional imunisasi untuk tenaga kesehatan, rekomendasi yang dirangkum oleh CDC tersebut, dirilis 26 Desember 1997, dapat dibaca diImmunization of Health-Care Workers: Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the Hospital Infection Control Practices Advisory Committee (HICPAC), MMWR, December 26, 1997 / 46(RR-18);1-42 (http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00050577.htm), untuk melindungi tenaga medis, sekaligus melindungi pasien.
2. Penyalahgunaan data VAERS
"Di Amerika pada tahun 1991 – 1994 sebanyak 38.787 masalah kesehatan dilaporkan kepada Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) FDA. Dari jumlah ini 45% terjadi pada hari vaksinasi, 20% pada hari berikutnya dan 93% dalam waktu 2 mgg setelah vaksinasi. Kematian biasanya terjadi di kalangan anak anak usia 1-3 bulan"
Hmm, sepertinya ada yang menyalah gunakan data-data pada laporan VAERS untuk menghasut massa. Anda akan sering menemukan data-data (entah yang dicantum itu data beneran atau karangan) dari VAERS digunakan oleh para pegiat anti-imunisasi untuk membodohi orang awam, mirip dengan paragraf di atas.
Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) adalah program surveilans keamanan vaksin nasional yang disponsori oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan Food and Drug Administration (FDA). VAERS merupakan program pengawasan keamanan pasca-pemasaran yang mengumpulkan informasi tentang kejadian penyerta (yang mungkin bisa merupakan efek samping) yang terjadi setelah pemberian vaksin berlisensi yang digunakan di Amerika Serikat. Laporan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) istilahnya kalau di Indonesia, ya, kita juga pemantauan imunisasi semacam VAERS. Penjelasan di bawah ini dapat anda temukan dari situs VAERS sendiri, silakan baca di http://vaers.hhs.gov/data/index